Kamis, 29 Mei 2014

Yordania dan Pengungsi

Yordania dan Pengungsi

 Dinna Wisnu ;   Co-Founder dan Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  28 Mei 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Dalam seminggu terakhir ini perhatian masyarakat di Timur Tengah terpusat pada kunjungan Paus Fransiskus ke Yordania, Palestina, dan Israel. Kunjungan ini juga kunjungan pertama bagi Paus ke wilayah Timur Tengah dan kunjungan keempat bagi Paus yang hidup dalam abad modern ini. Dalam diplomasi internasional, penentuan urutan tempat sebuah kunjungan kenegaraan, penentuan waktu, serta pesan yang disampaikan dalam suatu kunjungan adalah sebuah seni politik tersendiri yang mewakili sudut pandang dan sikap politik suatu negara.

Dalam konteks kunjungan Paus ke Timur Tengah tersebut, kita dapat memberikan interpretasi bahwa Paus sebagai kepala negara Vatikan ingin menyampaikan pesan kemanusiaan kepada dunia untuk melihat masalah-masalah sosial dan politik kemanusiaan yang timbul akibat dari perang yang tidak berkesudahan di wilayah Timur Tengah. Yordania yang secara formal menganut sistem politik monarki konstitusional telah menerima ratusan ribu pengungsi terutama dari Suriah, Irak, dan negara-negara tetangga lain.

Ada tiga wilayah alokasi pengungsi dan tiga wilayah transit yang dipersiapkan untuk menyambut kedatangan pengungsi. Para pengungsi datang ke Yordania terutama karena letaknya yang strategis untuk dijangkau. Wilayah timur dan selatan Yordania berbatasan dengan Arab Saudi, wilayah utara berbatasan dengan Suriah dan Irak, sementara di bagian barat berbatasan langsung dengan Israel dan Palestina.

Saat ini, menurut laporan United Nation Refugee Agency pada 2013, terdapat 616.042 pengungsi yang berasal dari Suriah, selain ribuan dari daerah konflik seperti Irak. Kedatangan para pengungsi tersebut telah membebani ekonomi Yordania sebagai salah satu negara yang perekonomiannya relatif lebih kecil dibandingkan negara-negara lain di Timur Tengah.

Yordania memiliki keterbatasan dalam minyak bumi, air, dan sumber kekayaan alam lain sehingga mereka harus bergantung hidupnya dari bantuan keuangan negara asing dan remitansi pekerja di luar negeri. IMF misalnya telah memberikan pinjaman sebesar USD2,3 miliar untuk tiga tahun, Amerika memberikan bantuan USD1 miliar, dan negara-negara Teluk memberikan paket dana USD5 miliar.

Pertumbuhan ekonomi Yordania juga tidak terlalu menggembirakan; hanya 3% pada 2013 disertai tingginya tingkat kemiskinan (13,3% pada 2010) dan pengangguran (30% berdasar info tidak resmi yang beredar). Pemerintah Yordania tidak dapat melakukan pengusiran terhadap para pengungsi yang datang.

Walaupun mereka tidak terikat Konvensi atau menjadi anggota Konvensi Status Pengungsi pada 1951, mereka tetap menerima dan memberikan bantuan ekonomi meski anggaran belanja negara mereka sendiri sudah besar pasak daripada tiang alias defisit sebanyak USD5,5 miliar. Namun, beberapa kali mereka harus menutup pintu gerbang yang menjadi jalan masuk pengungsi karena kamp atau tenda-tenda yang dipersiapkan untuk pengungsi tidak lagi bisa menampung gelombang pengungsi yang lebih besar lagi.

Penutupan atau pengusiran kembali pengungsi seringkali terjadi juga karena alasan keamanan karena disinyalir ada gelombang pengungsi yang datang dari kelompok-kelompok radikal yang membahayakan pengungsi dan politik di dalam negeri Yordania. Sikap ini berbeda dengan Pemerintah Australia yang mengusir pengungsi dan membakar perahunya kembali ke tengah laut walaupun Australia adalah negara yang menandatangani Konvensi tentang Pengungsi.

Beban berat harus ditanggung Pemerintah Yordania yang harus terus menjamin bantuan kepada para pengungsi seperti makanan, pengobatan, dan sanitasi. Sikap Pemerintah Yordania yang ramah kepada pengungsi ternyata menimbulkan masalah di dalam negeri. Kedatangan pengungsi menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat miskin Yordania yang juga tidak kurang penderitaannya dengan pengungsi.

Masyarakat misalnya memprotes para pengungsi dari Suriah yang bekerja di beberapa kota di Yordania dengan upah rendah. Itu membuat banyak para majikan beralih mempekerjakan para pengungsi ketimbang warga sendiri. Para pengungsi Suriah yang kaya juga telah meningkatkan harga sewa perumahan dan apartemen sebesar 25% karena permintaan yang menjadi tinggi.

Warga Yordania yang hidup miskin juga iri karena 63% dari pengungsi menerima bantuan keuangan dari PBB. Pengungsi dari Suriah yang sebagian besar memiliki aliran Islam-Syiah juga memiliki potensi konflik dengan warga Yordania yang mayoritas penduduknya adalah Islam-Sunni. Tidak seluruhnya warga Yordania mendukung gerakan bersenjata melawan rezim Al-Bashar.

Warga Sunni di Yordania juga terbelah antara yang moderat dan radikal. Kendati demikian, banyak organisasi bersenjata yang merupakan kelompok oposisi di Suriah memiliki domisili dan merekrut banyak warga Yordania. Kelompok Salafi misalnya mengatakan telah merekrut 1.800 warga Yordania untuk bertempur di Suriah.

Dengan segala keterbatasan dan beban yang dipikul Pemerintah Yordania, kunjungan Paus ke negara tersebut juga membuka mata dunia tentang apa yang tengah terjadi di sana dan bantuan apa yang diperlukan untuk mengatasi persoalan di sana. Ia mengajak dunia untuk memerhatikan kesulitan yang dihadapi Pemerintah Yordania ketika membuka diri bagi pengungsi sekaligus mendoakan agar perang segera berhenti dan bantuan internasional tidak putus membantu para pengungsi.

Bagi kita di Indonesia, ada pelajaran lain yang juga dapat dipetik dari kunjungan Paus ke Yordania yakni bahwa keaktifan dalam politik luar negeri dapat diwujudkan dengan membuka diri secara langsung untuk meringankan beban pihak-pihak yang menjadi korban perang. Ini tidak sederhana karena berarti ada tatanan sosial ekonomi dan keamanan yang akan berubah karena keaktifan tersebut. Itu sebabnya diperlukan gerakan bahu-membahu an-tarnegara untuk mencari solusi permanen bagi perang dan pengungsi di dunia.

Sejauh ini bantuan-bantuan bagi pengungsi bersifat temporer semata, sekadar sumbangan dari negara atau lembaga yang kebetulan tergerak, tetapi belum ada mekanisme global yang berhasil meredakan potensi pecah perang. PBB sebagai wadah perkumpulan bangsa-bangsa yang ingin menghindari perang ternyata makin sulit menghindari perang.

Yang mampu dilakukan PBB sejauh ini adalah mengelola efek perang seperti membentuk Konvensi Status Pengungsi, membentuk Tentara Perdamaian PBB, atau membentuk Dewan Pengungsi PBB. Dewan Keamanan PBB yang seharusnya mampu menekan potensi perang hampir selalu tersandera pertentangan power antar lima negara pemegang hak veto.

Reformasi di badan ini selalu macet, terutama karena ambisi yang menggelegak dari sejumlah negara untuk sekadar tampil sebagai “penguasa” ataupun “polisi” dunia dan ketidakyakinan negara-negara lain bahwa niat damailah yang menjadi motivasi perubahan. Selain itu, Majelis Umum PBB pun belum berhasil membuat terobosan baru terkait relasi antarnegara di luar konteks seremoni kumpul- kumpul antarbangsa.

Sejumlah badan termasuk Dewan HAM dibentuk, tetapi temuan kegiatan mereka terbentur pada ketidakmampuan mengambil aksi lanjutan yang nyata. Di sinilah Indonesia yang punya reputasi sebagai pejuang kemanusiaan dan kepentingan negara-negara tertindas secara tidak langsung didesak untuk melahirkan terobosan baru di PBB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar