Minggu, 27 April 2014

Terlalu Baik

Terlalu Baik

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 27 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Demikianlah jawaban yang saya dengar ketika menanyakan kepada seorang teman mengapa ia putus dengan pacarnya. Mendengar jawaban itu, saya kagetnya setengah mati. Saya langsung berpikir, bukankah manusia itu maunya mendapatkan sesuatu yang baik? Sesuatu yang menenteramkan? Apalagi seperti kata banyak orang, orang baik itu sekarang susah sekali dicari dan didapati.

Tidak palsu

Mendengar jawaban itu, saya merasa selama ini begitu bodoh kalau saya tak tahu bahwa di dunia ini ada manusia yang memutuskan sebuah hubungan asmara hanya karena pasangannya terlalu baik. Siang itu saya seperti orang linglung.

Berarti buat beberapa orang, yang baik itu tak selalu membahagiakan, apalagi kalau terlalu. Saya tahu,
kalau ada beberapa orang mengatakan bahwa semua yang terlalu itu tidak baik. Tetapi saya masih tak bisa memercayai bahwa ada manusia diberikan sesuatu yang terlalu baik malah menjadi pencetus keretakan sebuah hubungan. Luar biasa. Ini, menurut saya, benar-benar sebuah hal yang out of the box.

Kemudian saya melanjutkan percakapan itu dan berkonsentrasi kepada jawaban untuk sebuah pertanyaan, mengapa kok bisa begitu? Maka teman saya menjelaskan bahwa sebelum ia memacari pacarnya itu, pacarnya
telah beberapa kali memiliki sebuah hubungan yang sangat dramatis sebelumnya.

Dari soal kekerasan fisik sampai pada kecemburuan yang berlebihan sehingga ketika mengalami sesuatu yang tak bergejolak, ia merasa itu sungguh membosankan. Hubungan yang terlalu lembek, tak ada geregetnya, tak memicu adrenalin.

Saya makin bertambah linglung dan merasa iba bahwa seseorang telah mampu membuat orang lain melihat dan mencari kekerasan sebagai sebuah kenikmatan. Sehingga ketika ada yang mencintai dengan tulus dan baik, ia tak merasa beruntung. Ia tak merasa berbahagia bahwa siksaannya itu berakhir dan tak bisa mensyukuri bahwa ia menjadi tenteram dan tenang.

Maka saya berpikir, mungkin kalau seseorang terlalu sering bermain roller coaster atau bermain ayunan yang naik dan turunnya begitu tajam, maka ketika ia mencoba sebuah hubungan yang kondisinya seperti duduk-duduk di tepi danau yang sepi nan menenangkan, ia malah kehilangan gairah. Ia kehilangan kenikmatan naik dan turun yang tajam itu.

Maka saya teringat kembali kepada cerita asmara seorang teman dekat. Pasangan dari teman dekat saya ini pernah marah dan nyaris memutuskan hubungannya hanya karena ia merasa teman saya ini tak pernah mencemburuinya.

Kemudian saya bertanya kepada teman dekat saya itu, mengapa ia tak cemburu. Ia menjawab ia tak perlu merasa cemburu karena ia sungguh mencintai dan memberi kepercayaan yang besar kepada kekasihnya itu. Selain itu, ia mengakui bahwa ia memang bukan sosok yang mudah cemburu. ”Jadi akhirnya, aku sekarang pura-pura cemburu, Cin.”

Palsu

Jawaban seperti saya ini bukan sosok yang cemburu, juga keluar dari mulut teman saya pada cerita pertama di atas. ”Mas, ngapain saya cemburu. Dicintai oleh seseorang itu sudah memberi saya rasa damai kok. Jadi kalau saya damai, saya bisa menjalani hidup dengan tenang, karena tenang saya memberi kebebasan kepada kekasih saya. Ya..., kenapa mesti membuat perkara, hanya untuk menciptakan sebuah hubungan yang cetar membahana?”

Dengan cara pandangnya itu, teman saya tak pernah melarang kalau kekasihnya itu mau pergi ke mana saja dan dengan siapa saja. Tak adanya pelarangan itulah yang menjadi salah satu pemicu hubungan yang hambar dan lembek. Mendengar penjelasan ini, saya kemudian teringat dengan peristiwa yang saya alami sendiri.

Sudah lama saya hidup melajang. Melajang itu memberi kebebasan yang luar biasa, terbiasa mendominasi karena tak perlu harus bertoleransi. Maka suatu ketika, ada manusia datang dalam hidup saya, yang sifatnya adalah menguasai dan melarang.

Saya tak pernah membayangkan kalau saya sungguh menikmati dikuasai, menikmati namanya pelarangan itu. Menikmati rasanya tak berdaya dan ditaklukkan, benar-benar memberi sensasi yang berbeda. Karena selama ini selalu jadi penguasa dan hidup dengan penuh kebebasan.

Jadi di dunia ini, ada manusia yang merasa tenang karena dicintai, ada manusia yang diberi ketenangan memohon gejolak agar hidup lebih hidup. Ada manusia yang tidak memberi kepalsuan dalam sebuah hubungan, ada yang terpaksa memberi sebuah kepalsuan agar perjalanan asmaranya tak berhenti di tengah jalan, dan kebahagiaan tetap menjadi miliknya.

Kemudian saya bertanya, apakah kalau saya menjalankan yang palsu, apakah itu tidak sebuah bentuk kesalahan? Katakan kalau itu dianggap sebuah kesalahan, tetapi kesalahan yang satu ini mendatangkan kebahagiaan buat orang lain.

Membuat orang lain merasa diperlukan dan saya menjadi berbahagia karena melihat orang lain yang saya cintai berbahagia. Masihkah kepalsuan itu dianggap sebagai sebuah kekeliruan?

Kebingungan itu mengingatkan saya pada sebuah ungkapan yang ditulis Ernest Hemingway. Begini. When spring came, even the false spring, there were no problems except where to be happiest.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar