Sabtu, 31 Mei 2014

Isra Mi’raj dan Trias Koruptika

Isra Mi’raj dan Trias Koruptika

 Achmad Fauzi  ;   Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
REPUBLIKA,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Bangsa Indonesia harus mampu menerjemahkan spirit filosofis Isra Mi'raj dalam kehidupan bernegara. Isra Mi'raj bukan saja merekam perjalanan penting Nabi Muhammad dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang dilanjutkan ke Sidrat al-Muntaha untuk menghadap Allah. Isra Mi'raj adalah simbol meleburnya sifat Tuhan dalam kesejatian manusia sebagai pengemban amanah di muka bumi.

Sudah terlalu lama negeri ini digempur para koruptor dari banyak sisi. Elite politik lantang mengutuk korupsi dan bahkan ada yang menjadi duta antikorupsi, namun semua itu hanyalah topeng kepalsuan. Persoalannya menyangkut amanah yang diberikan rakyat. Apabila kepercayaan tersebut tidak dijaga, sulit bagi mereka untuk mendapatkan kembali legitimasi dari rakyat.

Tahun kesedihan Tempus laku spiritual Isra Mi'raj terjadi pada tahun kesedihan (`amm al-huzn) Nabi Muhammad. Abu Thalib sebagai sosok yang mendukung penuh tugas kenabian Muhammad meninggal dunia. Kemudian, tak lama berselang disusul meninggalnya Khadijah binti Khuwailid, istri tercintanya. Jalan dakwah Muhammad dipastikan terjal karena kehilangan orang terdekatnya. Jumlah pengikut yang terbatas dan inisiatif hijrah ke Thaif yang menuai penolakan dari penduduk setempat semakin melengkapi kesedihan itu.

Setali tiga uang, beberapa tahun belakangan ini kondisi Indonesia menyerupai pemakaman. Masyarakat diliputi kesedihan karena pemimpin di pusat maupun daerah yang diberikan kepercayaan mengemban amanah mengelola negara mengalami kematian nurani. Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah yang terlibat kasus korupsi.

Di ranah eksekutif sudah banyak pejabat yang terseret kasus korupsi dan mendekam di penjara. Kementerian Dalam Negeri mencatat jika dihitung hingga bawahan kepala daerah, pejabat daerah yang terlibat korupsi bisa mencapai 1.500-an. Belum lagi megaskandal yang melibatkan pejabat eksekutif di pusat.
Kasus teranyar yang mengguncang kesadaran kita adalah ditetapkannya Suryadharma Ali sebagai tersangka dalam kasus penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2012-2013. Publik tak habis pikir, ranah agama yang notabene dianggap sakral tak luput dari incaran koruptor. Bahkan, saking rakusnya urusan pengadaan Alquran juga dikorupsi. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Di ranah legislatif kematian nurani tak kalah mengerikan. Wakil rakyat mengkhianati amanat rakyat dengan merampok uang negara. Kementerian Dalam Negeri mencatat anggo ta Dewan Perwakilan Rakyat Dae rah (DPRD) yang terlibat korupsi di tingkat provinsi setidaknya berjumlah 431 orang. Sedangkan di tingkat kabupaten dan kota, ada 2.553 orang yang terlibat kasus korupsi. Ironisnya, praktik korupsi acap diikuti dengan upaya pelemahan KPK. Beberapa indikator yang mengemuka, antara lain, pembentukan opini publik untuk tidak percaya dan membubarkan KPK, wacana pemaafan koruptor, serta rencana merevisi KUHAP yang memperketat aturan kewenangan penyadapan oleh KPK.

Kolaborasi korupsi semakin sempurna ketika lembaga yudikatif turut serta meramaikan pesta pora koruptor. Tertangkapnya beberapa hakim dalam kasus suap jual beli perkara menyuguhkan orkestra trias koruptika di negeri ini. 

Pengadilan Tipikor yang menjadi tumpuan terakhir pemberantasan korupsi di satu sisi menunjukkan peta perubahan menggembirakan. Namun, pada sisi lain sejumlah persoalan seperti hakim ad hoc Tipikor yang masih membuka praktik advokat, bertemu pihak beperkara, terindikasi korupsi atas beberapa vonis mencurigakan, pembentukan komposisi majelis favorit (diisi hakim miskin integritas) dan tidak favorit (terdiri dari ha kim dengan rekam jejak baik) dalam penanganan korupsi sebagaimana hasil kajian ICW (2012) hingga kini belum tuntas.

Pembangunan karakter Visi Isra Mi'raj secara sosial untuk membangun karakter. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa sebelum Isra, Malaikat Jibril membelah dada Nabi Muhammad, menyucikan dengan air zam-zam kemudian memasukkan iman dan hikmah ke dalam hatinya. Penyucian batin itu relevan dengan hadis Nabi bahwa sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka baik pula seluruh anggota tubuh. Apabila ia buruk maka buruk pulalah tubuh manusia.

Segumpal daging itu adalah hati. Di sinilah nilai penting dari perjalanan agung Isra Mi'raj yang di dalamnya mencakup nilai-nilai pendidikan karakter dan pembelajaran jiwa bagi diri Muhammad.

Penyucian batin seharusnya juga dilakukan para pemimpin kita sebelum mengemban tugas dan tanggung jawab. Sehingga, mereka terbebas dari belenggu syahwat korupsi. Pakta integritas yang di tandatangani harus dipatuhi dan apabila dilanggar maka harus bersedia meletakkan jabatan tanpa menunggu desakan dari masyarakat.

Kesucian jiwa yang telah menjadi karakter menuntun manusia mawas diri dari sifat rakus, tidak jujur, dan menghalalkan segala cara. Sudah menjadi naluri jika manusia punya satu ceruk emas ingin menguasai gunung dan seterusnya.
Naluri itu tumbuh tatkala kontrol pengawasan orang terdekat longgar dan sistem memberikan peluang terjadinya korupsi. Memberantas korupsi tidak sekadar melalui mekanisme penegakan aturan hukum. Dibutuhkan kepatuhan moral dalam keluarga sebagai strategi pencegahan. Korupsi berkelindan dengan kualitas amanah dalam mengemban jabatan. Semakin orang merasa tak malu melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), semakin tinggi tuntutan kualitas pelaksanaan ajaran moral dalam keluarga.

Nilai-nilai pendidikan karakter dalam keluarga bisa dijadikan tameng dalam membendung hasrat koruptif. Setiap keluarga dapat melakukan detoksifikasi racun korupsi dalam lingkup kecil terlebih dahulu sebelum menjadi kesadaran sosial yang masif. Detoksifikasi berarti keberdayaan entitas keluarga untuk membunuh sifat-sifat rakus, tidak jujur, pamrih, dorongan memperkaya diri, serta matinya rasa malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar