Selasa, 27 Mei 2014

Menerawang Peta(ka) Koalisi Pilpres

Menerawang Peta(ka) Koalisi Pilpres

Ribut Lupiyanto  ;   Deputi Direktur C-PubliCA
(Center for Public Capacity Acceleration), Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  26 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
Manuver elite politik terkait koalisi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 terus menghiasi informasi di berbagai media. Koalisi menjadi keniscayaan dalam pilpres mendatang. Hasil penetapan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, tidak ada partai politik (parpol) yang mendapatkan suara mayoritas.

Pilpres 2014 akhirnya hanya diikuti dua pasang kontestan. Pasangan yang akan bertarung adalah Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pasangan Prabowo-Hatta didukung enam parpol, yaitu Partai Gerindra, PAN, PKS, Partai Golkar, PPP, dan PBB. Pasangan ini mendapatkan total dukungan 48,93 persen suara atau 292 kursi di DPR.

Selanjutnya pasangan Jokowi-Kalla didukung empat parpol, yaitu PDIP, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Pasangan ini mendapatkan total dukungan 39,97 persen suara, setara 207 kursi DPR.

Apa pun peta koalisi yang terbentuk tidaklah penting bagi publik. Hal yang terpenting, semua koalisi memiliki fondasi komitmen membangun negeri dan menyejahterakan rakyat. Dinamika politik yang sedang dan akan terjadi selama pilpres berpotensi menimbulkan petaka bagi semua pihak. Potensi petaka ini penting dipetakan untuk mengantisipasi implikasi negatifnya.

Teropong Sistem

Koalisi sejatinya hanya dikenal dalam sistem parlementer. David Altman (dalam Isra, 2012) mengemukakan, “Coalitions are not institutionally necessary.” Itu dalam sistem presidensial karena tidak kondusif terhadap political cooperation.  

Scott Mainwaring (1990) menyatakan, koalisi dalam sistem presidensial memiliki kelemahan. Pertama, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sedangkan parpol bisa lemah komitmennya terhadap presiden. Kedua, anggota legislatif dari parpol yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Ketiga, keinginan parpol membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.

Realitas politik menunjukkan, Indonesia tidak murni menganut sistem presidensial karena dalam beberapa hal presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Koalisi menjadi rekayasa institusional untuk mengurangi distorsi kombinasi presidensial dan multipartai di satu pihak, serta dalam rangka efektivitas mengokohkan sistem presidensialisme di pihak lain (Syamsudin Haris, 2008).

Sistem koalisi dan oposisi juga masih belum memiliki konsep yang mapan di Indonesia. Tanuwijaya (2010) menegaskan, terdapat tiga permasalahan fundamental yang harus diselesaikan dalam membangun sistem koalisi. Permasalahan tersebut, antara lain tidak jelasnya arti partai koalisi dan partai oposisi, dasar koalisi lebih banyak terkait kepentingan pragmatis, serta mekanisme sanksi terhadap partai koalisi membelot.

Koalisi dikenal di Indonesia sejak era Reformasi. Koalisi lebih dipahami sebagai upaya menggalang kekuatan berbasis pembagian kekuasaan (power sharing). Hal ini dibuktikan oleh fakta pembagian kursi menteri terhadap semua parpol anggota koalisi. Budaya politik ini tampaknya akan susah dihindari semua parpol dan calon presiden (capres).

Harold Laswell (2014) mengatakan, koalisi di Indonesia pasti membicarakan kursi. Hal ini karena politik sejatinya adalah who gets what, how, and when. Dengan demikian, capres atau parpol yang menjanjikan tidak akan menerapkan koalisi bagi-bagi kursi hanyalah basa-basi.

Sudah rahasia umum, bahwa siapa pun pengisi kabinet, meski dari profesional, mereka adalah hasil kompromi antarparpol melalui beberapa kesepakatan. Melihat kenyataan ini, terbentuknya zaken kabinet masih sekadar impian di Indonesia.

Petaka Koalisi

Permasalahan koalisi hadir mulai dari konsepsi hingga implementasi. Jelang Pilpres 2014, beberapa petaka politik sudah dan berpotensi terjadi. Petaka dapat menerpa semua stakeholders politik, mulai parpol, rakyat, hingga personel capres-cawapres.

Petaka bagi parpol adalah konflik internal. Beberapa parpol sudah terkena badai konflik sebagai akibat manuver politik jelang koalisi. Drama saling pecat sempat mewarnai perjalanan PPP. Islah akhirnya yang mengakhiri drama tersebut.

Partai Golkar juga berpotensi terganggu soliditasnya. Sebagian politikusnya melawan kebijakan partai. Tercatat, politikus teras Golkar, seperti Luhut Panjaitan, Poempida Hidayatullah, Indra Jaya Piliang, serta organisasi sayap Soksi eksplisit mendukung Jokowi-Jusuf Kalla.

PKB pun berpotensi menghadapi konflik lantaran hengkangnya dukungan Rhoma Irama, Mahfud MD, dan Ahmad Dhani. Kemesraan PKB dan Nahdlatul Ulama (NU) juga kembali merenggang.

Hanura tidak ketinggalan pecah kongsi. Hary Tanoe mundur dan mendukung Prabowo-Hatta.

Petaka bagi rakyat adalah koalisi pragmatis. Koalisi sepanjang sejarah politik bangsa ini masih miskin esensi. Kepentingan pragmatis berupa pembagian kursi kekuasaan jauh mendominasi atas kepentingan visi dan misi. Kursi adalah sah dan wajar diperbincangkan, tetapi mestinya setelah mengedepankan komunikasi visioner.

Dilema bagi menteri akan muncul ketika visi parpol berseberangan dengan presiden. Kondisi ini akan memengaruhi kinerja pemerintahan ke depan. Konsekuensinya, koalisi mesti dibangun dalam sistem yang mapan, kuat, visioner, dan disepakati semua parpol anggota.

Petaka bagi capres-cawapres adalah sandera politik. Komunikasi politik koalisi sering menampilkan strategi saling sandera. Politik adalah serbakemungkinan. Capres-cawapres dapat tersandera kesepakatan yang mengambang atau isu politik yang dipermainkan.

Publik mesti mengawasi dan menilai objektif atas segala dinamika yang terjadi. Elite politik jangan sampai hanya menciptakan kegaduhan dan menampilkan sandiwara politik. Elite politik memiliki tanggung jawab mendidik publik. Petaka bagi capres dan elite politik yang meninggalkan kepentingan rakyat adalah antipati dan penolakan dukungan publik dalam pilpres nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar