Jumat, 30 Mei 2014

Reformasi Kebijakan Fiskal

Reformasi Kebijakan Fiskal

 Sabaruddin Siahaan  ;   Dosen Institut Perbanas Jakarta
KORAN JAKARTA,  30 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Untuk menciptakan stabilitas ekonomi yang kuat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, anggaran keuangan negara harus dikelola dengan baik, khususnya defisit anggaran, agar tidak mendorong instabilitas perekonomian.

Maka, dibuatlah Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara. Dalam UU itu, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak boleh melampaui 3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Terkait penurunan pertumbuhan ekonomi, harga minyak, dan depresiasi rupiah saat ini, dipastikan terjadi defisit APBN 2014 di atas 3 persen jika tidak diambil kebijakan merevisi asumsi APBN 2014 dengan menyesuaikan kondisi perekonomian saat ini.

Pada APBN 2014, terdapat asumsi pertumbuhan ekonomi 6 persen, lifting minyak 870.000 barel per hari (bph), dan rupiah 10.500 per dollar AS. Dengan melihat kondisi perkembangan sekarang, pemerintah terpaksa merevisi asumsi APBN 2014 untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi UU APBNP 2014. Dalam APBNP 2014, diasumsikan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, lifting 818.000 bph, dan rupiah 11.700 per dollar AS.

Dengan menurunnya lifting minyak dan depresiasi rupiah tahun 2014, subsidi energi membengkak 110 triliun rupiah (dari 282,1 triliun menjadi 392,1 triliun rupiah). Anggaran subsidi energi telah mengambil porsi sangat besar pembelanjaan negara, 30 persen dari APBNP 2014.

Subsidi energi tidak lagi menyehatkan keuangan negara dan meningkatkan risiko perekonomian. Selain itu, subsidi energi salah sasaran, tidak berkeadilan, menyedot pendanaan negara sangat besar, serta mempercepat pertumbuhan kendaraan tanpa diimbangi pembangunan infrastruktur jalan sehingga mengakibatkan kemacetan dan meningkatkan biaya logistik. Satu dekade lebih Indonesia sudah defisit minyak.

Padahal sebelumnya pernah surplus, mencapai lifting 1,6 juta bph. Untuk memenuhi defisit minyak tersebut, pemerintah mengimpor 150 juta–200 juta dollar AS setiap hari. Ini mengakibatkan tekanan besar terhadap rupiah. Tahun 2014, lifting minyak hanya 818.000 bph, padahal kebutuhan 1,5 juta bph. Defisit minyak juga telah sangat menekan APBN 2014. Subsidi energi lebih besar lagi ke depan bila pemerintah tidak mengambil kebijakan fundamental menguranginya.

Tahun ini, tidak mungkin pemerintah mengurangi subsidi energi dengan menyesuaikan harga BBM karena masa kerja tinggal sampai Oktober. Maka, tambahan subsidi energi sebesar 110 triliun itu harus didanai dengan memangkas anggaran kementerian dan lembaga serta tambahan utang pemerintah. Subsidi bisa dikurangi karena sudah ada isu tidak menjual BBM bersubsidi pada Sabtu dan Minggu.

Tetapi ini bisa menimbulkan gejolak sosial. Menaikkan Kebijakan fiskal ideal untuk mengurangi subsidi energi besar tersebut dilakukan dengan menaikkan harga BBM. Jika kenaikan terlalu besar, ada risiko terhadap perekonomian, sosial, dan politik. Pemerintah baru dapat memodifikasi dengan memberi subsidi tetap untuk kendaraan roda dua dan memberlakukan harga pasar untuk mobil.

Kenaikan harga BBM akan memperkuat daya tahan rupiah dan perekonomian, serta meningkatkan ruang fiskal (fiscal space) sangat besar guna membiayai pembangunan infrastruktur atau pengembangan pertanian. Untuk mengejar defisit APBN di bawah 3 persen, pemerintah perlu memangkas anggaran kementerian dan lembaga 100 triliun rupiah (dari 637,8 triliun menjadi 539,3 triliun rupiah). Jadi, anggaran belanja pada RAPBN-P 2014 menjadi 1.849,4 triliun, semula 1.843.5 triliun pada APBN 2014.

Dengan berubahnya asumsi pertumbuhan ekonomi 2014 menjadi 5,5 persen dari 6 persen pada asumsi APBN 2014, pemerintah juga mengoreksi pendapatan negara tahun 2014 sebesar 69,4 triliun menjadi 1.597,7 triliun dari 1.667,1 triliun pada APBN 2014. Dengan koreksi pendapatan dan penambahan belanja negara karena kenaikan subsidi BBM, defisit APBN meningkat menjadi 251,7 triliun atau menjadi 2,5 persen dari PDB (dari 175,4 atau 1,69 persen).

Dengan target defisit anggaran hanya 2,5 persen, pemerintah menambah utang baru lagi 76,3 triliun rupiah. Dengan koreksi pajak sebesar 69,4 triliun rupiah, penerimaan pajak pada ABPNP 2014 menjadi 1.041 triliun rupiah dari target awal 1.110,19 triliun rupiah. Tahun 2013, shortfall penerimaan pajak sebesar 93 triliun rupiah, dan tahun 2014 shortfall penerimaan itu diharapkan maksimal 150 triliun rupiah. Dengan demikian, realisasi penerimaan pajak tahun 2014 masih di atas tahun 2013.

Tahun 2013, realisasi pajak sebesar 828 triliun rupiah. Diharapkan tahun 2014 realisasi pajak mencapai minimal 891 triliun rupiah. Jika realisasi penerimaan pajak 2014 sebesar realisasi 2013, yakni 828 triliun rupiah, dan shortfall penerimaan pajak tahun 2014 mencapai 212 triliun rupiah, perkiraan pertumbuhan ekonomi 2014 menurun cukup tajam maksimal 5 persen. Dan, jika realisasi penerimaan pajak 891 triliun rupiah dengan shortfall penerimaan pajak 150 triliun rupiah, pertumbuhan ekonomi masih bisa dicapai 5,3–5,5 persen.

Tahun 2008–2009, perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang sangat besar dan rupiah terdepresiasi tajam akibat tekanan global. Tahun 2009, kenaikan pajak nol persen tetap 494 triliun rupiah. Direktorat Jenderal Pajak harus bekerja ekstrakeras guna memenuhi target APBNP 2014. Rasio pajak terhadap PDB hanya 12 persen. Maka, pajak masih berpeluang besar menggenjot penerimaan. International Monetary Fund memperkirakan potensi rasio pajak Indonesia dapat mencapai 21 persen. Ini mencerminkan Ditjen Pajak belum maksimal bekerja.

Pemerintah baru nanti diharapkan menaikkan rasio pajak agar mencapai 16 persen sehingga ada tambahan penerimaan pajak minimal 400 triliun rupiah. Ini membuat pemerintah dapat mempercepat pembangunan. Alhasil, sekarang ini, sangat mendesak melakukan reformasi fiskal untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mengurangi subsidi energi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar