Jumat, 27 Juni 2014

Narkotika Mengancam Pelajar Kita

Narkotika Mengancam Pelajar Kita

Bagong Suyanto  ;   Dosen sosiologi FISIP Universitas Airlangga
JAWA POS, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PELAJAR di Kota Surabaya ternyata tidak hanya rawan terkontaminasi gaya hidup dan pergaulan seks bebas, tetapi juga rentan terjerat pengaruh buruk narkotika. Hasil tes urine oleh Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK) Surabaya terhadap 400 pelajar SMA dan SMP di berbagai sekolah negeri dan swasta menemukan lebih dari 10 persen siswa yang positif mengandung zat metamin yang merupakan indikasi signifikan bahwa yang bersangkutan pernah mengonsumsi narkotika (Jawa Pos, 25 Juni 2014).

Pada era postmodern seperti sekarang ini, narkotika, tampaknya, bukan lagi monopoli geng-geng nakal, pemuda urakan, anak korban broken home, pengunjung diskotek, atau pelajar yang suka keluar malam. Benda haram tersebut kini juga telah merambah para ABG dan sejumlah pelajar yang sehari-hari tampak wajar-wajar saja. Di Surabaya, tidak sedikit sekolah yang dilaporkan pernah mengeluarkan siswanya lantaran tertangkap basah menyimpan dan menikmati narkotika tersebut. Juga, tidak sekali dua kali pelajar dilaporkan tewas gara-gara overdosis.

Mengapa banyak pelajar atau bahkan anak-anak yang terjerumus mengonsumsi narkotika sampai kecanduan, sehingga mereka dan keluarganya terkungkung dalam persoalan yang berkepanjangan? Penelitian oleh penulis tentang penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja Kota Surabaya menemukan setidaknya tiga kondisi yang bisa memicu pelajar untuk mengonsumsi narkotika.

Pertama, faktor lingkungan sosial atau peer group yang memiliki daya tarik sangat kuat terhadap keinginan pelajar untuk mencoba dan mengonsumsi narkotika. Sebagaimana diungkapkan dalam teori asosiasi diferensial, perilaku delinkuen yang diperlihatkan seseorang sesungguhnya merupakan akibat proses asosiasi diri dengan orang atau kelompok dan hal itu memiliki relevansi yang kuat terhadap intensitas pergaulan. Teori tersebut mempertegas bahwa perilaku dan segala yang diperbuat seseorang sangat ditentukan oleh pengaruh dalam kelompok yang menjadi acuan individu. Nilai atau norma serta kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam kelompok –meski tidak selalu harus tercatat secara jelas– merupakan dasar bagi anggota untuk berperilaku dan seolah menjadi daya ikat bagi anggota kelompok untuk ditaati serta dilakukan secara bersama.

Kedua, lemahnya kontrol orang tua. Kurangnya perhatian orang tua dan tidak optimalnya berbagai jenis kontrol internal mengakibatkan anak atau pelajar dengan leluasa mencari pihak lain atau kelompok bermain. Apabila kelompok tersebut memiliki orientasi positif, mungkin tidak masalah. Tetapi, jika kelompok yang menjadi acuan dalam berperilaku tidak mendukung, niscaya anak atau pelajar bakal mengarah pada nilai dan norma yang tidak sepaham dengan masyarakat kebanyakan.

Menurut Hirschi (1979), kontrol internal dari orang tua merupakan hal yang lebih kuat dalam mengarahkan perilaku individu. Setidaknya terdapat empat komponen utama yang bisa mengarahkan perilaku individu. Yakni, kasih sayang, komitmen, keterlibatan, dan kepercayaan. Kasih sayang yang didapat individu dari sosialisasi primer menimbulkan komitmen yang kuat untuk tidak melanggar norma-norma dan kaidah serta tetap menjaga diri untuk tidak berperilaku delinkuen. Artinya, anak-anak atau pelajar menjadi pihak yang berpartisipasi untuk tidak melanggar norma dan pada gilirannya terbentuk kepercayaan serta kredibilitas yang kukuh dalam masyarakat.

Kendati tidak bisa terlalu digeneralisasi, banyak kasus yang membuktikan, ketika para orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tidak memberikan perhatian yang cukup kepada anak-anak, akibatnya anak-anak tidak jarang mencari pelarian dengan cara mengonsumsi narkotika. Ketika ditanya apakah orang tua dan keluarga tahu informan memakai narkotika, ternyata hampir seluruh informan menyebutkan tidak tahu.

Ketiga, keterlibatan anak dan pelajar dalam narkotika sebenarnya juga tidak terlepas dari kontrol sosial dalam masyarakat. Kontrol sosial, termasuk institusi masyarakat, seolah tidak berdaya memaksakan anggota masyarakat untuk menaati norma-norma. Sebagaimana diungkaplan Albert J. Reiss, perilaku delinkuen terjadi salah satunya karena tidak efektifnya lembaga penegak hukum dan penertiban hukum oleh kepolisian serta pengadilan.

Upaya penanganan korban narkotika, secara garis besar, dapat dilakukan secara preventif, kuratif-rehabilitatif, dan represif –khususnya bagi para pengedar dan bandar gedenarkotika. Sementara itu, khusus untuk penanganan pelajar pecandu narkotika, ada beberapa program aksi yang perlu dilakukan untuk mengeliminasi meluasnya peredaran dan pengaruh narkotika.

Pertama, dibutuhkan kreativitas dan kemampuan sekolah serta keluarga untuk menciptakan kegiatan alternatif yang atraktif dan menarik. Tujuannya, aktivitas sosial pelajar pada waktu luang bisa diarahkan untuk hal-hal yang positif. Selain terus mempertahankan dan mengembangkan kegiatan konvensional yang sudah berjalan seperti pertandingan olahraga dan kegiatan akademis lain, yang seyogianya dikembangkan ke depan adalah kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan jiwa pelajar. Bisa berupa kegiatan bermusik, pramuka dalam bentuk kemasan yang lebih atraktif, atau kegiatan yang sedikit berbau politik –tanpa harus melibatkan mereka menjadi partisan.

Kedua, perlu terus dipertahankan dan dikembangkan kerja sama antara sekolah dan aparat kepolisian untuk merazia secara mendadak namun berkelanjutan. Tidak hanya pada kasus penyalahgunaan narkotika, tetapi juga kasus kenakalan pelajar atau yang lain seperti pornografi, merokok, perkelahian pelajar, pemalakan, dan bahkan mungkin tindakan lain pelajar yang tergolong kriminal. Sebagaimana diketahui, keterlibatan seorang pelajar dalam narkotika biasanya selalu didahului dengan keterlibatan mereka pada praktik kenakalan yang bergradasi lebih rendah seperti merokok, berkelahi, dan membolos.

Ketiga,untuk memotong mata rantai pengaruh mafia narkotika di kalangan pelajar, yang dibutuhkan adalah keberanian, kejelian, dan sikap proaktif sekolah bersama aparat kepolisian untuk secara tegas serta konsisten memberantas mafia pengedar narkotika. Bagi pelajar yang mungkin tertangkap basah terlibat sebagai pemakai dan pengedar narkotika, penanganan hukum tetap harus mengacu pada hak-hak mereka sebagai pihak yang berkonflik dengan hukum (bejing rules). Bagi orang dewasa yang ketahuan terlibat dalam praktik peredaran narkotika di kalangan pelajar, sanksi hukum yang diberlakukan harus benar-benar tegas untuk kepentingan menghasilkan efek jera yang efektif di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar