Jumat, 27 Juni 2014

Politik dan Literasi

Politik dan Literasi

Setyaningsih  ;   Penulis, Tinggal di Solo, Bergiat di Bilik Literasi Solo
JAWA POS, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
POLITIK bukan sekadar kata-kata berisik atau suatu keberadaan yang meledak-ledak. Politik juga membutuhkan lirih yang terkadang harus ditemui dalam lembar-lembar agenda berliterasi. Membaca dan menulis menjadi jalan membagikan keraguan serta gugatan. Hidup dengan tanda tanya menjadi bekal melakukan penjelajahan menuju kebenaran. Politik yang terkadang brutal dan menghadapkan nasib di tahanan bisa teredam oleh pembiasaan olah pikir dan rasa.

Laku berpolitik dan berliterasi pernah dijalani Soekarno, meski dalam derita tahanan. Saat itu Soekarno mengalami masa pembuangan di Flores. Dalam buku Soekarno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) garapan Cindy Adams, Soekarno mengatakan, ’’Di samping kekosongan kerdja, kesepian dan ketiadaan kawan aku djuga menderita suasana tertekan jang hebat sekali. Flores adalah puntjak penganiajaan pada hari-hari pertama itu.’’

Soekarno menghendaki terang dengan mulai menulis cerita sandiwara sebagai pengisi kekosongan. Dua belas drama selesai mulai 1934 hingga 1938. Soekarno membuat perkumpulan Sandiwara Kelimutu. Hanya ada satu naskah dan dibacakan Soekarno secara sukarela pada setiap peran dan pemain. Naskah itu terucap berulang-ulang. Literasi menjadi penghibur kolektif.

Pada 1935, Sjahrir pun masih berliterasi di pembuangannya di Tanah Merah, Boven Digoel. Burhanuddin, kawan Sjahrir, merekam ingatan dalam tulisan yang dihimpun dalam buku Mengenang Sjahrir (2010). Ketika tidak berkumpul dengan kawan-kawan, Sjahrir mengisi waktu dengan membaca dan menulis. Hatta menjadi penyedia buku dan bacaan. Pewarta Deli serta Suara Umum yang dikirim dari Medan dan Surabaya menjadi jalan mengetahui berita di tanah air dan luar negeri. Tanah Merah menjadi tanah melimpah kata-kata. Tulisan mampu menghidupkan waktu.

Sebulan sekali Sjahrir melanjutkan kebiasaan menulis surat ke negeri Belanda. Kebiasaan itu dilakukannya sejak memimpin PNI di Bandung dan selama menjadi tahanan di Cipinang. Surat-surat tersebut akhirnya menjadi buku Indonesische Overpeinzinger atas inisiatif adiknya, Sjahsam, dan kawan-kawan di negeri Belanda. Burhanuddin mengenang, ’’Semasa di Digoel, Sjahrir juga suka membacakan beberapa bagian surat-suratnya yang bersangkutan dengan politik dan umum pada saya, mungkin ia ingin agar saya gunakan sebagai penambah pengetahuan.’’

Etos

Masa-masa berliterasi yang heroik juga dialami Tan Malaka. Dia bergerak bersama kata dalam penyamaran, pelarian, pengejaran, dan kemiskinan. Krisis ruang sering dialami Tan, tapi dia tidak mau gagal membawa kata di dalam tubuh. Kita bisa membaca kesaksian Tan dalam buku Dari Pendjara ke Pendjara (jilid II). Buku itu menjadi dokumentasi peristiwa Tan bertualang, berpolitik, dan berliterasi. Harapan dan keinginan membaca serta menulis itu tetap dilakoni dalam kondisi serba berbahaya.

Ada masa ketika Tan menyewa tempat singgah di Rawajati, Kalibata, Jakarta. Dia menjalani hidup murah. Tidak kurang dari tiga kali dalam seminggu, Tan pergi ke perpustakaan (Museum Nasional) di Jakarta untuk membaca buku-buku dan surat kabar. Setelah melihat keadaan kota, dia akan kembali ke tempat sewaan. Tan adalah risalah pertaruhan nasib tiada akhir. Tan mengatakan, ’’Demikianlah saja pertukarkan menulis dan membatja, bekerdja dan berdjalan, bertjakap2 dan merenungkan pertjakapan itu lebih dari pada setahun lamanja ditengah2 masjarakat jang bergelora…’’

Dalam pembukaan buku Madilog, Tan berkata, ’’Ringkasnya walaupun saya tiada berpustaka, walaupun buku-buku saya terlantar cerai-berai dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan Hindia, atau dalam tebat di muka rumah tuan Tan King Cang di Upper Seranggoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya kehilangan ’isinya’ buku-buku yang berarti.’’ Tan adalah tubuh yang mengingat. Tan memang tidak bisa memiliki ruang dalam bentuk fisik untuk menyimpan bukunya, tapi dia memiliki ruang di dalam tubuh untuk berliterasi.

Dalam debat capres dan jagat perpolitikan Indonesia, kita sulit menemukan gelagat berliterasi di tubuh para politikus. Kita hanya menemukan para politikus, pimpinan partai, dan dewan penasihat partai duduk takzim menjadi tim sorak dan tepuk tangan bagi dua calon presiden dan dua calon wakil presiden. Program kerja calon presiden pun masih menyangkut cara memberi makan perut jutaan orang, belum memberi makan pengetahuan melimpah jutaan pikiran dan batin.

Persiapan sebelum debat calon presiden mengesankan persiapan tiba-tiba: mengundang para ahli, mendatangkan orang penting, bahkan melakukan simulasi debat. Itu mengesankan kesulitan mendapat asupan wacana dari buku-buku atau menjadikan literasi sebagai bekal berpolitik. Wah, apakah calon presiden terlalu sibuk sampai harus melupakan buku atau belum memiliki laku berbuku bahkan sebelum mereka bermimpi menjadi penguasa?

Kita patut merasa bahwa politisi Indonesia saat ini tidak ingin mendapat kehormatan literasi sejajar dengan Soekarno, Sjahrir, atau Tan Malaka. Mereka belum ingin berjalan bersama literasi yang telah dilakoni para pendahulu. Mereka belum sanggup meneruskan tradisi berliterasi sebagai penentu etos berpikir, mengolah rasa, memahami konflik, atau memaknai prasangka demi membawa Indonesia menuju jalan terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar