Jumat, 27 Juni 2014

Politik Praktis Penyelenggara Negara

Politik Praktis Penyelenggara Negara

Reza Syawawi  ;   Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International - Indonesia
TEMPO.CO, 25 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden mulai memunculkan friksi negatif di antara penyelenggara negara. Masuknya beberapa penyelenggara negara aktif dalam tim pemenangan calon tertentu, mulai dari bupati/wali kota/gubernur, menteri, hingga anggota badan negara independen (BPK), telah mengundang beragam reaksi.

Dalam hal ini, presiden bahkan menyarankan agar penyelenggara negara aktif mengajukan pengunduran diri sesuai dengan ketentuan. Untuk melihat keterlibatan penyelenggara negara dalam pilpres, dapat mengkajinya baik dalam perspektif hukum maupun etik (kode etik).

Undang-undang sama sekali tidak mengatur secara spesifik bahwa pejabat negara setingkat presiden, wakil presiden, menteri, atau kepala daerah masuk dalam tim kampanye resmi yang didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Frasa dalam undang-undang hanya menyebutkan tentang "mengikutsertakan" dalam kampanye. Artinya lebih mengarah ke pelibatan mereka dalam kegiatan kampanye, bukan dalam konteks pencantumannya dalam tim kampanye resmi.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara juga tidak diatur mengenai hal ini, apalagi bagi presiden dan wakil presiden. Sepertinya, undang-undang luput untuk mengatur hal ini, setidaknya dalam Undang-Undang Pilpres. Padahal pembatasan semacam ini begitu penting untuk menciptakan prinsip fairness dalam penyelenggaraan pemilu.

Pada sisi lain, undang-undang mencoba membatasi penggunaan kebijakan oleh penyelenggara negara, termasuk bagi kepala desa. Dalam masa kampanye, pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa atau sebutan lain dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Selain itu, ada larangan untuk mengadakan kegiatan yang mengarah ke keberpihakan, baik dalam bentuk pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, maupun pemberian barang kepada pegawai negeri di lingkungan unit kerjanya, keluarga, dan masyarakat yang dilakukan baik sebelum, selama, maupun sesudah masa kampanye. Larangan ini patut menjadi perhatian bagi semua pihak, baik pengawas pemilu, penegak hukum, maupun masyarakat. Ada sanksi pidana penjara dan denda yang bisa dijatuhkan jika pejabat atau penyelenggara negara melanggar larangan tersebut (Pasal 211-212 UU Pilpres).

Kelemahan pengaturan yang membatasi penggunaan kewenangan pejabat negara dalam kegiatan politik praktis mesti disiasati dengan mengawasi setiap kebijakan atau tindakan yang mereka lakukan. Sebab, di situlah potensi penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan yang akan menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu.

Presiden sebetulnya memiliki kuasa yang lebih besar untuk meminimalkan potensi penggunaan kewenangan ini untuk kegiatan politik. Namun, sayangnya, presiden sendiri terjebak dalam dualisme jabatan yang diembannya, baik sebagai pengurus partai politik maupun sebagai presiden. Maka, agak sulit untuk berharap presiden akan mengambil tindakan preventif minimal terhadap para pembantunya (menteri) dalam kaitan dengan potensi terjadinya kejahatan (pidana) pemilu di atas.

Ihwal keterlibatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ali Masykur Musa, dalam tim pemenangan calon tertentu ini juga luput dari pengaturan dalam Undang-Undang Pilpres. Undang-undang hanya memberikan larangan bagi pelaksana kampanye untuk mengikutsertakan anggota BPK dalam kegiatan kampanye.

Perbuatan ini dapat menjerat pelaksana kampanye dan anggota BPK sebagai pelaku kejahatan atau pidana pemilu yang diancam pidana penjara dan denda (pasal 216 - 217 UU Pilpres). Tetapi pengaturan ini memiliki kelemahan mendasar, bahwa perbuatan ini hanya berlaku dalam kegiatan kampanye. Tidak ada larangan jika itu dilakukan baik sebelum maupun sesudah masa kampanye. Padahal ini justru diberlakukan terhadap penyelenggara atau pejabat negara yang lain (Pasal 44 UU Pilpres).

Jika sanksi pidana tidak dimungkinkan karena tak diatur dalam Undang-Undang Pilpres, sanksi etik masih terbuka lebar mengingat perbuatan ini telah mendegradasi keberadaan BPK sebagai lembaga negara yang independen. Ada ketentuan etik yang dilanggar karena terlibat secara langsung dalam kegiatan politik praktis.

Menurut Peraturan BPK Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kode Etik BPK pada pasal 6 ayat (2) huruf (a), anggota BPK dilarang menunjukkan keberpihakan dan dukungan kepada kegiatan-kegiatan politik praktis. Maka, berdasarkan hal ini, tidak ada alasan bagi Majelis Kehormatan Kode Etik BPK untuk tidak menyidangkan yang bersangkutan karena diduga telah melanggar kode etik.

Ke depan, sebaiknya ada pengaturan yang lebih komprehensif untuk mengatur seluruh penyelenggara negara dalam kegiatan politik praktis. Sanksi pidana dan etik perlu diberlakukan agar potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik bisa diminimalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar