Rabu, 28 Mei 2014

Moratorium Pendaftaran Haji

Moratorium Pendaftaran Haji

Ahan Syahrul Arifin  ;   Peneliti Kebijakan Publik Gerilya Institute Jakarta
JAWA POS,  28 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KASUS korupsi dana haji yang menyeret Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) menjadi momentum transparansi pengelolaan dana haji. Sebab, selain terkait dengan penyalahgunaan wewenang dengan memberangkatkan anggota keluarganya, yang paling krusial dari kasus ini adalah soal transparansi dan akuntabilitas.

Tepatnya transparansi dana optimalisasi atau hasil investasi dari dana setoran jamaah. Dipergunakan untuk apa dana tersebut, diinvestasikan di mana saja, berapa jumlahnya setelah ditambah bunga? Termasuk pula, berapa total dana yang diperlukan untuk satu musim haji dan berapa dana sisanya. Dana sisa ini penting untuk diketahui karena dana sisa ini selanjutnya akan menjadi Dana Abadi Umat (DAU).

Kini tercatat DAU sudah mencapai Rp 2 triliun. Lantas, di mana ditaruh dana tersebut, apa jenis investasinya (tabungan maupun deposito), berapa imbal hasil yang didapatkan, untuk apa dana tersebut dipergunakan saat ini? Jika tidak jelas peruntukannya, dana itu sangat rawan untuk dikorupsi.

Jumlah total dana haji dari setoran awal di Kemenag, sebagaimana diungkap SDA sesaat setelah penyidikan KPK, telah mencapai Rp 70 triliun. DAU-nya Rp 2,3 triliun. Dana tersebut diinvestasikan di Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/sukuk) dan ditempatkan pada perbankan.

Bahkan, mengacu kepada keputusan menteri agama melalui PMA No.30/2013, dana haji kini harus ditempatkan pada perbankan syariah. Ditargetkan dana haji yang tersimpan pada bank konvensional pada Juni 2014 sudah dipindahkan ke perbankan syariah yang telah ditunjuk. Untuk saat ini telah ditunjuk 17 BPS BPIH serta 3 bank, yakni BNI, BRI, dan Ma­ndiri, sebagai bank transito.

Profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan dana haji menjadi wajib. Selain karena semakin lama semakin banyak, dana yang tidak terkelola dengan baik akan membawa kesulitan bagi pengelolanya. Masalahnya, kini tidak ada aturan yang baku untuk mengelola dana tersebut.

Karena itulah, mengingat belum adanya payung hukum dalam pengelolaan keuangan, moratorium pendaftaran haji urgent dilakukan. Sembari membuat payung hukum, pengelolaan dana yang ada hingga sekarang harus dibuka ke publik berapa jumlah. Tentu, perlu dibuat kebijakan bagi jamaah yang sudah uzur untuk berangkat dulu.

Pengelolaan dana tersebut menjadi penting karena menyangkut nilai uang yang mereka titipkan saat keberangkatan. Sebab, nilai uang sekarang yang mereka titipkan bisa jadi tergerus dengan inflasi atau nilai tukar. Kegunaan dana yang didiamkan di bank tersebut juga perlu dijelaskan kepada jamaah. Penjelasan ini penting agar jamaah tahu untuk apa dananya diinvestasikan.

Belajar dari Tabung Haji

Belajar pengelolaan dana haji dari negara jiran Malaysia tidak salah. Malaysia membangun sistem pengelolaan dana haji dengan membangun BUMN Tabung Haji (TH) sejak 1969. Spirit yang dikembangkan dari TH adalah bagaimana agar dana dari calon jamaah haji yang terkumpul bisa diberdayakan secara ekonomi dan produktif.

Dana haji di Malaysia berbentuk tabungan yang memberikan akun sendiri pada setiap jamaah. Simpanan awal dimulai dari RM 2 dan baru bisa melakukan pendaftaran haji ketika tabungan mencapai RM 1.300. Dengan model tabungan, jamaah bisa mengetahui berapa bunga yang didapatkan, bisa mengambil sewaktu-waktu, dan mendapatkan jaminan pekerjaan. Pada intinya, TH mengelola tabungan, pengelolaan dana, dan pengurusan haji.

Hal ini berbeda dengan sistem di Indonesia yang memberlakukan setoran awal Rp 25 juta. Dana ini tidak bisa diambil selama masa tunggu dan dikelola atas nama menteri agama, bukan individu/individu.

Seiring dengan perkembangan waktu, kinerja pengelolaan dana haji TH terus meningkat. Pada 2008, jumlah aset bersih TH sekitar 21 triliun rupiah dan saat ini telah mencapai 40 triliun rupiah. Hal ini terjadi karena dana haji tersebut diinvestasikan pada sektor riil seperti perkebunan, properti, perjalanan haji, makanan, minuman, dan infrastruktur.

Dengan imbal hasil yang besar, fasilitas layanan haji di Malaysia lebih baik daripada kita. Misalnya, soal pemondokan yang di bawah 1.000 meter dari Masjidilharam dan 200 meter dari Masjid Nabawi. Sebaliknya, pemondokan kita berjarak maksimal 4.000 meter dari Masjidilharam ditambah fasilitas bus yang bolak-balik dan jarak 650 meter dari Masjid Nabawi.

Soal biaya, pada 2013, TH memberikan subsidi RM 6,175 atau hanya membayar RM 9.980 atau sekitar Rp 28 juta dari total biaya sebesar RM 16.155 atau sekitar 45 juta bagi yang pertama berangkat.

Belajar dari Malaysia, pengelolaan dana haji memerlukan independensi, profesionalitas, amanah, dan dilakukan dengan tata kelola yang baik. Membawa konsep TH ke Indonesia dengan pola yang telah berjalan memang butuh revolusi sistem.

Dirjen PHU Kemenag Anggito Abimanyu menyebutkan juga sangat tidak mungkin mengingat sistem ini telah berjalan cukup lama dan dana yang terkumpul sudah cukup besar. Modifikasi dengan masalah yang khas tetap harus dilakukan agar dana haji bisa memberikan manfaat ekonomi dan sosial serta meningkatkan layanan. Karena itu, moratorium perlu dilakukan sembari membuat payung hukum yang mengikat untuk pengelolaan dana haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar