Sabtu, 31 Mei 2014

Memilih Presiden dalam Karung

Memilih Presiden dalam Karung

W Riawan Tjandra  ;   Pengajar Hukum Kenegaraan
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KOMPAS,  31 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SISTEM pemilu presiden yang dianut di negeri ini fondasinya diletakkan pada Pasal 6 dan 6A UUD 1945. Intinya menempatkan partai politik atau gabungan parpol sebagai satu-satunya pintu masuk bagi pengajuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam proses pemilu presiden.

Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga pernah menolak permohonan uji materi UU Pilpres mengenai peluang calon independen untuk bisa maju sebagai calon presiden dalam pilpres, yakni melalui putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008. Pertimbangan MK sangat sederhana karena hanya merujuk dan mengabsahkan secara tekstual rumusan Pasal 6 dan 6A UUD 1945, yang dituangkan dalam UU No 42/2008 tentang Pilpres.

Namun, pada waktu itu, di kalangan majelis hakim MK sendiri juga ada perbedaan pendapat yang antara lain menyatakan bahwa bila Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dianggap sebagai hak konstitusional parpol, maka hak itu merupakan derivasi dari hak-hak dasar warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Seharusnya, MK melihat juga hak-hak konstitusional lain yang diatur dalam UUD 1945, antara lain hak-hak yang dijamin oleh Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

Transaksi antar-elite

Sebagai implikasi dari Pasal 6 dan 6A UUD 1945 itu, setiap menjelang pencalonan presiden—sejak beberapa kali pemilu hingga kini—dunia politik ketatanegaraan diwarnai kesibukan yang tinggi di kalangan parpol untuk membangun koalisi. Dalam bahasa lebih halus: kerja sama antar-(elite)-parpol untuk menentukan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung dalam proses kontestasi pilpres.

Koalisi antarparpol, meskipun dalam putusan MK No 14/PUU-XI/2013 akan ditiadakan sebagai konsekuensi penghapusan limitasi ambang batas pencalonan presiden mulai tahun 2019, saat ini tetap menjadi boarding pass untuk memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 terkesan memiliki nilai ganda dalam menyikapi proses pencalonan presiden karena memungkinkan pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Hal inilah yang oleh UU Pilpres ditafsirkan bagi keharusan adanya ambang batas bagi perolehan suara parpol atau gabungan parpol dalam syarat pencalonan pasangan capres dan cawapres.

Di saat MK sebagai institusi yang dinisbahkan sebagai penafsir tunggal atas konstitusi (the sole interpreter of the constitution) dalam putusannya tak memberi pilihan yang pasti terhadap tafsir Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 itu, maka mekanisme pilpres kali ini tetap membuka celah bagi transaksi antar-(elite)-parpol menjelang pencalonan presiden. Mekanisme pencalonan presiden tetap tersandera praktik transaksional koalisi parpol meskipun dibungkus dengan berbagai upaya penghalusan bahasa politik.

Publik tetap sulit berharap akan kepastian presiden dan cawapres yang terpilih nanti tidak tersandera dan menjadi tawanan koalisi parpol. Apalagi jika mencermati realitas politik Senayan selama ini—yang cenderung sangat lentur dalam mematuhi peraturan tata tertib yang dibuatnya sendiri dalam pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan—sulit ditepis kekhawatiran bahwa presiden dan aparat eksekutifnya akan tetap berpotensi terganjal dalam mengeksekusi sejumlah kebijakan yang harus melewati otorisasi politik Senayan.

Selama banyak peraturan perundang-undangan masih memungkinkan ”bala tentera” Senayan bergerilya hingga satuan-satuan kerja di lingkungan eksekutif, sulit dihindari adanya replikasi dan duplikasi praktik- praktik politik transaksional yang menjadikan eksekutif sebagai ”sandera” demokrasi ala parlementerisme Senayan walaupun kini semua pasangan capres dan cawapres berwacana mengenai penegasan sistem presidensial.

Sangat penting praktik-praktik politik ketatanegaraan semacam ini juga menjadi bahan yang diperdebatkan dalam kampanye para pasangan capres dan cawapres. Dengan demikian akan terbentuk kesadaran publik untuk menolak terulangnya praktik-praktik politik transaksional dalam sistem presidensial ”rasa” parlementer seperti selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar