Selasa, 24 Juni 2014

Pilpres 2014 : “Perang Semua Melawan Semua”

Pilpres 2014 : “Perang Semua Melawan Semua”

Hajriyanto Y Thohari  ;   Wakil Ketua MPR RI
KOMPAS, 24 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SAYA rasa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 ini terlalu keras. Meski baru sebatas kekerasan kata alias verbal, diksi dan narasi yang digunakan para pendukung capres-cawapres dalam kampanye sudah melampaui batas-batas kepatutan dan keadaban.

Benar, politik itu keras, tetapi ini kebablasan. Terus terang, saya saja yang notabene politisi merasa kecut. Urat saraf dan nyali saya tidak cukup kuat untuk mengikuti permainan ini. Orang sepertinya tidak bisa lagi membedakan mana kritik dan mana caci maki. Oleh karena bahasa menunjukkan bangsa, maka banyak orang risau dan bertanya-tanya: apa yang sejatinya sedang terjadi dengan bangsa ini?

”Political opponent”

Bangsa ini secara potensial dan embrional terbelah menjadi dua kubu yang berhadapan secara head to head. Setiap kubu saling menelanjangi aib dengan keras dan habis-habisan. Kampanye negatif versus kampanye negatif, kampanye hitam versus kampanye hitam, dan fitnah versus fitnah. Mungkin tidak terlalu dramatis jika dikatakan bahwa situasi politik, atau lebih tepatnya suasana persaingan politik sekarang ini, meskipun baru sebatas diksi dan narasi, adalah seperti yang digambarkan Thomas Hobbes (filosof Inggris, 1588-1679) sebagai bellum omnium contra omnes, ’perang semua melawan semua’ (the war of all against all).

Ada fenomena di mana perbedaan dukungan kepada salah satu capres tidak diletakkan dalam konteks kontestasi politik, tetapi permusuhan. Di negara-negara demokrasi Barat yang sudah matang, kubu yang berbeda partai, pilihan politik, atau capres disebut political opponent, bukan political enemy. Fatalnya di sini—mungkin karena tidak mengenal tradisi dragoman, meminjam penjelasan Bernard Lewis dalam bukunya From Babel to Dragomans (2004)—kata political opponent tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Akhirnya, untuk gampangnya, kata yang tersebut terakhir ini biasa diterjemahkan menjadi ’lawan politik’, atau bahkan ’musuh politik’.

Padahal, dalam khazanah politik demokrasi yang berkeadaban tidak dikenal terminologi political enemy. Walhasil, pendukung salah satu capres cenderung memosisikan dirinya dan—pada saat yang sama—memandang yang liyan sebagai musuh politik dalam arti yang sebenarnya, yang berhadapan secara head to head dan habis-habisan.

Mungkin saja kecenderungan ini terjadi karena kampanye Pilpres 2014 memang melibatkan kalangan yang sangat luas spektrumnya: dari ideolog sampai demagog; dari politikus kepartaian sampai kaum profesional; dari aktivis sampai purnawirawan jenderal; dan dari agamawan sampai kaum awam. Semuanya bercampur aduk tidak keruan. Orang-orang yang tidak punya latar belakang politisi, yang karena itu tidak dibesarkan dalam tradisi politik, pun terlibat secara intensif dalam hampir seluruh medium kampanye, baik media cetak, elektronik, online, maupun media sosial; baik sebagai tim sukses, tim relawan, maupun tim simpatisan capres tertentu. Tidak ada lagi massa mengambang. Semua, tanpa kecuali, terlibat dalam permainan ini.

Satu hal yang mengejutkan, kalangan politisi dan aktivis sekalipun sepertinya tidak mengenal adagium-adagium dalam politik santun, bahkan yang paling elementer sekalipun. Lihat saja, tidak ada lagi ungkapan-ungkapan diplomatis dan tata krama politik (political fatsoen) dalam berpolemik di sana! Apalagi polemik antar-purnawirawan TNI/Polri yang terlibat dalam tim sukses setiap kubu terus berlangsung secara sedemikian terbuka, bahkan keras dan panas. Dalam pergumulan politik bellum omnium contra omnes ini semua saling menyerang secara telanjang tanpa dibungkus dengan diksi dan bangunan narasi yang berkeadaban, sebagaimana lazimnya di dunia politik.

Mereka yang menghayati politik akan tahu betul bahwa politik itu lebih sebagai seni (art). Politik itu sering digambarkan laksana Dewa Janus, dewa dalam mitologi Yunani yang memiliki dua wajah: konflik dan konsensus. Dalam politik pastilah ada konflik, bahkan ada yang mengatakan hakikat politik adalah konflik (kekuasaan). Akan tetapi, politik juga menyediakan mekanisme penyelesaian konflik (untuk mencapai konsensus) yang dikemas secara berkeadaban.

Pada masa lalu perebutan kekuasaan dan takhta dilakukan dengan peperangan yang sarat dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Politik demokrasi memberikan mekanisme ”perebutan takhta” secara adil, sehat, dan berkeadaban melalui pemilihan umum. Maka, sangat ironis jika pemilihan umum yang mestinya berkeadaban itu kembali diperlakukan menjadi laksana peperangan perebutan takhta yang keras, kasar, dan brutal seperti masa pramodern dulu.

Kekuatan netral

Situasi ini semakin lebih diperburuk lagi oleh fakta di mana pilar-pilar demokrasi yang merupakan tulang punggung kekuatan masyarakat dicurigai tidak netral secara politik.

Situasi buruk itu faktanya pergi lebih jauh lagi: agamawan, rohaniwan, intelektual, dan last but not least media—benar atau salah—diyakini ikut bermain atau setidaknya diyakini berpihak baik secara eksoterik maupun esoterik. Lembaga dan pranata yang sangat sentral dan strategis seperti agamawan dan tentara yang semestinya netral secara politik agar tetap menjadi reservasi politik (political reservoir) yang menampung kegalauan, kerisauan, dan keresahan publik alih-alih sudah—benar atau salah—dicurigai menjadi partisan secara esoterik.

Berbeda dengan orang-orang parpol yang memang harus berpihak dan partisan, kaum agamawan atau rohaniwan jauh lebih baik bersikap netral. Mereka lebih baik menjadi Begawan Abyasa daripada Mahashi Bhisma. Begawan Abiyasa netral dalam Baratayudha sehingga bisa memosisikan dirinya sebagai tempat mengadu serta menjadi sumber daya moral dan spiritual. Sebaliknya, Bhisma terlibat aktif dalam perang di pihak Kurawa yang notabene cucunya sendiri, dan malahan menjadi senopati ing ngalogo melawan Pandawa, yang juga cucu-cucunya sendiri pula.

Dalam situasi seperti ini (mumpung kekerasan ini masih berada pada tingkat verbal, diksi, dan narasi), lembaga-lembaga dan kekuatan-kekuatan masyarakat yang memang semestinya netral harus segera melakukan reposisi untuk segera kembali ke jalan yang benar. Jangan semua turun gunung menjadi kesatria yang ikut berperang untuk ikut berebut takhta.

Harus ada kekuatan yang bertindak sebagai penyejuk suasana. Biarkanlah kampanye pemilu dan pilpres diurus oleh politisi profesional. Bukankah pasangan capres dan cawapres yang ada pun dimunculkan oleh partai-partai politik juga?

Wajar dan memang sudah semestinya mereka berpihak dan melakukan pergumulan di sana, toh semua itu memang maunya mereka. Maka, sudah sewajarnya jika mereka pula yang harus bertanggung jawab: janganlah melibatkan pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang memang semestinya netral secara politik praktis.

Manis, bukan? Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar