Rabu, 28 Mei 2014

Membangun Budaya Bangga Punya Rumah

Membangun Budaya Bangga Punya Rumah

Maryono  ;   Direktur Utama Bank BTN
KORAN SINDO,  27 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kebutuhan rumah merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia: sandang, pangan, dan papan. Untuk memberikan pilihan dan harga yang terjangkau, beragam sandang dan pangan diimpor untuk masyarakat.

Rumah pun demikian. Pemerintah terus mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan rumah, terutama rumah kelompok masyarakat menengah bawah. Rumah sederhana yang sehat, terintegrasi dengan infrastruktur transportasi publik dan fasilitas sosial menjadi prasyarat penting kelas menengah bawah untuk hidup. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidaklah mudah karena harga rumah yang relatif susah digapai kelas menengah bawah.

Diperlukan lembaga pembiayaan khusus yang mampu membantu kelas menengah bawah untuk memiliki rumah. Di situlah peran strategis bank memberikan layanan kredit properti yang fokus pada segmen menengah bawah. Rumah yang terintegrasi dengan infrastruktur mapan berikut transportasi publik yang terjangkau memberi masyarakat akses untuk beraktivitas.

Ruang terbuka hijau dan fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit yang berkualitas, dan dekat rumah memberikan kenyamanan masyarakat. Dengan demikian, baiti jannati (rumahku surgaku) dapat dicapai. Namun budaya memiliki rumah ini makin lama makin turun karena berbagai hal. Salah satunya adalah middle income trap. Pilihan konsumsi kelas menengah semakin banyak. Biaya pulsa, kendaraan, transportasi, lifestyle, dan masih banyak lagi berlomba menguras kantong kelas menengah.

Budaya yang diwariskan dari pendahulu bahwa pasangan muda itu baru boleh bangga dan gagah saat punya rumah sendiri lambat laun makin luntur. Berganti dengan budaya konsumtif. Keinginan untuk memiliki rumah menjadi prioritas kesekian, dikalahkan oleh banjirnya produk konsumtif yang menarik. Budaya memiliki rumah ini yang harus diangkat lagi ke permukaan. Tidak hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap papan, tetapi juga bentuk investasi.

Membeli produk eletronik, gadget, automotif, dan sejenisnya terus turun nilainya setiap saat. Bahkan beberapa detik setelah kita beli pun kalau kita jual kembali harga turun. Berbeda dengan membeli rumah yang harganya terus naik. Budaya “bangga punya rumah” akan membawa bangsa Indonesia lolos dari middle income trapdan generasinya dapat menyelamatkan hasil kerjanya dengan memiliki rumah, bukan hanya menjadi budak konsumerisme.

Dengan menggalakkan bangga punya rumah, secara langsung akan terjadi multiplier ekonomi yang besar. Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) pernah mengklaim ada sekitar 135 industri terkait dengan pembangunan perumahan di Indonesia.

Panangian Simanungkalit, Direktur PSPI, menjelaskan ketika terjadi suatu pembangunan perumahan dalam suatu kawasan di wilayah perkotaan misalnya, tak kurang dari 135 industri terkait yang berada di sekitarnya ikut menikmati perputaran uang yang terjadi atas pembangunan perumahan tersebut. Budaya “bangga punya rumah” ini harus terus digalakkan.

Upaya-upaya negara untuk memberikan kemudahan perusahaan properti membangun produk yang menjawab kebutuhan kelas menengah harus terus didukung. Demikian juga dukungan terhadap lembaga pembiayaan yang fokus di pembiayaan properti, khususnya segmen menengah bawah. Lembaga pembiayaan khusus tersebut sangat strategis untuk menyelamatkan Indonesia dari middle income trap.

Bisnis KPR kelas menengah bawah adalah prioritas utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Sejak ditunjuk pemerintah tahun 1974 untuk mendukung pembiayaan program rumah nasional (rakyat), Bank BTN hingga saat ini masih terus menunjukkan perannya sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam program rumah rakyat tersebut. Tak kurang dari 3,6 juta rumah sudah dibiayai Bank BTN.

Jika rata-rata 4 orang yang menghuni rumah, lebih dari 15 juta masyarakat Indonesia paling tidak sudah menikmati tinggal di rumah yang dibiayai Bank BTN. Setiap tahun, Bank BTN memberikan kredit kepada 100.000 lebih pemilik rumah di mana sebagian besarnya adalah rumah pertama. Keunikan layanan dan pengalaman terse-but menjadikan BTN menguasai pasar kredit properti, khususnya segmen menengah bawah untuk rumah pertama.

Dapat dikatakan hingga hari ini, bank yang memberikan layanan pembiayaan rumah untuk kelas menengah bawah didominasi BTN. Sebagai korporasi, BTN terus berupaya agar dapat berperan lebih banyak untuk membantu masyarakat memiliki rumah. Langkah ini tak mudah meskipun BTN adalah bank besar peringkat ke-10 dari 120 bank nasional.

 Perlu Kerja Keras Bersama

Jumlah backlog perumahan secara nasional terus meningkat dari tahun ke tahun. Kekurangannya sudah menembus 20 juta unit. Setiap tahun ada tambahan permintaan 1 juta–1,5juta unit. Sementara pasokan hanya 600.000–800.000 unit. Diperlukan kerja keras bersama antara pemerintah pusat, daerah, perusahaan properti, dan lembaga pembiayaan untuk mencukupi kebutuhan rumah kelas menengah bawah tersebut.

Pemerintah pusat perlu menyusun perangkat aturan untuk mendukung perusahaan properti, pemerintah daerah menyusun rencana tata ruang dan wilayah yang strategis, perusahaan properti membangun sesuai koridor aturan yang ditetapkan, lembaga pembiayaan mendukung proses konstruksi hingga kredit kepemilikan rumahnya.

Semua harus sinergi. Bank BTN yang bisnis utamanya pada pembiayaan perumahan sudah pasti perannya sangat strategis. Saat ini korporasi sedang menggodok program strategis yang dapat meningkatkan jumlah nasabah KPR hingga 300–400% dari kapasitas tahunan yang sudah berjalan. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama program tersebut dapat berjalan. Bank BTN akan menjadi housing bank.

Sederhananya Bank BTN menjadi “pabrik KPR” yang portofolionya dapat disekuritisasi atau dijual ke lembaga keuangan lain sebagai portofolio kredit atau investasi. Untuk mendukung program strategis tersebut, BTN akan memaksimalkan pendanaan tidak hanya dari dana pihak ketiga yang sudah standar (tabungan, giro, deposito), tetapi juga melalui obligasi jangka menengah panjang.

Tentunya jika BTN mendapat dukungan pemerintah untuk meningkatkan permodalan, lebih banyak pendanaan alternatif jangka panjang dapat diterbitkan BTN. Keunikan pendanaan BTN inilah yang menjadikan posisi loan to deposit ratio(LDR) seolah tinggi hingga di atas 100%. Jika memasukkan komponen obligasi, LDR BTN sekitar 85–88%. LDR ini hanya salah satu contoh keunikan BTN dibandingkan bank pada umumnya.

Belum termasuk aspek operasional dan hal teknis lainnya. Program berikutnya adalah mempererat kerja sama sekuritisasi dengan SMF yang sudah terjalin selama ini. BTN akan mengembangkan sekuritisasi dan penjualan portofolio kredit BTN yang sehat ke bank lain. Sinergi antarbank untuk samasama berbisnis sekaligus mengemban misi sosial menyediakan kredit rumah yang terjangkau untuk segmen masyarakat menengah bawah.

Sederhananya sinergi antarbank adalah BTN menjadi originator dan servicer-nya. Semua infrastruktur termasuk pengelolaan kredit dan collection-nya nanti Bank BTN yang menyiapkan dan bank peserta tinggal menyiapkan funding-nya. Mereka akan mendapatkan aset KPR dan BTN akan memperoleh fee based income untuk itu. Itulah rencana besar Bank BTN membesarkan dirinya sendiri tanpa sentuhan pemerintah.

Bank BTN masih tetap menjadi harapan masyarakat kecil untuk memiliki rumah. Kalau pasar KPR ini bisa terwujud dan SMF didorong kembali pada khitahnya, tidak mustahil Bank BTN ke depan akan menjadi lebih besar. Kita lihat saja nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar