Sabtu, 31 Mei 2014

NU, Khitah 1926, dan Pilpres 2014 - Quo Vadis?

NU, Khitah 1926, dan Pilpres 2014

Khitah 1926, Quo Vadis?
 Ma’mun Murod Al-Barbasy  ;   Dosen Program Studi Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta
KORAN SINDO,  30 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
Menyikapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, jagad NU (Nahdliyin) sepertinya begitu gaduh. Banyak elite NU, baik di lingkup jam’iyah (organisasi) maupun jama’ah (paguyuban) yang ikut cawe-cawe dalam Pilpres 2014.

Tak kurang beberapa nama yang saat ini secara jam’iyah masih menjabat sebagai pengurus NU maupun secara jamaah merupakan tokoh-tokoh berpengaruh di lingkup kultural NU, terlibat secara langsung dalam politik dukung mendukung terhadap pasangan capres-cawapres yang ada, hal yang sebenarnya hanya lazim dilakukan oleh partai-partai politik.

Misalnya KH Said Aqiel Siradj selaku ketua umum (tanfidziyah) PBNU, KH Maemun Zubair (mustasyar PBNU sekaligus ketua Majelis Syariah PPP), dan Ali Masykur Musa (ketua umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) secara terang- terangan mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Sementara As’ad Said Ali (wakil ketua umum PBNU), KH Hasyim Muzadi (rais syuriah), Khofifah Indar Parawansa (ketua Muslimat NU) mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.

Dalam kapasitasnya sebagai ketua umum GP Ansor, berbagai pernyataan Nusron Wahid juga tegas mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Politik dukung-mendukung juga dilakukan oleh mereka yang dikatagorikan sebagai NU jamaah. Belum lagi masuknya Mahfud MD, sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta yang konon juga mendapat dukungan banyak kiai NU.



Melalui keputusan Munas Alim Ulama 1983 di Situbondo, yang diperkuat dengan keputusan Muktamar NU ke-27 1984 di tempat yang sama, NU secara tegas menyatakan kembali ke khitah 1926 sebagai organisasi keagamaan (jam’iyah diniyah) , sebagaimana ketika NU didirikan. Keputusan ini merupakan peristiwa politik-keagamaan yang bersejarah bagi NU. Dengan kembali ke Khitah 1926, secara jam’iyah NU telah memutus keterkaitan panjang relasinya dengan partai politik.

NU termasuk ormas keagamaan yang cukup lama terlibat dalam kubangan politik praktis. Bersama-sama dengan Muhammadiyah, NU pernah menjadi anggota istimewa Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) baik sebelum maupun selepas Masyumi menjadi partai politik.

Merasa kerap dikecewakan oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh elite politik Masyumi, terutama dalam hal pembagian jatah menteri dan menipisnya peran ulama di Masyumi, melalui Muktamar NU ke-19 tahun 1952 di Palembang, NU memutuskan keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai politik.

Pada Pemilu 1955 NU berhasil masuk tiga besar secara nasional. Tidak berbeda jauh, pada Pemilu 1971 yang penuh intimidasi dan teror rezim Orde Baru, NU mampu memperoleh 10.215.650 (18,7%) suara dengan 58 kursi. Ketika rezim membuat kebijakan politik berupa penyederhanaan partai, NU dan partai Islam lainnya: Parmusi, PSII, dan Perti menyatakan fusi ke dalam PPP pada 5 Januari 1973.

Menyadari bahwa keterlibatannya dalam politik praktis dirasa tidak lagi menguntungkan bagi kepentingan NU sebagai jam’iyah, termasuk terjadinya konflik vertikal dan horizontal di tubuh PPP menjelang Pemilu 1982, yang kemudian berimbas pada konflik internal NU yang terpolarisasi pada dua kubu, yaitu Kubu Cipete dan Kubu Situbondo, melalui Muktamar NU ke-27, NU menyatakan kembali ke khitah.

Kembali ke khitah, artinya kembali ke garis perjuangan ketika NU didirikan pada 31 Januari 1926. Sesuai dengan keputusan Muktamar Situbondo terkait dengan pokok-pokok tentang Pemulihan Khitah NU 1926 tentang Hubungan NU dan Politik disebutkan bahwa ”Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota NU. Tetapi NU bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis.”

Rumusan ini begitu tegas, dengan menyebutkan bahwa sebagai jam’iyah , NU bukanlah wadah bagi kegiatan politik praktis. Artinya NU tidak boleh dan tidak bisa ditarik-tarik ke ranah politik praktis. NU tidak selayaknya ”berpolitik” yang orientasinya ansich pada kekuasaan, yang secara sempit kerap dimaknai sebagai ”siapa mendapatkan apa.” NU semestinya tidak dibenarkan terlibat dalam politik dukung mendukung terhadap kekuatan atau kandidat politik tertentu.

Dan secara kelembagaan, sikap politik NU tentu saja terepresentasikan oleh elite-elite NU dengan jabatan struktural yang disandangnya. Dengan demikian, tak sepatutnya pula elite-elite struktural NU ”memperdagangkan” NU demi kepentingan-kepentingan politik yang bersifat sesaat, yang lebih berorientasi kekuasaan dan bersifat pribadi. Sebab kalau ini terjadi, lantas quo vadis khitah?

Politik Dukung-Mendukung, Tak Patut

Dengan rumusan Khitah 1926 tersebut, menjadi tidak elok ketika elite struktural NU terlibat dalam politik dukungmendukung. Tak patut elite struktural NU secara demonstratif mempertontonkan sikap politiknya yang vis a vis dengan Khitah 1926. Tentunya, selain karena bertentangan dengan Khitah 1926, juga dirasa tidak patut ”ditonton” oleh umat (masyarakat).

Bagaimana mungkin NU yang sudah tegas menyatakan kembali ke Khitah 1926, tapi perilaku elitenya justru menabrak rambu-rambu Khitah. Umat pasti akan memaknai bahwa politik dukung mendukung yang lakukan elite NU ini beraroma–dan sekadar ingin mendapat porsi–kekuasaan. Dan kalaulah benar bahwa politik dukung-mendukung yang dilakukan NU sekadar ingin mendapat porsi kekuasaan dalam pemerintahan mendatang, tentu sangat disayangkan.

Menilik sejarah kelahiran NU, rasanya harga yang terlalu murah bila NU terlibat dalam politik dukung mendukung yang hanya berorientasi pada kekuasaan, di kala sudah menyatakan kembali ke khitah. Tak sepatutnya organisasi seperti NU (termasuk juga Muhammadiyah) yang selama ini sudah diposisikan sebagai pengayom umat (rakyat) kemudian melakukan tindakan politik yang justru mempunyai kecenderungan untuk membentur- benturkan umat (masyarakat).

Yakinlah, umat lebih akan memberikan apresiasi dan bangga bila NU melakukan kerja- kerja politik yang langsung bersinggungan dengan umat (masyarakat) kebanyakan. Semestinya NU (dan juga Muhammadiyah) tetap dalam koridor sebagai jam’iyah islamiyah. Kalau politik dukung-mendukung yang dilakukannya sekadar untuk memperoleh jabatan-jabatan politik, yakinlah bahwa siapa pun pemimpin yang terpilih di Indonesia dan pemimpin tersebut memahami sejarah bangsanya, pasti tak akan pernah menistakan NU (dan Muhammadiyah).

NU (1926) dan Muhammadiyah (1912) sudah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, dan sumbangsih NU (dan Muhammadiyah) terhadap bangsa ini juga tak bisa dinilai dengan apa pun. Biarlah politik dukung mendukung itu menjadi wilayah kerja dari partai-partai politik.

Dalam konteks kepentingan politik NU, biarlah kerja-kerja politik itu dilakukan oleh partai yang mempunyai ikatan kesejarahan dengan NU, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), di mana NU merupakan salah satu unsur yang melakukan fusi di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar