Selasa, 27 Mei 2014

Menakar Independensi Media

Menakar Independensi Media

Amir Effendi Siregar  ;   Pengamat Media
KOMPAS,  26 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
SETELAH pemilihan umum legislatif, kini rakyat Indonesia bersiap memilih presiden. Banyak pihak gelisah terhadap intervensi pemilik pada isi media, khususnya intervensi pemilik yang terlibat dalam kompetisi politik ini. Elektabilitas seseorang tentu tak hanya ditentukan oleh banyaknya pemberitaan dan iklan di media, tetapi juga oleh banyak faktor termasuk track record, target audience, serta lingkungan sosial dan budaya.

Maka, penelitian tentang independensi dan netralitas media yang dilakukan oleh Dewan Pers menjadi penting meskipun dilakukan sebelum pemilu legislatif. Penelitian dikerjakan oleh tiga lembaga, yaitu Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA), Remotivi, dan Masyarakat Peduli Media (MPM). Hasilnya telah dipresentasikan pada akhir Maret 2014, di kantor Dewan Pers.

Menurut Denis McQuail (2013), Kovach dan Rosentiel (2001), juga Undang-Undang Pers, idealisme jurnalisme dan media adalah menyajikan informasi yang mencerdaskan dan memberdayakan publik agar mereka bisa mengatur diri sendiri.

Kepentingan publik adalah alasan utama eksistensi jurnalisme. Maka, independensi dan netralitas menjadi elemen penting dalam menjalankan profesi ini.

Dalam penelitian ini, PR2MEDIA menggunakan metode gabungan, yaitu studi pustaka, analisis isi, wawancara, dan observasi. Analisis isi dilakukan terhadap surat kabar Kompas dan Koran Sindo pada 29/10-26/11- 2013, Kompas.com dan okezone.com pada 3- 9/11, serta RCTI sejak 1-7/11.

Remotivi menganalisis isi terhadap TVRI, SCTV, Trans TV, RCTI, Metro TV, dan TV One pada 1-7/11-2013. Adapun MPM meneliti Media Indonesia/Metro TV, Visi Media/ANTV/TV One, MNC, CT Corporation, dan Jawa Pos/Rakyat Merdeka pada 1-15/11-2013.

Pemberitaan

PR2MEDIA mengukur netralitas media dengan melihat ada tidaknya, antara lain, unsur sensasionalisme. Ini terdapat pada Kompas 12,5 persen, Sindo 25,71 persen, Kompas.com 13,6 persen, okezone.com 15,46 persen, dan RCTI 11,40 persen.

Juxtaposition/linkage (penyandingan dua hal yang berbeda seolah-olah berhubungan untuk menimbulkan efek kontras dan atau asosiatif) terdapat dalam Kompas 10 persen, Sindo 8,57 persen, Kompas.com 8 persen, okezone 3,09 persen, dan RCTI 10 persen. Unsur keberpihakan pada Kompas 2,5 persen, Sindo 14,29 persen, Kompas.com 0 persen, okezone.com 16,49 persen, dan RCTI 12,9 persen. Semua unsur di atas seharusnya rendah.

Unsur yang seharusnya tinggi adalah akurasi pemberitaan, di sini Kompas 100 persen, Sindo 91,43 persen, Kompas.com 97,6 persen, okezone.com 88,66 persen, dan RCTI 85,7 persen. Kemudian untuk keberimbangan (melihat kesan positif/negatif terhadap pemilik atau pihak tertentu) Kompas 80 persen, Sindo 77,14 persen, Kompas.com 64 persen, okezone 39,18 persen, dan RCTI 50 persen.

Secara kuantitatif pemberitaan tentang pemilik tidak banyak. Namun, secara kualitatif mengandung isu penting untuk kepentingan pemilik.
Seperti ditunjukkan dalam kasus RCTI, pemilik tidak hanya menggunakan medianya untuk kepentingan politik, tetapi juga untuk memenangkan persaingan bisnis dan pembelaan diri atas kasus hukum.

Observasi yang dilakukan peneliti menemukan bahwa liputan dalam kelompok MNC tidak hanya bias pemilik, tetapi juga ada tendensi menyembunyikan kebenaran. Dalam kondisi ini, loyalitas media dari mencari kebenaran dan bertanggung jawab kepada publik bergeser ke pemilik.

Selanjutnya, menurut Remotivi, eksploitasi ruang redaksi oleh pemilik untuk kepentingan politik, paling nyata terjadi di Metro TV. Surya Paloh (SP) paling banyak diberitakan.

Dari total durasi 43,6 persen di antaranya memberi porsi kepada SP tampil secara visual dan berbicara di layar. Berbeda dengan Aburizal Bakrie (ARB)/TV One dan Hary Tanoesoedibjo (HT)/RCTI. Keduanya tidak melakukan eksploitasi ruang redaksi secara masif, tetapi bukan berarti TV One dan RCTI independen. Sebab, semua berita tentang pemiliknya bernada positif.

MPM menyatakan bahwa berita di TV One lebih banyak menyebut Partai Golkar dan ARB sebagai calon presiden dibandingkan dengan calon dan parpol lainnya. Demikian pula di Metro TV dengan Partai Nasdem dan SP. Di media cetak, Rakyat Merdeka memberikan porsi dominan pada Dahlan Iskan.

Iklan pemilik

PR2MEDIA memperlihatkan, dari seluruh iklan politik, iklan pemilik di Kompas 0 persen, Sindo 47,06 persen, dan RCTI 83,7 persen. Adapun iklan terselubung yang dikemas dalam bentuk berita di Kompas 0 persen, Sindo 41,2 persen, dan RCTI 13,30 persen. Iklan politik Win-HT dominan di Koran Sindo ataupun RCTI.
Remotivi memperlihatkan, TV One memberikan ruang 152 spot iklan bagi ARB selama awal November saja. Sementara itu, di RCTI, Win-HT beriklan sebanyak 66 kali ditambah kampanye dalam program kuis kebangsaan dengan tayangan sebanyak 14 kali selama 1-7 November.

Menurut MPM, pada iklan politik, terdapat kecenderungan yang sama. TV One dan Metro TV menyiarkan iklan politik pemilik dengan frekuensi tinggi. Iklan ARB rata-rata tidak kurang dari 15 kali tayang per hari, Metro TV dengan SP 20 kali, sementara Trans TV tidak menyiarkan iklan politik terkait pemilu.

Kesimpulannya, intervensi pemilik terlihat sangat vulgar. Maka, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan seluruh stakeholders penyiaran mengingatkan perlunya menjaga independensi dan netralitas media.

Untuk itu, Dewan Pers, KPI, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu memberikan teguran secara aktif berikut sanksinya, dan sebaliknya perlu memberikan penghargaan secara reguler kepada media yang telah menjalankan prinsip independensi dan netralitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar