Senin, 30 Juni 2014

Menghangatkan Perasaan Orang Lain, Perlukah?

Menghangatkan Perasaan Orang Lain, Perlukah?

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 29 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
”Pada dasarnya kami saling mencintai, tetapi...?”. Kalimat sambung yang diawali oleh tetapi tersebut bisa beraneka ragam, misalnya kenapa ya, relasi keseharian kami terasa hambar seperti sayur kurang garam. Atau, ”kami seolah kehilangan selera humor atau kami justru mencoba mengabaikan kebersamaan kami dengan menyibukkan diri dengan hal-hal rutin yang tidak penting” dan sebagainya.

Situasi seperti ini seyogianya diwaspadai dan guna mengantisipasi kemungkinan hubungan menjadi lebih buruk perlu dilakukan upaya perbaikan bersama.

Pada dasarnya setiap pasangan pasti mengetahui bahwa ada hal-hal khusus yang perlu dan bisa dilakukan untuk menghangatkan kembali perasaan dengan pasangannya. Biasanya jika kita sedang marah dan tidak nyaman karena rasa jengkel terhadap perilaku pasangan kita, kita cenderung menghentikan upaya-upaya untuk menghangatkan kembali perasaannya. Kemudian berkembang terhadap sikap yang cenderung memiliki makna penolakan terhadap dirinya.

Untuk mengatasi permasalahan seperti ini memang dibutuhkan niat baik dan dorongan untuk mengungkapkan perasaan yang penuh kasih dan hangat kembali seperti pada saat mengawali hubungan pada masa lalu. Semakin lama perkawinan berlalu, sering membuat pasangan pada umumnya melupakan ungkapan-ungkapan sederhana yang memberikan makna penuh kasih dan perhatian.

Sementara saat mengawali hubungan dengan pasangan, berbagai upaya apresiasi dan penghargaan perilaku pasangan sering dikumandangkan. Bahkan apresiasi itu disertai dengan upaya-upaya untuk menciptakan hubungan yang penuh kasih dengan penekanan pada aspek positif dari perilaku pasangan kita. Namun, semakin lama perkawinan berlangsung, tanpa disadari justru semakin banyak dan sering ungkapan-ungkapan yang sebaliknya dan biasanya kesan-kesan negatif yang kita lontarkan kepadanya.

Kecuali itu, kita pun setuju jika anak-anak juga membutuhkan apresiasi dan penghargaan atas perilaku mereka yang spesifik, kualitas kepribadiannya, dan perilakunya. Apresiasi itu bisa dengan kalimat seperti ”kamu terampil sekali dalam menata meja belajarmu”, ”ibu pikir kamu berani sekali menyatakan perasaan kamu tentang perilaku temanmu itu dan tidak sekadar menyatakan setuju akan pendapatnya”, ”kamu anak yang membanggakan ibu karena berani bersikap jujur”. Bahkan, orang dewasa pun membutuhkan mendengar kesan spesifik tentang prestasi yang telah mereka capai.

Dengan demikian, dapat dipahami manakala kita sudah menikah dan hidup bertahun dengan pasangan kita, kita juga membutuhkan penghargaan spesifik yang disampaikan pada saat yang tepat sehingga terasa kembali kehangatan perasaan oleh penghargaan tersebut. Dan, tanpa disadari penghargaan itu akan memotivasi diri kita untuk secara berlanjut melakukan segala hal dengan cara sebaik mungkin. Penghargaan itu bisa berupa pujian seperti ”wah, kamu bisa lakukan hal itu dengan cara yang baik” atau ”saya sangat menghargai usaha kamu dan kerja keras kamu sehingga penghasilan yang kamu peroleh sangat berguna bagi kelangsungan kehidupan keluarga kita”. Bisa juga seorang istri merasa dihargai jika suami mengungkapkan, ”waduh, hari ini kamu masak istimewa, sayur lodeh bikinanmu pas banget di lidahku”.

Ungkapan verbal

Benar-benar apa yang diungkapkan pasangan terhadap kinerja kita membuat kita selalu mendapat kejutan yang menghangatkan perasaan kita. Kehangatan perasaan yang disebabkan oleh ungkapan verbal yang tulus dan penuh kasih tersebut sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan ikatan emosional yang meningkatkan kasih di antara pasangan, di antara anggota keluarga, ataupun antara orangtua dan anak.

Sementara itu, jika kita simak dan kita cermati ekspresi spontan tersebut sebenarnya ”hal kecil”, tetapi benar-benar memberikan pengaruh yang bukan alang-kepalang maknanya. Dari fakta-fakta yang kita amati, sebenarnya aktivitas dan upaya menghangatkan perasaan orang lain berpangkal pada usaha kita, good will, dan niat dari hati yang dalam untuk memperhatikan hal-hal positif yang dilakukan orang lain serta mengekspresikan dalam aksi yang sejalan dan terasa ”pas” (congruent) dengan nilai-nilai tentang harapan kita tentang akan seperti apakah diri kita ini dalam kehidupan kita di dunia ini. Hal ini juga mendorong kita untuk menemukan suara hati kita serta menuntut kita untuk memeriksa nilai-nilai yang kita anut tentang bagaimana kita akan mengemudikan relasi kita dengan sesama dan tidak hanya sekadar memberikan reaksi terhadap apa yang dilakukan oleh orang yang berada di sekitar kita.

Yang terpenting di sini adalah ”saya ingin menjadi seseorang yang mampu menciptakan keseimbangan antara respons kritik otomatis dan hal yang positif karena hal yang positif akan menciptakan sesuatu yang positif pula. Jadi semakin banyak saya memilih untuk mengekspresikan apresiasi terhadap orang lain apakah itu pasangan perkawinan, anak yang sudah dewasa, atau anak yang masih kecil, maka semakin terasa keseimbangan tersebut bagi diri saya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar