Kamis, 26 Juni 2014

Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Pilpres

Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Pilpres

Tirta N Mursitama  ;  Ketua Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara, Jakarta; Plt Ketua Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)
KORAN SINDO, 23 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tiada terasa sekitar satu setengah tahun lagi penduduk di kawasan Asia Tenggara akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Bila tidak ada perubahan lagi, MEA akan efektif 1 Januari 2016. Namun hingga kini tidak terlihat jelas bagaimana Indonesia secara khusus mempersiapkan diri.

Hal yang terlihat jelas justru ketiadaan inisiatif pemerintah secara sistematis menghadapinya demikian pula masyarakat. Geliat semangat menyongsong MEA secara hakiki itu tidak hadir dalam keseharian bangsa Indonesia. Sepertinya tidak ada yang berubah ada atau tidak MEA 2015. Bila demikian, apakah menjadi sebuah masyarakat ASEAN itu relevan dan penting bagi negara di Asia Tenggara dan negara lain di kawasan yang lain? Pertanyaan retoris itu semestinya tidak membuat kita terlena menjadikannya tanpa makna.

Sebagai sebuah proses menjadi suatu kesatuan di kawasan, regionalisme yang didorong negara (state-led process) ini sudah separuh jalan. Negara yang begitu banyak urusannya memenuhi kebutuhan penduduknya secara domestik dengan berdiplomasi di luar negeri sepertinya sudah kewalahan. Akibatnya, bisa dimengerti bahwa menjadi MEA seperti apa, langkah apa yang harus dilakukan hingga menyampaikan apa yang sudah dikerjakan kepada seluruh pemangku kepentingan pun kurang efektif. Lalu apa yang harus dilakukan agar tidak sekadar sumpah serapah yang keluar dari para pemangku kepentingan yang tiada guna.

Regionalisasi

Dalam khasanah literatur hubungan internasional dikenal istilah regionalisme dan regionalisasi dalam integrasi kawasan. Secara sederhana beda antara keduanya terletak pada siapa yang menjadi inisiator dan fasilitator proses integrasi tersebut. Regionalisme didorong negara (state-led process), sedangkan regionalisasi didorong oleh aktor non-negara (nonstate-led process). Ketika negara terlalu ”sibuk” dengan berbagai urusan sehingga kehadirannya kala dibutuhkan tidak terasa, inisiatif dari swasta (perusahaan), akademia, pers, lembaga sosial kemasyarakatan maupun nirlaba hingga individu menjadi penting.

Caranya dengan melakukan sesuatu dalam kapasitas masing-masing dengan bentuk aktibitas, cakupan, dan kedalaman program yang bisa dilakukan. Aktivitas mendasar yang bisa mengawali adalah dengan mencari tahu dan menjelaskan kepada khalayak di sekitar kita tentang hakikat MEA dan dampaknya. Institusi resmi seperti Sekretariat ASEAN, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dapat dijadikan rujukan awal. Paling tidak mereka memiliki dokumen-dokumen resmi standar atau dasar tentang ASEAN dan komunitas ASEAN yang otoritatif.

Namun kadang bentuknya kaku, kurang menarik, dan monoton. Akibatnya esensi pesan kurang dapat tersampaikan dengan baik. Selain itu, dengan materi standar, sedangkan spektrum masyarakat yang dituju sangat beragam, menjadi semakin sulit menyampaikan pesan secara tepat. Untuk itu, perlu media yang tepat dan cara komunikasi yang efektif kepada berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Kemajuan teknologi dapat memfasilitasi ini. Pertanyaan lain, bagaimana kita memaknai pilpres yang strategis ini dengan kesiapan Indonesia menghadapi MEA?

Pilpres

Saat ini bangsa Indonesia sedang bereuforia dalam pesta demokrasi memilih presiden untuk masa lima tahun ke depan. Momen ini sangat krusial. Kita bersama sembilan negara ASEAN akan menyongsong MEA 2015. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden akan menorehkan sejarah membawa Indonesia berkontribusi bahkan siap memimpin ASEAN. Bila dipelajari dari visi misi dua capres, masih terlihat minim perhatian pada kebijakan luar negeri. Apalagi yang secara spesifik membahas ASEAN. Dalam membedahnya dapat kita lihat dari dua hal. Pertama , platform kebijakan luar negeri mereka. Pasangan Jokowi-JK menginginkan Indonesia menjadi kekuatan menengah (middle power) dan memegang kendali sebagai kekuatan regional yang disegani. Adapun platform pasangan Prabowo-Hatta adalah fokus pada kebijakan luar negeri bebas aktif.

Kedua , kebijakan luar negeri tidak bisa dipisahkan dari faktor idiosinkrasi presiden. Faktor ini diartikan sebagai berbagai atribut personal yang melekat pada diri pribadi presiden. Contohnya karakter, cara berpikir, kebiasaan, budaya, kepercayaan, dan nilai-nilai yang diyakini serta sifat-sifat pribadi lainnya sebagai manusia. Bila dibandingkan, kedua capres memiliki perbedaan yang mendasar dilihat dari sisi yang diperlihatkan di depan publik dan sisi yang sebenarnya. Capres Prabowo berusaha memunculkan citra sebagai macan Asia yang tegas, asertif, disegani.

Ia muncul sebagai antitesis atas kepemimpinan Presiden SBY yang relatif lebih tenang, kalem, hati-hati, cenderung tidak decisive sehingga jauh sekali dari karakteristik seorang yang memiliki latar belakang militer. Adapun capres Jokowi menampilkan gaya yang apa adanya, sederhana, dan berusaha menampilkan bahwa dirinya memiliki atau merepresentasikan rakyat yang sebenarnya di tingkat akar rumput. Bukan figur superhero dan orang yang sempurna. Walau demikian, ia memperlihatkan sosok yang mampu bekerja konkret dengan hasil yang jelas.

Dengan faktor idiosinkrasi dari kedua capres, keduanya memiliki tantangan yang sama untuk ”memimpin” negara-negara ASEAN. Kepemimpinan yang mampu memberikan contoh-contoh kerja konkret di dalam negeri akan semakin disegani di luar negeri. Bukan kepemimpinan yang memunculkan rasa kekhawatiran dan mengancam negara-negara lain di kawasan ini. Ingat, di kawasan Asia Tenggara berlaku ASEAN Way yang suka atau tidak masih tetap berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar