Kamis, 26 Juni 2014

Otonomi dan Pemimpin Baru

Otonomi dan Pemimpin Baru

Robert Endi Jaweng  ;  Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
KOMPAS, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SAAT ini publik setidaknya memiliki dua sumber informasi sebagai bahan dasar menilai program otonomi kedua pasangan capres-cawapres, yakni dokumen visi, misi, dan program serta debat pada 9 Juni.

Isi dokumen visi, misi, dan program (VMP) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa relatif sepi isu otonomi. Tiadanya platform politik desentralisasi ini bisa ditengarai beragam, termasuk versi yang ekstrem bahwa pasangan ini cenderung anti-otonomi. Namun, hasil debat memberi kita gambaran sedikit lebih optimistis, setidaknya jika melihat afirmasi mereka atas opsi pilkada langsung dan reformasi birokrasi sebagai agenda prioritas.

Pada sisi lain, VMP Joko Widodo-Jusuf Kalla berisi cukup banyak program aksi lima tahun ke depan. Mereka meyakini, selain peran pusat, membangun Indonesia juga patut dilakukan dari daerah. Maka, arsitektur kewenangan, pembagian fiskal, hingga kapasitas lokal diarahkan ke pencapaian cita besar tersebut. Adapun secara nasional, komitmen dan soliditas kebijakan level pusat digalang lewat penetapan rezim desentralisasi sebagai model tata kelola utama yang menggantikan dominasi rezim sektoral selama ini.

Memimpin perubahan

Kita semua mafhum, Indonesia amat besar (penduduk dan wilayah) serta kompleks (kerumitan masalah) untuk hanya bertopang pada pilar tunggal Jakarta. Tentu melawan semangat zaman jika manajemen negara-bangsa ini tetap dibayangkan bisa terkelola sentralistik. Konsensus politik untuk kita berotonomi dan menyelenggarakan pemerintahan desentralistik benar dalam dirinya dan sesuai konteks aktual reformasi. Desentralisasi itu inheren dalam sistem demokrasi yang kita jalani. Menyurut langkah setengah mundur (resentralisasi), apalagi anti-otonomi, jelas sinyal buruk dari kehendak memutar balik demokrasi ke jalan otokrasi.

Dengan keyakinan itu, lanjutan isu pokoknya kemudian adalah perihal mengelola politik desentralisasi ke depan. Siapa pun presiden terpilih mesti mampu jadi seorang pemimpin perubahan sebagai keniscayaan dalam fase penguatan ataupun penataan ulang elemen-elemen dasar berotonomi yang baru.

Pertama, memimpin revolusi mental elite Jakarta menuju perubahan dalam paradigma kebijakan otonomi itu sendiri. Saat ini, secara sadar, kita berotonomi dan mengelola desentralisasi dengan langgam kerja sentralistik. Alam pikir elite politik/birokrasi pusat sejatinya masih mewarisi memori masa lalu, bahkan saat sistem telah berputar jauh ke haluan desentralisasi sebagai cara baru berpemerintahan. Presiden SBY bahkan mengakui kalau pusat masih berpikir sentralistik, cenderung otoritarian, dan belum sadar arti penting pemberian otonomi yang besar ke daerah (Selalu Ada Pilihan, 2014, hal 25).

Kedua, terkait itu, presiden terpilih adalah figur yang memimpin cara baru melihat hubungan bermasalah pemerintah pusat-pemerintah daerah selama ini yang kerap linear dan sepihak. Ibarat principal-agency, pusat memangku dirinya sebagai pemilik otonomi yang melalui skema desentralisasi berbaik hati mengalihkan sebagian pengelolaannya ke daerah. Pusat menjadi pusat kebenaran dan muara loyalitas. Ketaatan mesti dipastikan, termasuk lewat fiskal yang dalam banyak kejadian memang efektif berperan sebagai instrumen pengendalian politik dan tertib administrasi. Blunder konsep politik anggaran yang disampaikan Jokowi dalam debat lalu persis merefleksikan sesat pikir yang ironisnya belum terkena imbas revolusi mental tersebut.

Ketiga, menurun ke aras instrumental, otonomi memerlukan presiden yang cakap memimpin perubahan atas segitiga masalah pelik otoritas, kapasitas, dan integritas. Setelah 14 tahun berotonomi, benang kusut desain otoritas belum terurai lewat penataan urusan dan fiskal (money follow function). Diskresi pemda menjadi tumpul ketika politik anggaran pro daerah hanya sebatas jargon yang tentu saja sulit diandalkan memulihkan fiscal stress dan ketergantungan daerah (80 persen kabupaten/kota memiliki pendapatan asli daerah kurang dari 10 persen), menjamin pembiayaan atas urusan yang terbengkalai, mendorong rasio belanja modal sebagai stimulans ekonomi, dan lain-lain.

Celakanya, derajat otoritas itu setali tiga uang dengan kapasitas dan integritas lokal. Uang dan kuasa yang telah mengalir ke ranah lokal ternyata lebih banyak menemui institusi dan agensi yang lemah. Hasilnya, inefisiensi dan korupsi masif. Kita dihadapkan pada situasi buruk terkait tak berkualitasnya belanja APBD di banyak daerah, besarnya dana tak terserap (sisa lebih perhitungan anggaran sebesar Rp 116 triliun), alokasi 50-70 persen APBD untuk pos birokrasi di 276 daerah, nirakuntabilitas laporan keuangan (hanya 20 persen daerah memiliki laporan keuangan pemerintah daerah beropini wajar tanpa pengecualian), aksi perburuan rente/kuasa lewat mesin keruk pemekaran yang bekerja nyaris tak kenal jeda, serta 321 kepala daerah/wakil kepala daerah dan ribuan anggota DPRD yang tersangkut tindak pidana korupsi.

Keempat, akhirnya, hadirnya pemimpin yang mampu meleverasi otonomi ke konteks besar transformasi Indonesia. Segala masalah di atas tidak boleh menghalangi upaya pembuktian desentralisasi sebagai jalan strategis mengubah paradigma pembangunan di negeri ini. Selama ini kita terkesan terjebak dalam kejumudan otonomi. Pemekaran hanya untuk mekar jabatan, tak dirancang sebagai rute alternatif bagi territorial reform. Membangun daerah seolah hanya mengandalkan APBD, itu pun menunggu tetesan dari sisa belanja birokrasi. Distribusi barang/jasa dan pelayanan publik digariskan berdasarkan level pemerintahan, bukan sebagai respons atas kondisi publik itu sendiri. Semua serba rutin, bahkan involutif.

Kegairahan baru berotonomi harus dihadirkan. Sejumlah daerah (meski terbatas) telah sukses berinovasi. Presiden terpilih patut mendorong tumbuhnya pusat-pusat kreativitas sektor publik, mengarusutamakan inovasi sebagai sistem nasional dan menetapkannya sebagai indikator kinerja wajib. Selama masih gagal membuktikan desentralisasi sebagai jalan transformasi Indonesia, rakyat tidak akan mereguk tuah otonomi, alih-alih malah terus terlempar ke garis tepi pembangunan.

Catatan akhir

Platform baru politik desentralisasi menuntut revolusi fundamental struktur berpikir elite politik hingga street-level bureaucracy yang harus mengubah mental model dari budaya kuasa ke budaya melayani warga. Risiko dan resistensi pasti selalu ada; hanya pemimpin berkarakter perubahan yang dapat mengelola risiko, membuat otonomi bermakna dan fungsional bagi transformasi negara-bangsa ini. Kalau seorang presiden mengkritik masih sentralistiknya cara berpikir jajaran pemerintahan, sejatinya kritik itu adalah afirmasi otentik akan kegagalannya dalam memimpin perubahan.

Publik sudah membaca dokumen VMP dan mendengar debat/kampanye kedua pasangan capres-cawapres. Dalam konteks otonomi, masalah dan tantangan mendasar di atas belum sepenuhnya disentuh. Masa kampanye tersisa diharapkan muncul isu-isu fundamental, dengan cara lihat yang baru dan meyakinkan dirinya sebagai figur  pemimpin perubahan yang cakap memandu cara baru berpemerintahan di era desentralisasi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar