Kamis, 24 Juli 2014

Cara Kembali Memaknai Lebaran

                            Cara Kembali Memaknai Lebaran

Chusmeru  ;   Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
SUARA MERDEKA, 21 Juli 2014
                                                


"Diperlukan pemaknaan kembali Lebaran, baik dalam perspektif komunikasi maupun sosial budaya"

LEBARAN bagi masyarakat Indonesia sarat dengan tradisi dan budaya. Seremoni perayaan Idul Fitri terasa begitu kental. Meski Ramadan baru dimulai, nuansa Lebaran sudah mulai terasa. Harga kebutuhan pokok melonjak. Tiket bus dan kereta api Lebaran pun ludes terjual jauh sebelum hari H.

Lebaran dalam perspektif komunikasi selalu kontekstual dengan lingkup sosial budaya masyarakat Indonesia. Teknologi komunikasi dan informasi telah menjadi bagian dari peradaban masyarakat. Telepon seluler, teknologi 3G, BBM, dan short message service (SMS) sudah akrab bagi masyarakat. Pesan singkat itu bahkan telah menggeser peran kartu Lebaran yang dahulu dikirim lewat jasa pos.

Meski demikian komunikasi sosial dan interpersonal dalam momentum Hari Raya ternyata tidak mudah tergantikan oleh komunikasi bermedia. Kehadiran personal secara fisik di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat saat Idul Fitri masih dianggap penting.

Berdesak-desakan mudik, terjebak kemacetan dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, dan tradisi bersalam-salaman tetap saja jadi bagian dari ritual berkait Hari Kemenangan. Lebaran lebih menjadi momentum komunikasi sosial dan interpersonal ketimbang momentum intrapersonal-transendental berupa kontemplasi dan introspeksi untuk kembali ke fitrah.

Konteks fisik dan sosial dalam Lebaran tidak lepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang atributif. Masyarakat atributif sangat menghargai simbol, lambang, atau atribut sebagai penanda status dan posisi sosial seseorang. Tidak heran, menjelang Lebaran tiba segala hal yang berkaitan dengan atribut itu harus disiapkan.

Pagar rumah dicat, baju baru disiapkan, jajanan, opor ayam, ketupat, dan segala atribut Bakda menandai ”kesiapan” sosial seseorang menyambut Lebaran. Tanpa atribut tersebut, orang akan merasa dianggap tidak siap berlebaran.
Visualisasi atribut dipandang penting dalam konteks komunikasi Lebaran. Mudik dijadikan momentum kebanggaan bagi seseorang untuk menunjukkan perkembangan atribut yang berhasil dicapainya di tempat lain.

Orang akan dianggap berhasil secara sosial jika saat Lebaran pulang kampung dengan mobil baru atau bercerita tentang jabatan baru. Puncak kenikmatan berpuasa bukan pada perasaan haru saat shalat Id melainkan justru pada ‘’keriangan’’ di tengah kemacetan arus mudik. Tanpa atribut seremoni Lebaran dan atribut kebaruan, seseorang masih dipandang belum berhasil.

Memaknai Lebaran

Memang tidak serta merta salah dari tradisi dan seremoni Idul Fitri yang sudah berlangsung sejak dahulu itu. Mudik Lebaran bisa menjadi upaya continuum sosial kultural ketika seseorang merantau ke lain daerah sehingga orang tidak tercerabut dari akar budayanya. Tradisi mudik juga dapat berfungsi membangun soliditas, kohesivitas, sekaligus solidaritas sosial seseorang dengan daerah asalnya.

Tradisi Lebaran akan menjadi bermasalah ketika seremoni atributif lebih dihargai ketimbang substansi religiositas Idul Fitri. Lebaran akan hanya menjadi tradisi tanpa makna saat ekses yang ditimbulkan dari mudik dan atribut kebaruan tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kadar religiositas seseorang.

Nilai sosial kultural Hari Raya dipandang lebih penting dibanding nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Sungguh ironis andai ‘’hanya’’ demi berlebaran misalnya, seseorang harus melakukan tindak kriminal karena tidak punya ”modal” untuk mudik. Alih-alih berkumpul bersama sanak saudara di kampung, malah mendekam di balik jeruji besi. Lebaran menjadi tidak afdal bagi seorang pegawai jika tanpa parsel atau bingkisan untuk pejabat di atasnya. Meski untuk itu dia harus melakukan korupsi kecil-kecilan.

Mengubah tradisi Lebaran yang sudah mengakar di tengah masyarakat tidaklah mudah. Bukan saja kita akan dianggap ”tidak sosial” melainkan juga berisiko dinilai kurang, bahkan tidak menghargai orang tua, keluarga, dan tidak paham makna Idul Fitri. Pemaknaan Lebaran lantas diukur dari kacamata sosial, bukan perspektif komunikasi intrapersonaltransendental seseorang dengan Sang Khalik.

Diperlukan pemaknaan kembali Lebaran, baik dalam perspektif komunikasi maupun sosial budaya. Substansi Idul Fitri semestinya lebih menjadi acuan ketimbang seremoni tradisi Lebaran. Kualitas komunikasi intrapersonal-transendental harus dijadikan indikator keberhasilan seseorang sejak Ramadan hingga Lebaran, dan bukan kebaruan yang atributif semata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar