Jumat, 30 Mei 2014

Konstruksivisme Malindo, Mungkinkah?

Konstruksivisme Malindo, Mungkinkah?

 Ahmad Sahidah  ;   Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
JAWA POS,  30 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
UNTUK menyambut perayaan hubungan bilateral, Research Institute for ITS (Indonesia Thailand Singapura) UUM menghelat Perbincangan Meja Bulat (Diskusi Meja Bundar) yang melibatkan kaum akademisi Indonesia-Malaysia pada 5-6 Mei 2014 di Universitas Utara Malaysia.

Selain melibatkan akademisi, panitia mengundang perwakilan kantor berita Malaysia, Bernama, dan Jakarta Post, serta LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk berbagi pandangan untuk mengurai silang-sengkarut hubungan negara serumpun ini. Mereka duduk bersama untuk membahas tiga tema besar, yaitu Budaya dan Keserumpunan Diplomasi Indonesia-Malaysia, Dinamika Hubungan, serta Isu dan Tantangan Diplomasi Masa Kini. Keterlibatan media tentu sangat penting karena berita di koran atau televisi acapkali memantik konflik meluas.

Tentu dukungan Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur dan empat konsulat RI, Johor, Pulau Pinang, Kucing, dan Sabah menjadikan pertemuan ini mempunyai makna penting untuk memberikan jalan Diplomasi Jalur Kedua (Second Track Diplomasi) untuk merekatkan hubungan serumpun. Bagaimanapun, hubungan pemerintah keduanya bersifat normatif, sementara hubungan warga masing-masing perlu mendapat ruang yang jauh lebih besar karena konflik di antara kedua negara acapkali muncul dari persinggungan antara warga. Kesediaan Herman Prayitno berbicara di hadapan mahasiswa Malaysia jelas membuka lembaran baru untuk mendekatkan diplomat kita dengan calon pemimpin jiran, betapapun halangan komunikasi menganga karena faktor bahasa.

Rumpun

Satu isu yang sering dimunculkan dalam sengketa kedua negara adalah perasaan serumpun. Betapapun kadang kesamaan asal muasal itu hanya berupa bayangan (imagined) sebagaimana diungkapkan Prof Muhammad Abu Bakar dari Universitas Malaya, namun hakikatnya nyata (real). Penentangan terhadap penjajahan pada abad ke-19 jelas menunjukkan keserumpunan "Melayu" menjadi pengikat di Semenanjung, Jawa, Kalimantan, Filipina, dan identitas bersama. Malah, sejak 1920-an Tan Malaka menggagas kemelayuan sebagai dasar persatuan regional (serantau).

Justru pasca penjajahan, keduanya acapkali berseberangan. Djayadi Hanan, Universitas Paramadina, menyatakan, relasi pasang-surut diakibatkan oleh faktor global dan faktor lain yang saling mengafirmasi dan menegasi, yakni warisan dan perasaan kultural sebagai bangsa serumpun dan kebutuhan penguatan pembangunan negara (nation-building) yang berbasis negara (nation-state).

Untuk itu, Direktur Riset SMRC tersebut justru mengusulkan penggunaan secara positif perasaan dan warisan kultural, alih-alih menggunakannya untuk menafikan kewujudan yang lain. Justru, alumnus Universitas Ohio ini melihat isu lain yang perlu diselesaikan agar hubungan kedua negara bertetangga tak terperangkap konflik, seperti imigran ilegal atau di sana dikenal dengan pendatang asing tanpa izin (PATI). Berdasar kedekatan emosional, keduanya justru mesti duduk bersama untuk membicarakan penyelesaian hukum seraya menghormati proses pengadilan internal di kedua negara.

Jalan Baru

Seperti diungkapkan I Nyoman Sudira, Universitas Parahyangan, pendekatan baru terhadap hubungan antarnegara adalah Mazhab Konstruksivisme. Betapapun hubungan internasional didorong oleh fakta-fakta, namun pelaku mesti menafsirkan kembali kenyataan yang sebenarnya bersifat intersubjektivitas. Di sini, ada moral, nilai, dan etik yang menyangganya. Pendekatan realisme sebagai warisan peran dingin wajib ditinggalkan agar tata dunia baru tidak dibelenggu oleh perseteruan secara terus-menerus.

Dengan berkaca pada cara pandang baru di atas, kita perlu menyimak apa yang diungkapkan Andriana Elisabeth, LIPI Jakarta, betapa pentingnya diplomasi ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan nasional masing-masing. Mengingat ketimpangan yang kontras, Malaysia menempati posisi ke 44 dan Indonesia 69 dalam the Legatum Prosperiti Index 2013, terkait faktor kekayaan, pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat, arus masuk pekerja Indonesia ke negeri jiran tidak terelakkan. Karena itu, keduanya harus menjamin lapangan kerja dan mobilitas tenaga secara profesional.

Sejatinya, ketika akademisi, pekerja media, dan warga kedua negara bisa duduk bersama membicarakan isu-isu yang membelit dua negara, jalan keluar dari konflik telah terbuka. Bagaimanapun, romantisisme serumpun tak bisa sepenuhnya dinyanyikan, karena ikatan persaudaraan bahkan pecah karena konflik kepentingan. Tugas bersama justru bertumpu pada penyelesaian masalah nyata, buruh migran dan garis perbatasan. Kalau kaum cerdik pandai setiap negara tak mempunyai pengetahuan yang cukup, apatah lagi orang awam.

Akhirnya, bangunan baru hubungan Indonesia-Malaysia mungkin ketika konstruksi terhadap fakta dilakukan banyak pihak, bukan terbatas pada perwakilan masing-masing di Jakarta dan Kuala Lumpur. Justru, intensitas komunikasi antara akademisi dan mahasiswa bisa meretas syak wasangka yang menjadi penghalang hubungan yang jauh lebih tulus. Orang ramai jelas bergantung pada kaum sarjana untuk menjelaskan kekusutan yang sering memerangkap dua negara pada isu-isu yang berulang dan tidak ada titik terang. Nyatanya, pemantik pertengkaran itu tidak dipahami secara sama oleh dua warga. Bukankah secara tidak langsung ini menegaskan bahwa masing-masing bertarung dengan prasangkanya sendiri? Padahal, seperti diungkap Djayadi Hanan dalam Meja Bundar ini, ketika kartun serial Upin-Ipin bisa dinikmati oleh semua kalangan di tanah air, secara alamiah kedekatan emosional begitu nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar