Sabtu, 31 Mei 2014

Kudeta di Thailand dan Artinya bagi Indonesia

Kudeta di Thailand dan Artinya bagi Indonesia

 Salim Said  ;   Guru besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia; Dosen tetap pada Sesko TNI, Sesko AL, Sesko AU, Sesko AD, dan PTIK/STIK
MEDIA INDONESIA,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KUDETA, secara tradisional sejak 1932, meru pakancara pergantian elite penguasa yang paling menonjol di Thailand. Sejak kudeta pertama (1932) itu, belasan kudeta telah melanda negeri tersebut. Ciri yang menonjol dalam kudeta Thailand ialah sifatnya yang elitis. Artinya, pada umumnya tidak melibatkan rakyat dan berlangsung tanpa pertumpahan darah. Hanya ketika mahasiswa mulai memasuki arena politik di era 70-an, kudeta 1973, 1976, dan 1992 tak terhindarkan lagi dari simbahan darah.

Menarik untuk dicatat bahwa hampir semua kudeta di Thailand berlangsung menjelang Oktober, bulan pergantian pimpinan militer. Itu di masa lalu, yang membuktikan kudeta itu urusan para jenderal saja. Rakyat paling banyak hanya menikmati `pameran' barisan tank dan peralatan militer modern lainnya berseliweran di Kota Bangkok.

Namun sejak era 70-an, peran Raja Thailand, Bhumibol Aduljadej, menjadi sangat penting dalam perpolitikan `Negeri Gajah Putih', terutama dalam hubungan tentara dengan politik. Rakyat Thailand yang beragama Buddha melihat raja mereka--yang bersimpati dan banyak memberi perhatian kepada rakyat kecil--sebagai Buddha hidup (living Buddha). Sejak itulah kudeta bukan melulu mainan para jenderal.

Ada tiga kudeta di Thailand pasca-Perang Dunia II yang penting untuk dimengerti. Pertama, kudeta 1973. Kudeta ini sangat berdarah dengan mahasiswa sebagai penantang utama berhasil menggulingkan rezim militer, dengan kekuasaan absolut, di bawah pimpinan Marsekal Thanom Kittikachorn. Pada 1973¬1976 Thailand mencoba menegakkan demokrasi. Yang terjadi justru hampir anarki sehingga kelas menengah Thailand yang masih lemah memilih tentara untuk memimpin kembali Thailand (withdrawal syndrome, menurut Ben Anderson). Pada 1976 ditandai oleh kudeta militer berdarah yang korbannya terutama ialah mahasiswa.

Kudeta berdarah yang ketiga ialah pada 1992, yang dipimpin Jenderal Suchinda Krapkrayoon. Yang dihadapi waktu itu ialah mahasiswa yang didukung kelas menengah dan mendapatkan simpati raja. Meski telah menumpahkan darah ratusan orang-terutama mahasiswa Krapkrayoon akhirnya harus mundur. Raja menolaknya. Kekalahan militer dan kemenangan demokrasi di Thailand pada 1992 itu oleh para pengamat politik disimpulkan sebagai bukti menguat dan solidnya kelas menengah Thailand setelah sekian lama mengalami perkembangan ekonomi.

Maka ketika Jenderal Sonti menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra beberapa tahun kemudian, orang pun terkejut dan bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan kelas menengah Thailand? Pengalaman Thailand menunjukkan bahwa kelas menengah--seperti yang diduga Lenin-pada dasarnya bersifat oportunistis, hanya akan pro kepada pihak yang menguntungkan mereka.

Kelas frustrasi

Marilah kita lihat Thailand menjelang kudeta Jenderal Sonti. Jauh sebelum kudeta, kelas menengah Thailand sudah berusaha keras menjatuhkan Thaksin, yang dianggap musuh karena sang perdana menteri lebih mementingkan konstituennya di kalangan miskin dan petani. Perpecahan dalam kalangan kelas menengah dan frustrasi mereka dimanfaatkan oleh tentara yang juga punya persoalan dengan Thaksin.

Selain kekuasaan yang diperolehnya lewat pemilihan umum, Thaksin kelihatannya ingin memperkuat kedudukannya dengan menguasai tentara (subjective civilian control). Tentara Thailand cenderung dekat kepada raja yang dikelilingi para mantan jenderal sebagai penasihatnya. Untuk mencapai tujuannya, Thaksin mempromosikan orang orangnya di dalam militer ke posisi tinggi untuk menguasai tentara. Keadaan itu dilawan oleh tentara yang merasa independensi serta otonominya terganggu. Akibatnya, terjadi konflik antara militer dan Perdana Menteri.

Dengan raja, ternyata Thaksin juga punya persoalan. Merasa berkuasa dengan dukungan rakyat, Thaksin mulai risi terhadap pengaruh politik raja-terutama atas tentara-yang sebenarnya memang tidak punya dasar konstitusional, melainkan semata karena karisma raja. Hubungan dengan raja menjadi tegang dan keadaan demikian dimanfaatkan tentara dan golongan kelas menengah. Konflik dengan tentara menjadi lebih seru sehubungan dengan bentrokan di Thailand selatan. Di selatan, Thaksin menempuh kebijakan garis keras, sedangkan tentara dan raja lebih menginginkan perundingan dengan kaum separatis muslim di selatan itu.

Di samping itu, tanggung jawab militer di Thailand Selatan berangsur dialihkan kepada polisi--Thaksin be kas perwira polisi lulusan Akademi Kepolisian--hal yang juga menambah kejengkelan tentara kepada perdana menteri.

Sekian tahun kemudian, adik Thaksin, Yingluck Shinawatra, menduduki kursi perdana menteri lewat pemilu. Perempuan cantik itu akhirnya juga digulingkan tentara setelah demonstrasi panjang dan bentrokan menentang dan juga membelanya melanda Bangkok. Penjelasannya kurang lebih sama bahwa kelas menengah terpecah karena sang perdana menteri dianggap hanya sekadar boneka bagi abangnya yang kini bermukim sebagai pelarian di Dubai.

Arti buat Indonesia

Apakah yang dapat kita simpulkan dari pengalaman Thailand tersebut? Pertama, berlainan dengan dugaan semula, budaya politik kelas menengah ternyata belum tertanam kukuh di Thailand. Dalam keadaan demikian, mudah sekali bagi kekuatan militer untuk merebut kembali kekuasaan. Kedua, tentara Thailand yang terlibat politik sejak 1932 ialah tentara yang diam-diam (tanpa doktrin dwifungsi) telah mengembangkan persepsi diri sebagai kekuatan politik yang pada saat-saat kritis akan tampil sebagai `juru selamat bangsa'.

Ketiga, kegagalan Thaksin dan adiknya menggalang kekuatan-kekuatan politik demokratis untuk mempertahankan demokrasi telah menyedot tentara untuk masuk kembali ke politik.

Mungkinkah yang terjadi di Thailand akan terjadi di Indonesia? Mungkin dan tidak mungkin. Mungkin dalam pengertian tentara Indonesia-yang punya rekam jejak panjang terlibat politik--bisa saja kembali mem mempunyai peranan politik yang sangat menentukan. Namun, jika peranan politik tentara itu akan muncul kembali, itu tidak akan diperoleh lewat kudeta, melainkan lewat semacam war of attrition dengan kekuatan kekuatan sipil yang ada di parlemen dan pemerintahan.

Tentara Indonesia meresmikan diri mereka sebagai kekuatan politik dengan doktrin dwifungsi (yang sebagai akibat reformasi sejak April 2000 sudah mereka tinggalkan) tidak melalui kudeta, tetapi melalui proses incremental (berdikit-dikit) sesuai dengan kesempatan yang dibukakan oleh golongan sipil. Pengalaman politik yang berbeda an tara tentara Thailand dan TNI membawa konsekuensi pada berbedanya jalan yang mereka tempuh dalam menunjukkan diri masing-masing sebagai `juru selamat bangsa.'

Kendati ada perbedaan tersebut, pengalaman Thailand dan juga Indonesia di masa lalu menunjukkan dengan jelas bahwa tentara hanya mungkin tersedot masuk ke dalam politik jika kekuatan politik sipil membuka ruang bagi tentara untuk berpolitik. Thailand dianggap memasuki demokrasi sejak 1992 setelah berhasil--dipelopori oleh kelas menengah--menggagalkan kudeta Jenderal Krapkrayoon. Sementara itu, Indonesia memasuki era demokrasi setelah-krisis moneter dan demonstrasi yang dipelopori mahasiswa--berhasil menumbangkan Presiden Soeharto.

Di sini terlihat persamaan dan perbedaan Indonesia dengan Thailand. Di negeri jiran itu telah bangkit kekuatan kelas menengah sebagai pendukung demokrasi meski belum solid secara meyakinkan. Di Indonesia kekuatan demokratis ialah anak-anak muda yang kedudukannya sebagai mahasiswa merupakan posisi sementara. Keadaan demikian, maka secara teoritis ataupun pengalaman praktis, menunjukkan bahwa Thailand sebenarnya lebih siap berdemokrasi dan potensi daya tahan demokrasi nya lebih kuat ketimbang Indonesia yang kelas menengahnya sangat tidak signifikan.

Jika keadaan demikian kita kaji dengan saksama, konsekuensinya bagi Indonesia hanya satu, politisi sipil Indonesia harus sangat berhati-hati dalam mengelola politik agar tidak muncul ruang kosong yang akan menyedot masuk kekuatan-kekuatan ekstrakonstitusional ke politik. Mempertahankan kehati-hatian ini tidaklah mudah sebab Indonesia adalah sebuah bangsa baru yang masih berada pada tingkat fragmented society dengan tingkat kecurigaan antar golongannya masih terbilang tinggi dan karena itu, potensi perpecahannya masih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar