Senin, 30 Juni 2014

Belajar Peka

Belajar Peka

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 29 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sambil menunggu datangnya mobil jemputan, saya dan rekan kerja mengobrol soal mengapa ada orang yang enggan ditengok saat mereka berbaring di rumah sakit. Sejujurnya saya adalah orang yang semacam itu. Saya merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Tentu berbeda alasannya dengan cerita teman kerja saya di bawah ini.

Prihatin?

Begini ceritanya. Seorang temannya berada di rumah sakit dengan sebuah diagnosa yang mematikan. Artinya bahwa ia hanya tinggal menanti saatnya untuk menutup mata selamanya. Beberapa temannya berkunjung untuk menyatakan keprihatinan mereka, dan keprihatinannya itu dieksekusi dengan komentar seperti ini. ”Elo sih makannya enggak bener makanya sekarang jadi begini. Gue tu ya, kalau makan tu selalu dipikir, apa yang sehat dan apa yang tidak sehat. Enggak asal makan doang.”

Teman saya melanjutkan ceritanya. ”Mbok ya sedikit peka. Orang sudah sekarat kok malah dimarah-marahin gitu.” Saya sendiri juga tak tahu, setelah dewasa seperti sekarang ini, apakah saya ini masih perlu belajar berbicara, belajar menyatakan keprihatinan dengan tepat dan yang utama belajar menjadi lebih peka?

Seandainya yang berkomentar tajam itu bisa lebih peka, mungkin kalimat pedas yang mengandung nasihat positif itu diucapkan ketika si pasien masih dalam keadaan sehat. Kalau ia memang teman yang baik, ia akan menganjurkan si pasien atau teman-teman lainnya sejak lama, sejak pertama kali ia tahu bahwa asupan yang benar dan sehat itu mampu menyelamatkan.

Mungkin, ia tak punya waktu untuk melakukan tindakan preventif dan ia datang ketika semuanya sudah terlambat. Maka kepekaan itu sesungguhnya sebuah cara untuk mencegah datangnya keterlambatan sebuah kebaikan. Saya kemudian berpikir, bahwa si pasien sekarang berada di ujung tanduk, salah satu andil yang membuatnya, yaa... adalah yang berkomentar pedas itu.

Di zaman seperti sekarang ini, sejujurnya saya sendiri menjadi tidak tahu apakah menjadi peka itu, dan apakah tidak peka itu. Coba saya beri contoh kejadian di bawah ini, dan apa kira-kira menurut Anda.

Di suatu sore saya sedang berada di mal. Saya berjalan dari kamar kecil ke sebuah rumah makan tempat saya membuat janji temu dengan seorang klien. Saat tiba di rumah makan, saya melewati sebuah meja teman yang kebetulan juga berada di tempat yang sama. Ia menyapa, dan kemudian berkata begini. ”Lima detik aja, elo milih capres A apa B?

Tersetrum

Menurut saya, saya ini tidak peka terhadap pertanyaan itu, sehingga yang lima detik itu berubah menjadi dua puluh menit. Padahal tujuan utama saya adalah bertemu klien, dan tidak bertemu teman saya dan masuk ke sebuah percakapan panjang.

Seandainya saja saya peka, setelah saya memberi jawaban, saya akan meninggalkan mereka dan tidak membiarkan klien saya menunggu. Bahwa mereka tidak setuju dengan jawaban saya, seharusnya saya tak perlu memedulikan mereka.

Tapi pada kenyataannya, saya peduli dengan mereka, dan tidak peduli dengan klien saya. Saya tidak peduli dengan yang menjadi tujuan utama, dan saya sungguh peduli kepada yang hanya menyapa. Itu juga yang menyebabkan acapkali, tujuan dalam hidup saya tak tercapai, karena saya tidak peka untuk memilih prioritas.

Contoh berikutnya. Sudah beberapa kali kalau saya sedang berjalan terutama di mal, banyak orang berjalan dalam posisi melintang bersama tiga atau empat rekannya. Keadaan itu menutupi seluruh jalan sehingga orang tak bisa berjalan dengan benar.

Demikian juga kalau sedang menaiki eskalator. Sampai saya berpikir, apakah setelah dewasa ini saya juga harus belajar hanya untuk mengetahui berjalan yang benar itu yang seperti apa. Mungkin, yang harus saya pelajari bukan cara berjalannya, tetapi kepekaannya.

Kepekaan bahwa jalan di area publik itu bukanlah berjalan di area milik perorangan atau sekelompok orang. Area publik itu harus bisa dinikmati oleh khalayak lainnya tanpa mereka merasa terganggu.

Sudah beberapa kali saya mengunjungi negeri matahari terbit, dan beberapa kali saya melihat diri saya dan teman-teman bisa berjalan dengan benar, mengantre tanpa menggerutu, berbicara dengan lembut, dan tidak keras seperti biasanya.

Nah, mengapa kepekaan kami hanya tumbuh di tempat orang lain dan bukan di rumah sendiri. Begini seorang teman berkomentar. ”Di rumah sendiri, kan beda, kita bisa seenaknya. Di rumah tetangga malu kali...”

Saya jadi bertanya mengapa orang lain bisa disiplin, bisa peka, saya tidak bisa? Apakah menjadi peka itu perlu adanya kedisiplinan yang ditegakkan oleh orang lain dan bukan oleh diri kita sendiri?

Sungguh saya tak bisa menjawabnya. Mungkin, ini hanya mungkin, dunia ini bisa berwarna karena saya bisa berteriak, yang lain bisa berbicara dengan halus. Saya malas pakai sabuk pengaman di dalam mobil, yang lain sungguh bisa berpikir bahwa itu bukan sebuah beban, tetapi sebuah cara untuk melindungi diri saat kejadian buruk menimpa.

Saya bisa tidak atau kurang peka terhadap penggunaan sabuk pengaman, yang lain bisa peka dan sangat peka. Sehingga kalau keduanya saling mengunjungi dan bertemu, keduanya bisa tersetrum hanya karena sebuah perbedaan. Mungkin dengan demikian, hidup akan terasa menjadi lebih hidup. Mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar