Sabtu, 31 Mei 2014

Otda Laksana Kanker

Otda Laksana Kanker

Joko Tri Haryanto  ;   Bekerja di Kementerian Keuangan, Associate Lecturer ST PPM
KORAN JAKARTA,  31 Mei 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
Tahun ini, praktik otonomi daerah (otda) telah memasuki usia ke-18 dan diperingati lewat slogan, “Dengan otonomi daerah kita sukseskan Pemilu 2014 dalam upaya memperkuat tata kelola pemerintahan daerah”.

Menteri Dalam Negeri, Gamawan, mengingatkan pentingnya prinsip penyelenggaran pemerintahan untuk melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.

Terkait otda perlu dicermati sinergi Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), serta revisi UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan RUU Pemilihan Kepala Daerah.

Jika mau jujur, pelaksanaan otda justru menyisakan banyak persoalan. Kemandirian tak kunjung ada. Korupsi malah marak oleh kepala daerah. Beban belanja pegawai daerah terus meningkat. Ini harus segera dicarikan solusi. Otda bertujuan menjadi obat mujarab, tapi lambat laun malah bertransformasi laksana penyakit kanker yang terus saja menggerogoti APBN.

Tengok berapa beban transfer ke daerah yang harus digelontorkan pemerintah setiap tahun. Jika 2005 saja sudah mencapai 150,5 triliun, dalam APBN tahun ini 2014 di kisaran 580 triliun rupiah dan diperkirakan menjadi 594 triliun dalam usulan APBN-P 2014.

Ini tentu menjadi PR besar pemerintah, apalagi pemekaran daerah terus berlangsung. Indonesia sekarang terdiri dari 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota. Ini tentu tidak menguntungkan penganggaran. Praktik otda justru memekarkan luas wilayah. Ini tidak terjadi di India, China, Jerman, dan Rusia yang lebih dulu melaksanakan. Di negara-negara tersebut otda justru menciptakan motivasi daerah untuk “merjer” demi meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Untuk mengerem pemekaran, perlu memperpanjang moratorium. Mendagri dan Menkeu akan memperketat syarat fiskal pemekaran yang akan dimasukkan ke dalam draf revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemekaran semula dianggap sebagai salah satu opsi daerah untuk mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dengan memperpendek rentang birokrasi. Sayang, dari hasil evaluasi beberapa lembaga independen dan pemerintah, pemekaran malah bertransformasi bak gurita yang mengancam eksistensi negara. Pemekaran tak ubahnya ajang bagi-bagi jabatan serta memperkaya diri dan kelompok serta melupakan kepentingan masyarakat.

Sebuah survei menyatakan pemekaran belum mampu menyejahterakan masyarakat. Janji-janji manis usulan pemekaran ternyata sekadar basa basi demi kepentingan memperkaya diri sendiri, kelompok, dan partai. Laju pemekaran bukannya menjadikan daerah semakin mandiri, semakin bergantung pada pemerintah. UNDP juga menyebutkan ada persepsi berbeda antara pemerintah dan daerah dalam menyikapi pemekaran. Pemerintah menganggap sebagai peluang membuat daerah lebih mandiri dan otonom, sementara daerah justru melihat pemekaran sebagai upaya cepat keluar dari keterpurukan ekonomi.

Studi UNDP juga menyebutkan banyak daerah baru hasil pemekaran tidak efektif dalam menggerakkan perekonomian, baik untuk konsumsi maupun investasi. Inefektivitas penggunaan dana juga menyebabkan pelayanan publik tidak optimal karena tidak ada sumber daya memadai.

Beban

Dari sisi APBN, pemekaran menimbulkan beban, khususnya peningkatan alokasi anggaran transfer ke daerah yang terus meningkat. Mekanisme transfer ke daerah ini digunakan sebagai dukungan berjalannya otonomi daerah, terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH secara filosofis untuk mengurangi kesenjangan vertikal antara pemerintah dan daerah.

Sementara itu, DAU merupakan alokasi dana block grant untuk memenuhi seluruh kebutuhan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah. Untuk kebutuhan yang tidak mampu dibiayai DAU serta menjadi prioritas nasional, pemerintah mengalokasikan dana tambahan dalam bentuk DAK.

Secara umum, besaran transfer ke daerah terus meningkat setiap tahun. Misalnya, tahun 2008 pemerintah transfer 292,4 triliun atau sekitar 29,7 persen dari belanja negara dalam APBN. Sementara itu, tahun 2012 naik jadi 478,7 triliun atau 30,9 persen dari belanja negara. Ini menimbulkan ketergantungan baru daerah ke pemerintah. Kondisi ini jelas bertentangan dengan tujuan otda.

Pemekaran secara khusus juga menimbulkan beban alokasi DAK prasarana pemerintah untuk modal awal pembangunan berbagai instansi vertikal di daerah seperti BPS, kepolisian, militer, peradilan, dan agama. Alokasinya tahun 2008 sebesar 362 miliar jadi 481,3 miliar tahun lalu.

Kemandirian daerah, dilihat dari pendapatan asli daerah (PAD), makin jauh dari harapan. PAD seluruh daerah tahun 2002 hingga 2013 rata-rata hanya 15–20 persen, meskipun di beberapa daerah seperti Provinsi DKI Jakarta, Kota Surabaya, dan Kota Sidoarjo, secara historical memiliki sumbangan PAD di atas 50 persen APBD.

Secara regulasi, aturan mengenai pemekaran daerah dijelaskan dalam bagian Pertama UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 4 mengenai Pembentukan Daerah. Dalam Ayat 3 Pasal 4 disebutkan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah. Dalam Pasal 5, pemekaran harus memenuhi syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan.

Namun perlu juga dipertimbangkan bahwa Pasal 6 mengamanatkan penghapusan serta penggabungan daerah jika tidak mampu menyelenggarakan otda. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah juga ditambahkan perlunya aspirasi masyarakat dari tingkat kelurahan dan desa dalam setiap usulan pemekaran. Persyaratan ini dirasa penting mengingat aturan lebih bersifat aspirasi politik dibanding memenuhi kepentingan masyarakat.

Jika memang hasil evaluasi menemukan ketidakmampuan daerah mengelola otonomi maka Pasal 6 UU Nomor 32 Tahun 2004 harus ditegakkan agar Republik tidak terus mekar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar