Selasa, 24 Juni 2014

Mewujudkan Indonesia Terang

Mewujudkan Indonesia Terang

Faisal Basri  ;   Ekonom
KOMPAS, 23 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
PADA 2001, konsumsi listrik per kapita Indonesia masih di atas India dan Vietnam. Sepuluh tahun kemudian, kedua negara itu sudah menyusul Indonesia. Selama periode 2001-2011, pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia hanya naik 1,6 kali atau 63,5 persen, sedangkan di India naik 1,7 kali atau 74,5 persen dan di Vietnam naik 3,2 kali lipat atau 220 persen.

Dengan konsumsi listrik per kapita 680 kWh per tahun, pasti kita kekurangan tenaga penggerak perekonomian. Bandingkan dengan Thailand yang konsumsi listrik per kapitanya 3,4 kali lipat Indonesia, Tiongkok 4,8 kali lipat, dan Malaysia 6,2 kali lipat.

Konsumsi listrik yang rendah bukan karena masyarakat dan dunia usaha tidak butuh atau tak mampu membeli, melainkan karena pasokannya tersendat. Cakupan rumah tangga berlistrik (electrification ratio) yang terus naik dan mencapai 80 persen bukan ukuran kecukupan listrik. Sekalipun sudah 100 persen, bisa saja kondisi kelistrikan kian parah karena peningkatan permintaan dari semua kelompok pelanggan lebih cepat daripada tambahan kapasitas pembangkit.

Buktinya, pemakaian listrik beban puncak mendekati titik kritis. Di Jawa-Bali, misalnya, beban puncak listrik tertinggi pekan lalu mencapai 84 persen kapasitas. Kalau ada pemeliharaan pembangkit secara berkala, situasinya sudah amat kritis. Ditambah lagi kalau terjadi kerusakan, niscaya bakal kerap terjadi pemadaman bergilir.

Kondisi di luar Jawa-Bali sudah lama kritis. Tahun 2009, seluruh sistem kelistrikan luar Jawa-Bali defisit. Hanya dua dari 24 sistem berstatus normal, yaitu sistem Batam dan Bontang. Delapan status masuk kategori defisit, yang berarti beban puncak melebihi daya mampu atau cadangan operasi, dan 14 lainnya dalam status siaga (beban puncak lebih besar daripada cadangan operasi).

Selama lima tahun terakhir, kondisi kelistrikan nasional justru kian memburuk. Hampir semua proyek pembangkit tersendat, bahkan beberapa belum memulai pembangunan fisik, seperti pembangkit Asahan dan Batang. Hampir semua proyek pembangkit listrik geotermal tersendat. Demikian pula proyek pembangunan transmisi.

Permohonan izin pembangkit Asahan diajukan 2004, tetapi baru keluar izin gubernur pada 2012. Sampai kini izin lokasi belum dikeluarkan Kementerian Kehutanan. Membangun transmisi di kawasan hutan diperlakukan sama dengan eksploitasi di kawasan hutan, sama-sama butuh 504 hari. Lebih pelik lagi untuk pembangkit geotermal.

Tak kalah ironis adalah pembangkit Tambak Lorok. Pembangkit sudah selesai dan pasokan gas siap, tetapi tidak dioperasikan karena pembangunan pipa gas dari ladang Kepodang ke pembangkit tak kunjung dimulai. Berdasarkan audit BPK, potensi kerugian negara lebih dari Rp 2 triliun per tahun. Semoga proyek pipa bisa terwujud setelah beralih dari Kelompok Bakrie ke Perusahaan Gas Negara.

Jelas kiranya, tambahan pasokan listrik tersendat karena proyek kelistrikan sarat digelayuti kelompok kepentingan dan para pemburu rente. Titik terlemah adalah koordinasi karena ternyata kelistrikan berurusan dengan banyak instansi. Di tingkat pusat, penghambat utama adalah Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan.

Tanpa membereskan karut-marut kelistrikan yang sudah berlangsung cukup lama, jangan dulu bermimpi perekonomian tumbuh dua digit. Pertumbuhan ekonomi 7 persen saja sudah membuat penyediaan listrik tergopoh-gopoh karena produksi listrik harus naik setidaknya 8,5 persen. Untuk memenuhinya, perlu tambahan pembangkit 5.000 megawatt setiap tahun dengan kebutuhan dana sekitar 12 miliar dollar AS. PLN hanya mampu menghimpun 5 miliar dollar AS. Itu pun sebagian besar dari utang.

Jika utang PLN bertambah, apalagi kalau rupiah terus melemah, ongkos memproduksi listrik naik. Akibatnya, tekanan kenaikan harga listrik tak henti-henti atau subsidi terus membesar. Jika swasta diberi porsi lebih besar, tentu PLN harus membeli lebih mahal. Bertambah pula tekanan kenaikan harga.

Langkah yang lebih realistis adalah dengan memaksimalkan peran PLN. Kalau selama enam tahun terakhir pemerintah mampu mengalokasikan dana subsidi listrik lebih dari Rp 500 triliun, mengapa pemerintah tidak mengalokasikan setidaknya separuh saja untuk mempercepat PLN membangun pembangkit baru. Dengan begitu, beban bunga tidak naik, tak ada risiko kenaikan nilai tukar, dan menekan ongkos pengadaan listrik.

Tentu saja percepatan pembangunan pembangkit listrik geotermal sangat mendesak. Jangan sia-siakan cadangan panas bumi kita yang sekitar 60 persen cadangan panas bumi dunia. Apa pun rintangan yang sangat di luar akal sehat sepatutnya segera dienyahkan.

Kita berharap banyak pemerintahan baru segera menyingkirkan para pemburu rente. Presiden baru harus cepat memutuskan jika terjadi perbedaan pandangan di antara para pembantunya. Pemimpin yang tanpa beban dan tidak dikelilingi para pemburu rente tentu bisa mewujudkan Indonesia terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar