Kamis, 27 Maret 2014

Ilegal, Dana Bansos untuk Pemilu 2014

Ilegal, Dana Bansos untuk Pemilu 2014

Agust Riewanto ;   Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
PELAKSANAAN Pemilu Legislatif 2014 tinggal menghitung hari, di tengah suasana kampanye 16 Maret-6 April 2014 ini publik dikejutkan perilaku birokrasi pemerintah dalam pengelolaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 yang irasional. Sejumlah kementerian tengah menyimpan dana bantuan sosial (bansos) yang bernilai spektakuler. Dana bansos pada APBN 2013 sebesar Rp69,61 triliun, sedangkan pada APBN 2014 meningkat 17,6%, atau berkisar antara Rp91,19 triliun sampai dengan Rp139,17 triliun (Media Indonesia, 22 Maret 2013).

Postur penggunaan dana APBN 2014 oleh pemerintah tahun ini potensial diselewengkan untuk kepentingan pendanaan Pemilu 2014. Pemerintah telah menambah pagu anggaran bansos 2014, dari Rp55,8 triliun menjadi Rp91,8 triliun. 

Perubahan pagu anggaran juga terjadi pada belanja barang, belanja modal, dan belanja lainnya. Belanja barang meningkat dari Rp201,8 triliun menjadi Rp214, 4 triliun, tetapi belanja modal justru turun dari Rp232,8 triliun menjadi Rp184,2 triliun. Ini cermin postur anggaran yang tak sehat dalam pengelolaan APBN, seharusnya belanja barang yang turun, sedangkan belanja modal naik. Patut diduga bahwa penggelembungan dana bansos di APBN 2014 merupakan kolusi pemerintah dan DPR, sebab 10 kementerian dari 14 kementerian dan lembaga negara dipimpin menteri yang berasal dari partai politik. Aneka siasat politik didesain sedemikian rupa antara pemerintah dan DPR untuk mengefektifkan penggunaan pagu anggaran APBN untuk kepentingan politik menjelang Pemilu 2014.

Model mengemas dana bansos

Sementara itu, pemanfaatan dana bansos dan distribusinya kepada masyarakat ialah otoritas pemerintah melalui kementerian dan biasanya dilaksanakan berdasarkan pada dua hal. Pertama, bergantung pada kebijakan dari pemerintah terkait dengan siapa yang diberi, model pendistribusiannya, dan bentuk serta jenisnya. Memang secara teoretis hanya pemerintahlah yang diberi otoritas untuk melakukan kebijakan. Kebijakan menjadi penting bagi pemerintah agar mudah melakukan pelayanan publik dan menjalankan visi dan program.

Kebijakan akan berjalan baik jika dilakukan pemerintah yang bermoral dan tidak melanggar asas-asas pemerintahan yang baik. Namun, itu akan menjadi buruk jika dilakukan pemerintah yang tak bermoral dan cenderung mementingkan kelompoknya, serta bermotivasi untuk menaikkan citra partainya agar terpilih kembali dalam pemilu berikutnya. Karena itu, di balik setiap kebijakan itu akan selalu muncul potensi untuk melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad), penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan kesewenang-wenangan (abus de droit).

Kedua, umumnya bansos dikemas dalam aneka bentuk kegiatan dan bantuan yang bersifat populis dan menarik simpati publik. Tidak menjadi masalah jika dilakukan bukan pada saat menjelang pemilu berlangsung. Tetapi jika dilakukan menjelang pemilu, akan menimbulkan kecurigaan publik bahwa pemerintah tidak tulus. Namun, di balik itu ialah bagian dari upaya sistemis memupuk dan memperluas kekuasaannya agar partainya akan dipilih rakyat dalam pemilu sehingga pemerintahan dapat direbut kembali pascapemilu. Di sinilah ungkapan Lord Action, ‘power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely, menjadi sangat relevan untuk diingat.

Penikmat dana bansos

Karena itulah, dana bansos ini sangat potensial dinikmati dua pihak. Pertama, para elite politik terutama para menteri yang berasal dari partai politik (parpol) guna menyokong pendanaan Pemilu 2014 bagi partai masing-masing. Harus diakui, pembiayaan parpol yang berasal dari dana bantuan APBN setiap tahun dan iuran anggota parpol selama ini tak cukup menutupi aneka kebutuhan biaya berjalannya organisasi parpol. Kebutuhan parpol bisa tak terbatas, sedangkan pendapatannya sangat terbatas, sementara parpol ialah organisasi nirlaba. Di sinilah parpol menjadikan para menteri mereka yang tergabung dalam kabinet pemerintahan menjadi agen utama pendanaan parpol. Tak mengherankan bila setiap parpol berambisi memburu kursi menteri agar dapat terus memperoleh insentif ekonomi-politik dari dana APBN di setiap kementerian. Akibatnya politik kita tak sehat karena tak pernah ada parpol yang bersikap oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa.

Kedua, para calon anggota legislatif (caleg) DPR dan DPRD petahana (incumbent) yang memiliki jejaring kuat dengan kementerian yang berasal dari partai politik yang sama. Ini bukan ilusi, melainkan fakta, bahwa biaya pemilu dengan sistem proporsional dengan suara terbanyak menjadi sangat mahal versi UU No 10/2008 Pemilu 2009 dan UU No 8/2012 Pemilu 2014 mendatang sebagaimana dipaparkan Pramono Anung Wibowo (2013), bahwa untuk meraih kursi di DPR pada Pemilu 2009 lalu seorang caleg harus merogoh kocek ekstra mahal, Rp800 juta-Rp22 miliar.

Uang sebanyak itu digunakan untuk kampanye, memoles citra, membuat aneka kegiatan sosial, sewa lembaga survei, konsultan politik, dan lain-lain. Bahkan motivasi untuk meraih kursi DPR hanyalah faktor ingin meraih kekuasaan dan keuntungan ekonomi. Biaya Pemilu 2014 ini dipastikan akan lebih mahal lagi, di samping karena infl asi keuangan, karena kompetisi baik di antara caleg dalam satu parpol maupun beda parpol kian keras akibat jumlah parpol peserta pemilu berkurang signifikan.

Mahalnya dana pemilu ini tentu akan menjadi masalah terutama bagi caleg DPR petahana karena secara psikologis tingkat kekhawatiran untuk tidak terpilih lebih tinggi daripada para caleg baru. Di sinilah rasionalitasnya, mengapa para caleg petahana itu dipastikan akan ikut memanfaatkan dana bansos yang berada di kementerian untuk pendanaan Pemilu 2014 agar dapat kembali duduk di kursi Senayan.

Ilegal dicairkan jelang pemilu

Potensi dana bansos untuk dana Pemilu 2014 itu kian menunjukkan negeri ini belum dapat mengubah watak patronasi dan patron-client antara birokrasi pemerintah dan DPR untuk merebut kekuasaan pemerintah dan kursi DPR dengan tanpa kompetisi yang sehat, adil, dan mendidik rakyat. Agar Pemilu 2014 dapat menghasilkan pemerintahan yang bersih, DPR yang berkualitas dan tidak menimbulkan kecurigaan publik.

Saatnya kini semua pihak, terutama Bawaslu dan KPU, untuk turut serta mengawasi penggunaan dana bansos ini. Penggunaan dana bansos untuk pendanaan Pemilu 2014 ‘haram’. KPK dan BPK berani bertindak tegas menyatakan dana bansos ilegal jika dicairkan pemerintah menjelang Pemilu 2014 ini. Itu sebaiknya dialihkan ke dalam belanja modal pemerintah. Agar postur APBN 2014 menjadi lebih sehat dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar