Sabtu, 28 Juni 2014

Menganalisis ERP

Menganalisis ERP

Joko Tri Haryanto  ;   Bekerja di Kementerian Keuangan
KORAN JAKARTA, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sebentar lagi, Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan electronic road pricing (ERP) sebagai salah satu instrumen kebijakan manajemen lalu lintas berupa pungutan jalan nontol. ERP juga merupakan retribusi kelancaran lalu lintas atau pungutan penggunaan jalan pada kawasan tertentu.

Secara teori, meskipun memiliki beberapa kesamaan, sebetulnya ada perbedaan sangat signifikan antara ERP dan pungutan jalan tol. Misalnya, pungutan jalan tol dijadikan kutipan pada ruas-ruas jalan tertentu, jembatan, terowongan. Tujuannya membiayai sebagian atau seluruh modal, ongkos operasi, dan perawatan infrastruktur.

Sementara ERP adalah kutipan di ruas-ruas jalan atau area tertentu sebagai bagian dari travel demand management (TDM) atau urban demand management (UDM). Tujuannya menekan pengguna kendaraan bermotor agar volume lalu lintas terbatas. Perbedaan lain terletak pada penetapan harga.

Untuk jalan tol, operator biasanya berusaha mencapai target finansial untuk menutup seluruh biaya sehingga harga ditetapkan agar pengendara tidak menggunakan jalan alternatif. Sementara ERP harga ditetapkan agar pengendara tidak menggunakan jalan atau melewati area tertentu. Pungutan ERP dalam strategi manajemen permintaan kendaraan (TDM) sering dikelompokkan sebagai pilihan fiskal dengan sistem stiker, high parking charge, dan vehicle licensing tax.

Strategi lainnya juga dapat diterapkan melalui mekanisme nonfi skal, seperti pengaturan nomor kendaraan ganjil genap, pembatasan umur kendaraan, high occupancy vehicle termasuk 3-in 1, serta manajemen infrastruktur kendaraan bermotor. Beberapa kota besar dunia sukses menjalankan ERP, seperti Singapura sejak 1998, London (2003), dan Stockholm (2006). Singapura mau mengurangi jumlah kendaraan yang masuk ke kawasan central business district (CBD) pada jam-jam puncak kemacetan.

Sementara di London, ERP lebih untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas perjalanan, serta menekan polusi. Di Stockholm, ERP untuk pemasukan pembangunan jalan serta pengembangan sarana transportasi umum. Meskipun berbeda tujuan, Singapura, London, dan Stockholm memiliki kesamaan hasil, penurunan volume lalu lintas, kemacetan, perbaikan kualitas udara, peningkatan reliabilitas perjalanan, penurunan tingkat kecelakaan sekaligus penambahan anggaran perbaikan jalan, dan pengembangan moda transportasi publik.

ERP Jakarta berdasarkan Undang- Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang telah direvisi menjadi UU Nomor 22 Tahun 2009, dan banyak lagi. ERP ini sebetulnya sudah ada dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2003 tentang LLAJR, Angkutan KA, Sungai, Danau dan Penyeberangan.

Namun, sepertinya, dasar hukum tersebut belum cukup memayungi ERP. Persoalan lainnya muncul ketika ERP sebagai salah satu bentuk pungutan daerah tidak termasuk dalam daftar jenis-jenis pajak dan retribusi daerah sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang sifatnya close list. Dengan kata lain, daerah tidak boleh menerbitkan jenis pungutan baru tanpa dasar hukum yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan lebih tinggi.

Dengan demikian, DKI Jakarta membutuhkan peraturan pemerintah (PP) untuk menjalankan ERP. Terkait persyaratan tersebut, dalam beberapa kesempatan, Wakil Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menyanggupi. Ini hanya persoalan teknis lelang operator yang bertanggung jawab pelaksanaan ERP sehingga pertengahan 2014 bisa diuji coba di Jalan Sudirman-Th amrin dan Rasuna Said. Urgensi Rencana penerapan ERP ditanggapi skeptis karena didominasi kepentingan ”proyek”.

Sistem ERP membutuhkan teknologi tinggi sehingga investasinya sangat mahal. Bus Transjakarta yang jauh dari spesifi kasi juga menjadi pelajaran penting. Pengadaan teknologi pendukung ERP sebetulnya dapat dilakukan melalui beberapa pilihan. Secara manual, ERP dapat dijalankan menggunakan pelat nomor serta stiker. Misalnya pelat ganjil dapat melewati ruas ERP pada hari-hari tertentu, sisanya untuk pelat genap.

Sedang stiker dapat diterapkan pada setiap kendaraan di jalan ERP. Selain itu, bisa menggunakan kamera elektronik atau alat pemindai. Akurasinya lebih tinggi, namun investasinya juga sangat mahal. Di saat bersamaan, Pemprov Jakarta belum mampu memenuhi target pengadaan koridor Transjakarta, tapi mau memulai proyek monorel dan mass rapid transportation (MRT). Pertanyaannya, seberapa urgen ERP? DKI lebih baik fokus pada salah satu.

DKI Jakarta seharusnya fokus merampungkan program Transjakarta sambil mengembangkan monorel atau MRT dulu. Momen sinergi yang sudah terbangun dengan swasta dalam pengembangan moda transportasi terintegrasi busway juga terlalu sayang untuk tidak dioptimalkan. Sistem 3 in 1 perlu dianalisis lebih mendalam tanpa harus mengembangkan metode lainnya yang belum teruji.

Kesuksesan ERP di Singapura, London, dan Stockholm juga perlu didiskusikan ulang karena kondisinya berbeda. Edukasi pengguna jalan, kesejahteraan, serta kedisiplinan sangat mendukung keberhasilan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar