Sabtu, 31 Mei 2014

Reformasi Kebijakan Fiskal

Reformasi Kebijakan Fiskal

Sabaruddin Siagian  ;   Dosen Institut Perbanas Jakarta
HALUAN,  31 Mei 2014

                          Artikel ini telah dimuat di KORAN JAKARTA 30 Mei 2014                                http://budisansblog.blogspot.com/2014/05/reformasi-kebijakan-fiskal.html 

                      
                                                      
Guna menciptakan stabilitas ekonomi yang kuat dan per­tum­buhan ekonomi yang berkelanjutan, anggaran keuangan negara harus dikelola dengan baik, khususnya defisit ang­garan, agar tidak mendo­rong instabilitas perekonomian.

Maka, dibuatlah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Keu­angan Negara. Dalam UU itu, defisit APBN tidak boleh melampaui 3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Terkait penurunan pertumbuhan ekonomi, harga minyak, dan depresiasi rupiah saat ini, dipastikan terjadi defisit APBN 2014 di atas 3 persen jika tidak diambil kebijakan merevisi asumsi APBN 2014 dengan menye­suaikan kondisi perekonomian saat ini.

Pada APBN 2014, terdapat asumsi pertumbuhan ekonomi 6 persen, lifting minyak 870.000 barel per hari (bph), dan rupiah 10.500 per dollar AS. Dengan melihat kondisi perkembangan sekarang, pemerintah terpaksa merevisi asumsi APBN 2014 untuk diajukan ke DPR menjadi UU APBNP 2014. Dalam APBNP 2014, diasum­sikan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, lifting 818.000 bph, dan rupiah 11.700 per dollar AS.

Dengan menurunnya lifting minyak dan depresiasi rupiah tahun 2014, subsidi energi membengkak Rp110 triliun (dari Rp282,1 triliun menjadi Rp392,1 triliun). Anggaran subsidi energi telah mengambil porsi sangat besar pembelanjaan negara, 30 persen dari APBNP 2014.

Subsidi energi tidak lagi menyehatkan keuangan negara dan meningkatkan risiko perekonomian. Selain itu, subsidi energi salah sasaran, tidak berkeadilan, menyedot pendanaan negara sangat besar, serta mempercepat pertum­buhan kendaraan tanpa diim­bangi pembangunan infrastruk­tur jalan sehingga menga­kibatkan kemacetan dan meningkatkan biaya logistik. Satu dekade lebih Indonesia sudah defisit minyak.

Padahal sebelumnya pernah surplus, mencapai lifting 1,6 juta bph. Untuk memenuhi defisit minyak itu , pemerintah mengimpor 150 juta–200 juta dollar AS perhari. Ini menga­kibatkan tekanan besar pada rupiah. Tahun 2014, lifting minyak hanya 818.000 bph, padahal kebutuhan 1,5 juta bph. Defisit minyak juga telah sangat menekan APBN 2014. Subsidi energi lebih besar lagi ke depan bila pemerintah tidak mengambil kebijakan funda­mental menguranginya.

Tahun ini, tidak mungkin pemerintah mengurangi subsidi energi dengan menyesuaikan harga BBM karena masa kerja tinggal sampai Oktober. Maka, tambahan subsidi energi sebesar 110 triliun itu harus didanai dengan memangkas anggaran kementerian dan lembaga serta tambahan utang pemerintah. Subsidi bisa dikurangi karena sudah ada isu tidak menjual BBM bersub­sidi pada Sabtu dan Minggu.

Tetapi ini bisa menimbulkan gejolak sosial. Menaikkan Kebijakan fiskal ideal untuk mengurangi subsidi energi besar tersebut dilakukan dengan menaikkan harga BBM. Jika kenaikan terlalu besar, ada risiko terhadap pere­konomian, sosial, dan politik. Pemerintah baru dapat memo­difikasi dengan memberi subsidi tetap untuk kendaraan roda dua dan memberlakukan harga pasar untuk mobil.

Kenaikan harga BBM akan memperkuat daya tahan rupiah dan perekonomian, serta mening­katkan ruang fiskal (fiscal space) sangat besar guna membiayai pembangunan infrastruktur atau pengem­bangan pertanian. Untuk mengejar defisit APBN di bawah 3 persen, pemerintah perlu memangkas anggaran kemen­terian dan lembaga 100 triliun rupiah (dari Rp637,8 triliun menjadi Rp539,3 triliun). Jadi, anggaran belanja pada RAPBN-P 2014 menjadi Rp1.849,4 triliun, semula Rp1.843.5 triliun pada APBN 2014.

Dengan berubahnya asumsi pertumbuhan ekonomi 2014 menjadi 5,5 persen dari 6 persen pada asumsi APBN 2014, pemerintah juga mengo­reksi pendapatan negara tahun 2014 sebesar Rp69,4 triliun menjadi Rp1.597,7 triliun dari Rp1.667,1 triliun pada APBN 2014. Dengan koreksi penda­patan dan penambahan belanja negara karena kenaikan subsidi BBM, defisit APBN meningkat menjadi Rp251,7 triliun atau menjadi 2,5 persen dari PDB (dari 175,4 atau 1,69 persen).

Dengan target defisit angga­ran hanya 2,5 persen, peme­rintah menambah utang baru lagi Rp 76,3 triliun. Dengan koreksi pajak sebesar Rp 69,4 triliun, penerimaan pajak pada ABPNP 2014 menjadi Rp1.041 triliun dari target awal Rp1.110,19 triliun. Tahun 2013, shortfall penerimaan pajak sebesar Rp93 triliun, dan tahun 2014 shortfall penerimaan itu diharapkan maksimal Rp150 triliun. Dengan demikian, realisasi penerimaan pajak tahun 2014 masih di atas tahun 2013.

Tahun 2013, realisasi pajak sebesar Rp828 triliun. Diha­rapkan tahun 2014 realisasi pajak mencapai minimal Rp891 triliun. Jika realisasi pene­rimaan pajak 2014 sebesar realisasi 2013, yakni Rp828 triliun, dan shortfall penerimaan pajak tahun 2014 mencapai Rp212 triliun, perkiraan pertumbuhan ekonomi 2014 menurun cukup tajam maksi­mal 5 persen. Dan, jika realisasi penerimaan pajak Rp891 triliun dengan shortfall penerimaan pajak Rp150 triliun, pertumbuhan ekonomi masih bisa dicapai 5,3–5,5 persen.

Tahun 2008–2009, pere­konomian RI mengalami tekanan yang sangat besar dan rupiah terdepresiasi tajam akibat tekanan global. Tahun 2009, kenaikan pajak nol persen tetap Rp494 triliun. Direktorat Jenderal Pajak harus bekerja ekstrakeras guna memenuhi target APBNP 2014. Rasio pajak terhadap PDB hanya 12 persen. Maka, pajak masih berpeluang besar meng­genjot penerimaan. Inter­national Monetary Fund mem­perkirakan potensi rasio pajak Indonesia dapat mencapai 21 persen. Ini mencerminkan Ditjen Pajak belum maksimal bekerja.

Pemerintah baru nanti diharapkan menaikkan rasio pajak agar mencapai 16 persen sehingga ada tambahan peneri­maan pajak minimal Rp400 triliun. Ini membuat pemerintah dapat mempercepat pemba­ngunan. Alhasil, sekarang ini, sangat mendesak melakukan reformasi fiskal untuk mening­katkan penerimaan pajak dan mengurangi subsidi energi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar