Rabu, 28 Mei 2014

Sinkronisasi Pusat-Daerah

Sinkronisasi Pusat-Daerah

 Bambang Soesatyo ;   Anggota Komisi III DPR
KORAN JAKARTA,  28 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
Wacana mengurangi subsidi energi (BBM dan listrik) akhir-akhir ini menggambarkan kerapuhan perekonomian nasional sehingga memberatkan pemerintah baru.

Harus ada keberanian dan konsistensi menetapkan prioritas program karena sejumlah masalah sangat mendesak ditangani, seperti kemandirian pangan, percepatan pembangunan, perbaikan infrastruktur, peningkatan daya saing menuju penyatuan ekonomi ASEAN, merealisasikan pusat pertumbuhan baru di luar Jawa, serta peningkatan kapabilitas dan kompetensi pemerintah daerah.

Baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan bahwa perekonomian Indonesia masuk 10 besar dunia. Dia mengacu pada laporan Bank Dunia tentang pemeringkatan ekonomi menurut produk domestik bruto (PDB) dan daya beli. Data ini mungkin tak perlu diperdebatkan. Tetapi, apa konsekuensi data itu bagi kesejahteraan rakyat? Itulah pertanyaannya. Dalam beberapa tahun belakangan, pemerintahan sering mengklaim tingginya pertumbuhan ekonomi. Tetapi, rakyat nyaris tak peduli karena tidak merasakan atau menikmatinya.

Karena itu, pemerintah baru jangan sampai terperangkap warisan statistik pertumbuhan ekonomi tinggi. Untuk mewujudkan kesejahteraan, statistik pertumbuhan tak layak dijadikan acuan karena rapuh dan tidak berkualitas. Statistik terbukti bukan solusi mereduksi jumlah pengangguran dan memerangi kemiskinan.

Sepanjang 2013, nilai impor bahan pangan sudah mencapai 104,9 triliun rupiah untuk belanja 29 komoditi kebutuhan pokok dengan volume lebih dari 17 miliar kilogram. Menurut BPS, termasuk dalam daftar belanjaan itu, cabai, bawang, teh, cengkeh, jagung, beras, singkong, dan garam.

Data ini sangat menakutkan. Bahkan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menilai kebijakan pangan nasional ibarat selang infus. "Kalau infusnya dicabut, bisa mati pasien," kata Moeldoko.

Volume impor pangan dan energi pun sudah berevolusi menjadi ancaman laten bagi stabilitas nilai tukar rupiah. Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, bahkan sudah mendesak pemerintah memperbaiki neraca perdagangan komoditas pangan dan BBM (bahan bakar minyak) jika ingin memperkuat nilai tukar rupiah. Bila defisit impor pangan dan BBM bisa diperkecil, nilai tukar rupiah menguat. Sebaliknya, kalau defisit terus menggelembung, rupiah terus terancam.

Pemunculan wacana menaikkan harga BBM bersubsidi dan tarif dasar listrik (TDL) belakangan, menandakan kekhawatiran terhadap potensi gelembung defisit impor energi. Lalu, dalam satu-dua bulan ke depan, harus dilakukan pengamanan stok bahan pangan menyongsong lebaran. Jadi, akan terjadi gelembung defisit impor komoditi pangan.

Maka, jika pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dikurangi lemahnya ketahanan pangan dan energi, statistik pertumbuhan nyata-nyata tak punya nilai tambah. Bahkan, dia lebih menggambarkan kerapuhan perekonomian nasional.

Pulihkan

Pemerintah baru harus berjibaku memulihkan kemandirian pangan dan energi. Dalam konteks pangan, argumentasinya tidak boleh lagi sekadar stok yang aman atau cukup. Stok harus cukup dengan harga terjangkau seluruh rakyat. Stok cukup, tetapi harga mahal tidak ada artinya.

Impor bahan pangan harus diturunkan secara bertahap dengan meningkatkan produksi dalam negeri. Jangan lupa, mengolah ketahanan pangan adalah melayani kebutuhan hampir 250 juta perut rakyat dengan gizi yang layak. Jadi, sidang kabinet bidang ekonomi harus selalu memprioritaskan agenda pengelolaan kecukupan semua komoditi kebutuhan pokok. Pemerintah baru harus menjadikan fluktuasi harga kebutuhan pokok sebagai isu sensitif.

Selain menginventarisasi persoalan, pemerintah baru perlu menyimak lagi hasil survei World Economic Forum (WEF) tahun 2011. WEF menjadikan 12 aspek untuk menetapkan Global Competitiveness Index (GCI) yang meliputi efektivitas birokrasi, infrastruktur, kondisi makroekonomi, pendidikan dasar-lanjutan, pelatihan, kesehatan masyarakat, efisiensi pasar, produktivitas tenaga kerja, kinerja-volume pasar uang, teknologi-volume pasar.

The Global Competitiveness Report 2012–2013 versi WEF menempatkan daya saing Indonesia di peringkat 50 dari 144 negara. Selain inefisiensi birokrasi dan perilaku korup, faktor infrastruktur ikut memperlemah daya saing. Khusus infrastruktur, survei WEF 2013 memang menunjukkan perbaikan di Indonesia. Peringkat RI naik dari 91 per 2012 ke posisi 82 per 2013. Namun, investor tetap saja belum merasa nyaman berbisnis di sini. Para pemodal lebih senang berbisnis di Malaysia (peringkat 25), Thailand (61), dan China (74).

Pemerintah baru, mau tak mau harus juga memprioritaskan masalah berikut. Menurut Bappenas, tingkat elektrifikasi nasional baru 72,95 persen dengan rasio jumlah desa berlistrik sekitar 92,58 persen. Akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap penguasaan, legalitas lahan, dan pembiayaan perumahan masih sangat terbatas.

Aksesibilitas serta jangkauan pelayanan air minum dan sanitasi belum memadai. Bank Dunia menggambarkan tantangan besar Indonesia dalam mengatasi sanitasi dasar. Tak kurang dari 50 persen masyarakat pedesaan tidak memiliki akses sanitasi layak. Menurut Bank Dunia, dari 57 juta orang buang air besar (BAB) sembarangan, 40 juta di antaranya tinggal di pedesaan. Data ini sekaligus menggambarkan besarnya tantangan pemerintah baru untuk menyediakan rumah layak huni bagi puluhan jutaan warga pedesaan.

Rehabilitasi jaringan irigasi belum mampu mengimbangi degradasi kondisi jaringan yang mencapai 340 ribu hektare per tahun. Laju konversi lahan pertanian menjadi perkotaan, industri, dan perkebunan sangat tinggi, terutama di Jawa dan Sumatra. Ketersediaan infrastruktur komunikasi dan informatika belum memadai karena terbatasnya infrastruktur broadband.

Jangankan di pelosok daerah lain, bahkan di Jawa sekali pun akses jalan, plus sarana dan prasarana transportasi masih jauh dari memadai. Lihatlah kondisi ruas jalan utama di jalur Pantura. Jalur ini layak dilalui hanya menjelang Lebaran. Selepas hari raya, ruas jalan itu berantakan seperti daerah bencana karena pemerintah pusat dan daerah tidak peduli.

Sangat sulit memaksimalkan potensi ekonomi di setiap daerah jika infrastruktur tak segera direhabilitasi dan dilengkapi. Padahal, trickle down effect pembangunan infrastruktur yang serentak dan berkesinambungan sudah sangat jelas menciptakan banyak lapangan kerja baru di setiap daerah. Bila jalan bagus, jembatan dan pelabuhan rampung, warga lokal akan termotivasi memaksimalkan potensi ekonomi setempat. Pemerintah baru harus berani menggagas pembangunan jalur kereta api di Kalimantan dan Sulawesi.

Dampaknya, terbentuklah pusat-pusat pertumbuhan baru di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara. Angkatan kerja baru dari pulau-pulau tersebut tak lagi harus ke Jawa atau luar negeri. Walau sedikit terlambat, melengkapi semua daerah dengan infrastruktur yang memadai akan menaikkan daya tumbuh nasional dalam menghadapi ekonomi ASEAN.

Untuk merealisasikan pekerjaan besar tersebut, pemerintah baru harus peduli pada peningkatkan kompetensi dan kapabilitas daerah, utamanya hasil pemekaran sebab gagasan besar pusat harus bisa diimplementasikan di daerah. Pemerintahan sekarang menyusun konsep pembangunan dengan pendekatan konektivitas koridor ekonomi. Harus ada sinkronisasi perencanaan pusat dan daerah. Sinkronisasi perencanaan pusat-daerah inilah yang harus diwujudkan pemerintah baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar