Rabu, 25 Juni 2014

Interaksi Belajar dan Demokrasi Kita

Interaksi Belajar dan Demokrasi Kita

Ahmad Baedowi ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 23 Juni 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
BELAJAR ialah sesuatu yang azali atau built up dalam diri manusia. Keinginan untuk mengetahui sesuatu menuntut setiap orang untuk terus berusaha berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapa saja.

Setiap orang, apalagi guru dan siswa, memerlukan interaksi yang memadai agar suasana belajar-mengajar menjadi menyenangkan. Dalam konteks itulah hubungan antara belajar dan interaksi menjadi penting, dan pola-pola yang melingkupinya menjadi penting diperhatikan secara saksama.

Kirsi Tirri dan Elina Kuusisto, dalam Interaction in Educational Domains (2013), memberikan gambaran yang sangat baik tentang bagaimana hubungan antara belajar dan interaksi (learning and interaction). Belajar dan interaksinya selalu berkaitan dengan domain kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diperkenalkan pertama kali oleh Benjamin Bloom pada 1956. Ketiga domain itu memerlukan interaksi yang memadai dalam rangka menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan. Menariknya, berdasarkan riset yang dikembangkan di Finlandia, Inggris, dan Swedia, ternyata aspek seni dan budaya merupakan media yang sangat efektif untuk meningkatkan interaksi antardomain.

Kesimpulan itu dapat dilihat, misalnya, dari riset David Clarke dari University of Melbourne, Australia, dalam International Comparative Research into Educational Interaction: Constructing and Concealing Difference, yang menemukan banyak sekali bukti empiris tentang penggunaan seni dan budaya sebagai media belajar paling efektif di dalam kelas. Jika proses belajar-mengajar abai dan lalai menggunakan seni dan budaya yang menjadi akar dari tradisi dan cara berpikir masyarakat, implikasinya pasti akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri.

Jika dilihat dari aspek tersebut, tampaknya proses belajar-mengajar anak-anak kita di dalam kelas memang sebanding dengan apa yang berkembang dan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Ambil contoh kekarut-marutan kehidupan demokrasi kita yang tercerabut dari akar budaya Pancasila yang dirumuskan secara amat elegan oleh para founding father kita. Bahkan saat ini demokrasi di Indonesia, menurut beberapa ahli dan praktisi, telah berlari sangat jauh hingga tertatih-tatih. 

Saking kencangnya, ada yang masih tertinggal jauh karena merasa demokrasi tak memberi keuntungan apa pun bagi mereka, tetapi ada yang merasa bisa menikmati iklim demokrasi saat ini. Namun, jika kita menengok hasil survei lembaga riset The Fund for Peace 2012, mungkin kita patut bertanya mengapa Indonesia ditempatkan sebagai negara gagal?

Beberapa indikator yang dijadikan rujukan The Fund for Peace ketika menunjuk Indonesia menjadi negara gagal di antaranya tingginya tekanan demografi, protes kelompok minoritas dan hak asasi manusia (HAM), minimnya pembangunan infrastruktur, pengangguran, korupsi, kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.

Semua indikator vital itu dinilai gagal, padahal Indonesia sudah menganut paham negara demokrasi terutama pascareformasi. Beberapa idiom demokrasi yang sempat kita kenal dalam ranah politik Indonesia di antaranya demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, serta sekarang menganut paham demokrasi liberal seperti negara-negara Barat pada umumnya. Kita sedikit bertanya, apakah perubahan-perubahan paham demokrasi kita menandakan demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila juga telah gagal?

Negara gagal

Jelas sekali terlihat bahwa terpuruknya posisi Indonesia menjadi negara gagal bertentangan dengan cita-cita reformasi dan demokratisasi karena secara implisit indikator yang digunakan dalam penilaian ialah indikator tentang demokratisasi: kebebasan, toleransi, keadilan, HAM, serta hak atas pendidikan dan layanan kesehatan. Artinya, terpuruknya Indonesia menjadi negara gagal sama artinya dengan gagalnya proses demokratisasi, menghasilkan ‘demokrasi gagal’.

Menurut saya, salah satu indikator gagalnya proses demokrasi di Indonesia ialah gagalnya negara dalam merumuskan kebijakan fundamental di sektor pendidikan. Sistem anggaran dan pembiayaan pendidikan kita kacau-balau sehingga menjadikan masyarakat lamban menjadi cerdas (slow learner) dan menyebabkan mereka tak bisa secara cepat beradaptasi dengan suasana kehidupan demokrasi yang serbaterbuka. Yang terjadi dalam struktur kebijakan pembiayaan pendidikan kita ialah anggaran yang manipulatif karena lebih banyak didasari asumsi ketimbang fakta dan data.

Ambil contoh, misalnya, bagaimana dana BOS ditetapkan dan direalisasikan. Data siswa dari tahun ke tahun hanya didasarkan pada asumsi usia sekolah, bukan pada fakta.

Bahkan tak jarang dan cukup banyak sekolah tak akurat dalam memberikan data siswa mereka karena keinginan untuk memperoleh dana BOS yang dasar penghitungannya ialah kepala siswa. Itulah yang kemudian menjadikan masyarakat tidak tercerdaskan dan apatis terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu, kebijakan anggaran dan pembiayaan pendidikan berimplikasi langsung terhadap seluruh sektor kehidupan masyarakat, terutama terhadap sendi-sendi demokrasi.

Akhirnya, kesadaran berdemokrasi tidak tumbuh secara baik karena hubungan atau interaksi antardomain kognitif, afektif, dan psikomotorik masyarakat yang didasari pada keadiluhungan budaya bangsa memang tidak disemai melalui proses belajar-mengajar yang baik. Demokrasi kita, jika ukurannya ialah proses kampanye pilpres yang akhir-akhir ini kita saksikan, sama sekali tak menghargai perasaan, nilai-nilai keadaban, penghargaan, antusiasme, motivasi, dan sikap yang baik sebagaimana termaktub dalam sila-sila Pancasila.

Miskin dan minimnya nilai-nilai tersebut menyebabkan pola hubungan antara belajar dan demokrasi menjadi sangat kontras karena pada akhirnya masyarakat kita memang sedang dirasuki nafsu syahwat politik yang berorientasi pada kekuasaan semata, yang penuh rasa curiga dan menjelekkan satu sama lain.
Kita seolah lupa bahwa demokrasi hanyalah sebuah alat, tetapi media yang seharusnya tetap digunakan masyarakat untuk berinteraksi ialah nilainilai budaya bangsa yang mau menghargai dan menerima perbedaan secara terbuka, toleran terhadap sesama, serta peduli dengan penderitaan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar