Sabtu, 29 Maret 2014

Disorientasi Partai Politik

Disorientasi Partai Politik

Wiliam Chang ;   Pengampu Kuliah Etika Sosial STIE Widya Dharma, Pontianak
KOMPAS,  28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
POTRET parlementer negara kita kian buram. Gara-gara sejumput duit, status yuridis puluhan wakil rakyat berubah menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan. Padahal, tak sedikit duit yang sudah dialokasikan buat gelanggang parlemen. Disorientasi partai politik atau krisis identitas ”wakil rakyat”?

Krisis jati diri anggota parlemen di Jakarta, Papua, Padang, dan daerah lainnya melahirkan disorientasi seluruh sistem perwakilan rakyat. Gaya hidup aji mumpung memintal mental profitisasi kursi parlementer yang menyedot uang semir, siluman, THR, dan komisi dari individu/instansi terkait DPR(D). Tentu keadaan ini menyemarakkan gawai korupsi di kalangan anggota parlemen, pejabat pemerintah, dan penentu kebijakan.

Sebenarnya sudah lama tercium bau tak sedap di kalangan anggota parlemen yang tergiur fee proyek, penentuan jabatan-jabatan strategis, dan pemberian izin-izin khusus. Hanya saja sebagian anggota parlemen menutup sebelah mata dan berusaha meredam bau bangkai ini. Namun, kebocoran cerobong migas di Gelanggang Gelora Senayan tak terbendungkan. Dalam suasana disorientatif ini, di manakah suara dan kepentingan rakyat ditempatkan? Apakah hanya kepentingan individual dan parpol yang diperjuangkan anggota parlemen?

Lambang parpol

Tampaknya gejala ”skizofren” sedang menyerang sejumlah anggota parlemen. Di satu sisi, mereka adalah pribadi yang memiliki suara dan kepentingan individual. Namun, di sisi lain mereka adalah ”wakil rakyat” yang bernaung di bawah parpol. Bagaimana mereka seharusnya menempatkan diri dalam keadaan dilematis ini? Apakah mereka lebih memprioritaskan kepentingan parpol di atas suara/kepentingan rakyat dan pribadi? Tanpa skala prioritas yang proporsional akan timbul disorientasi sistem perwakilan bangsa kita.

Hampir semua anggota parlemen mengenakan pralambang parpol sebagai kendaraan menuju kursi parlementer. Masalahnya, benarkah visi dan misi setiap parpol de facto mendahulukan kepentingan rakyat? Atau sesama parpol berkolusi menyelamatkan diri dari jeratan hukum atas diri pelanggar hukum dengan menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan permainan politik kelas tinggi?

Sejumlah (anggota) parpol tampaknya bersikeras memandulkan kekuatan sanksi hukum positif melalui RUU KUHAP yang akan mereka sahkan. Pada- hal, MA, Polri, BNN, PPATK, dan rakyat Indonesia berkeberatan mengesahkan RUU KUHAP.

Sekarang rakyat bisa melihat dengan mata hati selebar-lebarnya untuk mengevaluasi orientasi setiap parpol di Tanah Air. Apakah setiap parpol sungguh memihak dan memperjuangkan kepentingan rakyat? Apakah parpol itu diwakili oleh anggota-anggotanya yang korup dalam badan perwakilan rakyat? Masih akankah kita memilih anggota parpol yang bolos rapat, memikirkan kepentingan individual, dan tidak membawa perbaikan berarti dalam lembaga perwakilan rakyat?

Sebagai makhluk paradoksal, setiap pemilih memiliki akal sehat (rasionalitas) dan perasaan manusiawi. Dalam konteks pemilihan politik, terjadi persaingan dominasi rasional dan perasaan? Dimensi rasional atau perasaan yang akan lebih diprioritaskan? Tinjauan metafisis mengingatkan bahwa perasaan pada hakikatnya tidak dapat diperdebatkan (de gustibus non disputandum est). Sementara itu, rasionalitas mengandung butir-butir pemikiran yang benar dan baik. Dengan sendirinya, yang sebaiknya diprioritaskan adalah peran rasionalitas ketimbang perasaan sesaat dalam pemilihan wakil rakyat atau presiden.

Radar suara rakyat

Secara konstitusional keberadaan parpol mengungkapkan kesetiakawanan diri dan keterlibatan aktif dalam peningkatan keadilan dan kesejahteraan di kalangan rakyat jelata. Dalam ajang perpolitikan, parpol berperan sebagai radar yang menangkap, menyergap, serta mengerti aspirasi dan tuntutan rakyat. Seharusnya setiap parpol memiliki kuping yang panjang, tajam, dan bijaksana menelaah suara rakyat berlalu tanpa bekas.

Menurut Gino Concetti dalam I partiti politici e l’ordine morale (1981), setiap parpol perlu mengingat enam peran utama dalam hidup berpolitik.

Pertama, setiap parpol seharusnya menjadi ekspresi dan artikulasi kepentingan rakyat melalui sistem kepartaian. Dalam konteks ini parpol tampil sebagai pengantara.

Kedua, parpol mentransformasi bahan baku politik menjadi kebijakan dan keputusan dalam memajukan kepentingan umum.

Ketiga, melalui proses partisipasi, parpol seharusnya mengintegrasikan individu ke dalam suatu sistem politik.

Keempat, parpol berusaha mengajukan usul-usul kebijakan supaya mendapat dukungan seluas mungkin. Parpol berani menjatuhkan sanksi bagi anggota yang tidak loyal dengan visi-misi parpol.

Kelima, setiap parpol memiliki sistem kontrol internal dan terhadap pemerintah dalam kegiatan harian.

Keenam, parpol tidak hanya memobilisasi dan memerintah, tetapi juga harus menciptakan kondisi-kondisi bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan rakyat.

Benarkah semua mesin parpol di Tanah Air telah memerankan lakon utama tersebut atau parpol-parpol di Tanah Air lebih sibuk memikirkan kekuatan finansial internal parpol? Sudahkah legitimasi etis diterapkan dengan konsisten dalam tubuh parpol? Opini dan sepak terjang anggota parpol mencerminkan orientasi sebuah parpol dalam mengurus masalah-masalah bangsa.

Pemilihan anggota legislatif dan presiden/wakil presiden mendatang sebaiknya tidak dipengaruhi oleh merdunya lagu- lagu dan slogan-slogan kampanye bernada politik. Setiap pemilih yang kritis tentu menggunakan akal sehat, ketelitian, dan kebijaksanaan dalam menjatuhkan suara.

Yang jelas, perlu diwaspadai pasar perdagangan suara pemilih dengan bujuk rayu dan deretan janji politik yang menggiurkan. Sudah waktunya parpol yang disorientatif ditinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar