Kamis, 29 Mei 2014

Mendambakan Pemimpin Pluralis Sejati

Mendambakan Pemimpin Pluralis Sejati

 Thomas Koten ;   Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
INDONESIA, tulis sang multikulturalis Will Kymlica (2000), adalah sebuah multibangsa yang terbentuk dan terbangun atas pluralisme komunitas sejarawi (historical community) yang sama. Oleh karena itu, dalam perjalanan bangsa ke dapan harus berlandaskan kepada warisan sejarah yang merupakan instrumen perekat kolektivitas sebagai sebuah bangsa, dan hendaknya bermuara pada cita-cita yang sama pula.

Dengan demikian, apa pun alasannya, ke depan, perlu dibangun sebuah sejarah kolektif bangsa yang kental sebagai sebuah komunitas sejarawi secara berkesinambungan, dengan kehendak untuk melanjutkan kehidupan bersama yang kuat dan harmonis.

 Itu agar dalam suka-duka dan dalam pahit-getirnya berbangsa sebagai akibat dari ketidakberesan dalam tata kelola negara oleh para pemimpin, semua anak banga tetap merasa sebagai satu negara bangsa, yaitu Indonesia.

Tanpa perasaan senasib dan kehendak untuk melanjutkan kehidupan bersama yang kuat dan harmonis, bangsa ini cepat atau lambat akan mengalami kekacauan yang bisa berujung pada disintegrasi.

Untunglah hingga kini perasaan senasib dan kehendak untuk tetap melanjutkan kehidupan bersama masih terpelihara. Pada 1998 misalnya, orang mengira Indonesia akan mengalami balkanisasi dan dihapus dari peta dunia. Namun, meski didera aneka kerusuhan, konflik etnis, dan ketegangan agama, Indonesia masih tetap berdiri gagah.

Solidaritas Sosial

Bertolak dari ulasan di atas, kita didorong untuk mengingat kebangsaan Indonesia sesungguhnya sejak awal dimengerti sebagai suatu bentuk solidaritas agung.

Logika pendiriannya adalah, penjajahan yang sekian lama telah menimbulkan kesengsaraan bagi bangsa Indonesia akibat penindasan, harus diakhiri. Satu-satunya jalan keluar adalah jika seluruh kelompok agama, suku, ras, dan antargolongan yang terjajah bersatu membangun solidaritas melawan politik memecah belah devide et impera, yang dikembangkan penjajah.

Oleh karena itulah, benar seperti yang ditulis Ernest Renan dalam artikel pendeknya What is a Nation, kebangsaan harus dipahami sebagai suatu bentuk solidaritas moral yang dipupuk dan dipertahankan melalui kesadaran sejarah yang khas. Kesadaran akan masa lalu yang gelap gulita, yang dirasakan bersama sebagai bangsa terjajah, dan keinginan untuk membangun masa depan nan cerah yang penuh keberhasilan.

Itulah yang disari secara cerdas oleh para pendiri bangsa, serta membangkitkan semangat rakyat untuk menatap masa depan yang gemilang. Bung Karno misalnya, secara tegas mengatakan, “Kemerdekaan adalah jembatan emas, di seberangnya akan diwujudkan masyarakat adil dan makmur.”

Tepatnya, di depan pengadilan terhadap dirinya pada 1930, Bung Karno menegaskan keinsyafan rakyat akan punya “masa silam yang indah, masa kini yang gelap gulita, dan janji-janji suatu masa depan yang melambai-lambai, berseri-seri.”

Memang, sebuah eksistensi kebangsaan yang kuat dan tetap lestari, dapat dipikat dan direkat oleh cita-cita bersama nan agung terhadap suatu masa depan yang adil dan makmur, beradab, dan bersahaja. Tulis Octavio Paz, intelektual Meksiko dan pemenang hadiah nobel, kebangsaan dijangkar pada janji-janji masa depan yang bisa jadi sangat ilusif, namun sangat kuat dalam membangkitkan imajinasi kolektif.

Di dunia ini ada sejumlah negara yang sanggup menggalang kekuatan masa depannya lewat penggalangan kebersamaan dalam bercita-cita. Artinya, cita-cita bersama dalam meraih hari esok yang cemerlang menjadi alat perekatnya yang mempererat kebersamaan. Negeri imigran seperti Amerika Serikat dengan “The American Dream”-nya adalah sebuah contoh.

Sayang bahwa kebersamaan dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektif di negeri ini senantiasa mendapat ancaman atau kerap mengalami krisis yang disebabkan meruyaknya aspirasi politik identitas yang bersemangatkan partikularistik.

Radikalisme agama, suku, dan politik uang, semakin menjadi implikasi praktis pudarnya “bangsa” sebagai metafora solidaritas. Demokratisasi yang diharapkan dapat menyegarkan dan merehabilitasi solidaritas kebangsaan, justru menjadi arena produksi kekerasan dan diskriminasi.

Uang yang senantiasa terimpikan menjadi alat penunjang kesejahteraan, namun secara pasti semakin menjadi alat perusak kebersamaan dan mencederai bentuk-bentuk solidaritas kebangsaan. Selain itu, politik uang ikut merusak demokrasi dan mencabik-cabik tubuh politik, sehingga semakin tidak sanggup menggerakkan antusiasme solidaritas.

Indonesia menjadi kuat, hebat, agung, dan disegani berbagai negara di dunia karena sanggup membangun kebersamaan dan terus memperkokoh kemajemukannya. Namun, bagaimana jadinya jika kesadaran akan kebersamaan kian melemah? Tidak dapat dimungkiri, akan terus terjadi krisis solidaritas yang akan memicu krisis kebersamaan dalam kemajemukan.

Dalam hal ini, sulit mengharapkan lenyapnya konflik atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Bukan tidak mungkin juga Pancasila, yang sudah menjadi kesepakatan dasar sebagai rumah bersama bagi kebhinnekaan bangsa, bisa runtuh suatu saat kelak. Lalu?

Pemimpin Demokratis-Pluralis

 Untuk membangun rumah kebersamaan dalam kemajemukan kemajemukan sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa, yang terus-menerus dibutuhkan adalah pemerintahan demokratis, dengan pemimpin demokratis dus pluralis sejati.

Kehadiran pemerintahan dan pemimpin yang demokratis dan pluralis guna membangun serta menciptakan solusi-solusi kreatif untuk memodernisasi perbedaan, supaya Indonesia semakin menjadi contoh demokrasi dan toleransi bagi negara-negara di dunia.

Melahirkan pemimpin demokratis dan pluralis, harus dilakukan dengan terlebih dahulu menciptakan pemilu demokratis serta menghindarkan sejauh mungkin politik uang yang selama ini telah menjadi momok demokrasi. Pemilu kita hingga kini boleh dikatakan sebagai pemilu damai. Namun, itu sesungguhnya hanya karena rakyat menerima politik uang sebagai sesuatu yang lumrah. Tetapi, jangan lupa efek politik uang dapat menjadi bom waktu di kemudian hari.

Pertama-tama, yang dibutuhkan bangsa ini terutama dalam pagelaran pemilu presiden dan wakil presiden, adalah segera melahirkan pemimpin demokratis dan pluralis sejati yang berkarakter kuat serta berani mengambil risiko dan sanggup membayar harga. Ia diharapkan sanggup menghentikan politik uang yang menjadi momok demokrasi.

Lahirnya pemimpin demokratis dan pluralis yang berkarakter, akan lebih mencintai demokrasi dan menjunjung tinggi pluralisme. Di situ, jelas ia akan berkomitmen kuat dalam perjuangan untuk memartabatkan dan mengagungkan bangsa dalam pluralitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar