Sabtu, 28 Juni 2014

Tantangan Kemandirian Pangan

Tantangan Kemandirian Pangan

Ali Khomsan  ;   Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
KORAN SINDO, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Presiden baru di negeri ini diharapkan mampu mewujudkan kemandirian pangan karena dengan sumber daya alam yang melimpah seharusnya kita mampu memberi makan 250 juta penduduk tanpa harus banyak mengandalkan impor.

Oleh sebab itu, presiden baru harus mempunyai visi jangka panjang yang jelas tentang bagaimana kita akan membangun pertanian dan sekaligus mengendalikan impor pangan. Kemandirian pangan menurut UU No 18/2012 tentang Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ke tingkat perseorangan dengan memanfaatkan sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Pangan identik dengan pertanian. Namun sebagai negeri agraris, penyediaan pangan bangsa kita selalu dibayangi impor berbagai komoditi pangan. Penyediaan pangan rakyat membutuhkan kebijakan pertanian yang berpihak petani. Salah kebijakan, maka korbannya adalah pertaruhan nasib jutaan petani. Mereka akan semakin terpuruk ke jurang kemiskinan. Keberdayaan petani, daya saing produk, dan kelestarian lingkungan adalah paradigma baru pertanian di abad ke-21.

Daya saing produk pertanian harus selalu diperbaiki. Lembagalembaga riset pertanian di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak dan setiap tahun menyerap anggaran cukup besar jangan hanya menjadi macan kertas. Hasil riset yang hanya ditumpuk-tumpuk menjadi laporan atau makalah seminar, tidak akan pernah menyejahterakan petani Indonesia. Pertanian ramah lingkungan harus lebih digalakkan. Kita hidup bukan hanya untuk diri kita saat ini, tetapi juga untuk anakcucu kita di tahun-tahun mendatang. Rusaknya lingkungan berarti hancurnya kehidupan di masa datang, dan generasi saat ini akan terus dikutuk apabila kita tidak berusaha menerapkan cara hidup yang lebih bersahabat terhadap lingkungan.

Negara-negara lain banyak yang hidup makmur karena memiliki sistem pertanian yang kuat. Negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Tiongkok, dan Vietnam dapat berjaya dengan produk pertaniannya, mengapa kita tidak? Amerika sebagai negara industri maju tidak pernah meninggalkan pertaniannya, hingga kini negara tersebut tetap menjadi eksportir pangan-pangan utama ke berbagai negara. Sektor pertanian adalah andalan bangsa kita, oleh sebab itu ciptakan kemakmuran bangsa melalui pembangunan pertanian yang tepat.

Rendahnya produktivitas petani kita adalah konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi, pembangunan infrastruktur yang terbengkelai dll. Pembangunan pertanian harus dirancang dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani. Perlindungan kepada petani harus ditingkatkan. Amerika Serikat contohnya, telah mengeluarkan Agricultural Adjustment Act tahun 1933 sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap keunikan pertanian.

Demikian pula dengan Jepang. Jadi, negara-negara maju yang mengandalkan sektor industri, juga sangat melindungi petani dan pertaniannya. Pandangan yang menyatakan Indonesia memerlukan t ransfor - masi yang mengubah pertanian dan perdesaan yang “bersifat tradisional”, menjadi pertanian dan perdesaan yang “berbudaya industri” perlu diamini. Berbudaya industri antara lain dicirikan oleh (1) produk yang berstandar dan berkualitas, (2) tepat waktu dalam pasokanproduk, (3) sedikit ketergantungan terhadap lingkungan dalam proses produksi, (4) sistem permodalan yang kuat, dan (5) sistem manajemen yang akuntabel.

Kendala-kendala di bidang pertanian untuk meningkatkan produksi pangan sangat banyak. Peningkatan jumlah penduduk dengan segala aktivitas ekonominya akan semakin menyedot produk-produk pertanian. Semakin banyak penduduk semakin tinggi kebutuhan akan beras, dan semakin sejahtera masyarakat maka tuntutan untuk mendapatkan pangan berkualitas juga semakin meningkat. Di lain sisi, sektor pertanian harus mengantisipasi berlanjutnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian serta menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan.

Ketersediaan air untuk menunjang produksi pertanian semakin terbatas akibat kerusakan hutan dan keringnya embung. Selain itu, persoalan air berlanjut karena persaingan dengan industri dan pemukiman serta ketidakpastian iklim. Kalau saat ini kita mencari lumbung pangan desa, maka mungkin hanya ditemui di pemukiman Badui, Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi dan masyarakat tradisional lainnya. Hampir setiap rumah di suku Badui dan Kasepuhan Ciptagelar menyediakan leuit (lumbung pangan). Di masyarakat pertanian kita keberadaan lumbung pangan desa sudah sejak lama memudar.

Perlu revitalisasi lumbung pangan, yang pengertiannya bukan sekedar tempat menyimpan hasil pertanian, tetapi juga menjadi lembaga keuangan pertanian atau penyedia input produksi pertanian. Hal ini akan bermanfaat untuk menyingkirkan peran tengkulak atau bahkan rentenir. Sebagai negara agraris, sering kali kita termanjakan oleh kesuburan Pulau Jawa sehingga lupa untuk menjadikan pulau-pulau lain di luar Jawa sebagai lumbung pangan. Pengabaian pembangunan pertanian di luar Jawa ini dapat berdampak serius manakala daya dukung Pulau Jawa sebagai lumbung pangan semakin menurun akibat industrialisasi yang juga terpusat di Jawa.

Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencarian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran. Pemikiran agar lahan-lahan tidur segera dimanfaatkan harus menjadi program nyata presiden baruyangakandatang. Pemindahan hak atas lahan mungkin tidak perlu dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah petani diberi hak garap sehingga lahan-lahan tidur.

Kita semua menyadari keguraman petani Indonesia. Pemilikan lahan yang sangat sempit menyulitkan mereka untuk berproduksi secara maksimal. Namun, selama ini rasanya tidak ada langkah konkret untuk segera memperbaiki keadaan. Petani gurem tetap saja menjadi gurem selama bertahun-tahun. Kini tiba saatnya dilakukan perbaikan nasib petani dengan mengatur kembali pemanfaatan lahan tidur. Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran untuk mendukung produksi pangan atau pertanian akan dapat menekan biaya pangan.

Sebenarnya produktivitas pangan negara kita sama saja dengan negara-negara lain. Namun, petani di negara lain menikmati sarana prasarana yang lebih baik untuk mendukung kehidupan pertaniannya. Ini yang menyebabkan mereka dapat bertani secara lebih efisien. Pembangunan sarana jalan, misalnya, akan sangat membantu keancaran distribusi produkproduk pertanian. Demikian pula pembangunan irigasi mutlak mendapat prioritas karena banyak di antaranya yang merupakan peninggalan Belanda dan oleh sebab itu harus dilakukan perbaikan.

Petani tidak bisa hidup tenteram karena kemelaratan, pegawai negeri tidak dihormati karena korupsi, dan pedagang pun banyak yang bangkrut karena produknya tak mampu bersaing dengan produk impor. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris, ternyata tidak pernah meraih kemakmuran dari bidang pertanian. Kemandirian pangan mendesak untuk segera diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar