Jumat, 27 Juni 2014

Visi-Misi Lingkungan Calon Presiden

Visi-Misi Lingkungan Calon Presiden

Handa Abidin  ;   Ahli Hukum Perubahan Iklim Internasional
KOMPAS, 26 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PERDANA Menteri Tony Abbott segera membubarkan Climate Commission pada bulan yang sama ketika Abbott dilantik menjadi Perdana Menteri Australia pada September 2013. Padahal, Climate Commission memiliki peran penting dalam memberikan informasi tepercaya mengenai permasalahan perubahan iklim kepada masyarakat Australia. Sikap Abbott terhadap persoalan perubahan iklim jelas: Abbott tidak pro dalam penanganan masalah perubahan iklim.

Beberapa hari lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memublikasikan visi, misi, serta program Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa secara online (Kompas, 22/5). Bagaimana mereka menyikapi masalah perubahan iklim?

Visi-misi dan program

Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta tidak menyinggung masalah perubahan iklim dalam visi ataupun misinya. Namun, mereka sama-sama mengemukakan sikapnya terhadap permasalahan perubahan iklim secara eksplisit di dalam programnya walau hal tersebut hanya dijelaskan secara umum.

Di dalam agenda strategis bidang politik milik Jokowi-JK, misalnya, dikatakan keinginan meningkatkan kerja sama internasional di bidang perubahan iklim. Jokowi-JK juga memiliki komitmen merancang masalah perubahan iklim dari aspek keekonomian nasional—bukan hanya dari aspek lingkungan. Hal ini tertulis di dalam agenda strategis bidang ekonomi Jokowi-JK.

Secara tidak langsung, Jokowi-JK juga menawarkan program yang pro penanganan perubahan iklim. Misalnya, dalam sektor kehutanan, Jokowi-JK ingin melestarikan hutan dengan mencegah dan memberantas penebangan liar. Jokowi-JK juga ingin melakukan rehabilitasi 100,7 juta hektar areal tidak berhutan, hutan tidak produktif, dan lahan kritis. Penting diketahui bahwa hutan memiliki peran yang sangat penting bagi alur karbon secara global dan dapat memainkan peran signifikan dalam menangani bahaya perubahan iklim.

Selain itu, Jokowi-JK juga menawarkan program kreatif berupa insentif dan disinsentif untuk mendorong terciptanya rumah tangga ”hijau” yang peduli lingkungan hidup.

Prabowo-Hatta hanya satu kali secara eksplisit menyinggung masalah perubahan iklim. Prabowo-Hatta ingin agar Indonesia berperan aktif mengatasi perubahan iklim global, tetapi harus tetap diseimbangkan dengan keadaan Indonesia. Di bidang kehutanan, Prabowo-Hatta berkeinginan melestarikan hutan dan melakukan reboisasi 77 juta hektar hutan yang rusak.

Harapan

Terdapat sejumlah harapan terkait dengan komitmen calon presiden dan calon wakil presiden terhadap persoalan perubahan iklim. Pertama, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta selain menyinggung masalah perubahan iklim, juga banyak membahas masalah pembangunan dalam program kerjanya. Misalnya, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta sama-sama ingin membangun jalan baru, rel kereta api baru, dan pembangkit listrik baru.

Populasi Indonesia yang semakin gemuk dan masih banyak masyarakat yang belum merasakan nikmatnya pembangunan di daerahnya membuat program pembangunan sulit dihindarkan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah pembangunan harus dijalani dengan berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kebutuhan dari generasi akan datang (WCED, 1987).

Dalam konteks perubahan iklim, pembangunan harus berkonsep rendah karbon. Pembangunan tinggi karbon harus mulai ditinggalkan karena pada akhirnya hanya akan merugikan Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya.

Kegiatan pembangunan juga harus sejalan dengan tujuan utama dari rezim Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), yaitu terciptanya stabilitas konsentrasi gas rumah kaca yang tidak membahayakan umat manusia. Konsep ini harus ditanamkan secara mendalam pada visi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, disebutkan secara eksplisit di misi dan dijabarkan dengan jelas dalam program kerja mereka.

Kedua, siapa pun yang terpilih menjadi presiden dan wakil presiden yang akan datang harus melanjutkan hal positif yang telah dilaksanakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan berupaya untuk memperbaiki kekurangannya. Misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mendirikan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Badan Pengelola REDD-Plus, dan juga menciptakan jabatan staf khusus presiden bidang perubahan iklim. Badan dan jabatan ini tidak boleh dibubarkan atau dihapus.

Presiden dan wakil presiden mendatang perlu memaksimalkan peran DNPI dalam mengurus koordinasi penanganan perubahan iklim di Indonesia. DNPI juga harus dapat semakin memperkuat posisi tawar Indonesia di arena negosiasi perubahan iklim global sehingga, antara lain, dapat membuat Indonesia menerima dana hibah dalam jumlah signifikan dari negara maju.

Badan Pengelola REDD-Plus harus segera berjalan dengan mandiri dan tidak lagi membebankan tugasnya pada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Staf khusus presiden bidang perubahan iklim yang akan datang harus selalu sigap membantu presiden yang akan terpilih nanti dalam menghadapi berbagai masalah yang dapat dikaitkan dengan perubahan iklim. Jabatan staf khusus wakil presiden bidang perubahan iklim juga perlu segera dibuat agar wakil presiden yang akan datang dapat seirama dengan presiden mendatang dalam menghadapi persoalan perubahan iklim.

Presiden yang akan datang diharapkan dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim kepada DPR dengan segera. Hadirnya Undang-Undang tentang Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim diharapkan akan membuat penanganan masalah perubahan iklim di Indonesia semakin kuat dan terkoordinasi dengan baik.

Ketiga, pemerintahan yang akan datang harus mendukung agenda penanganan perubahan iklim global, khususnya pada lingkup rezim UNFCCC. Pemerintahan mendatang juga perlu berkontribusi dalam merancang produk hukum mengenai penurunan emisi dari semua negara yang rencananya akan dilaksanakan pada 2020 dan disepakati pada pertemuan Konferensi Para Pihak (COP) ke-21 pada 2015 nanti.

Diharapkan, paling tidak pemerintahan yang akan datang dapat mendorong percepatan tahun pelaksanaan penurunan emisi global ini menjadi, misalnya, paling lambat mulai 2016, bukan 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar