Sabtu, 26 Juli 2014

Catatan Hari Anak Nasional

                                     Catatan Hari Anak Nasional

Natasya Evalyne Sitorus  ;   Manajer Advokasi dan Psikososial Lentera Anak Pelangi
KORAN TEMPO, 24 Juli 2014
                                                


Tangis tak berkesudahan kembali pecah di Palestina pada awal Juli lalu. Serangan udara Israel memporak-porandakan permukiman sipil di Jalur Gaza. Setidaknya 32 anak tewas dalam sepekan pertama. Hingga kini 76 anak menjadi korban. Dunia turut menangisi kepergian anak-anak tak berdosa itu. Kabar duka disiarkan di hampir semua stasiun televisi, dimuat di nyaris semua media cetak, dan disebarkan melalui media-media sosial.

Di Indonesia, bendera Palestina dikibarkan dan pita hitam tanda duka diikat di lengan para pemuda yang berteriak di bawah Patung Selamat Datang, Jakarta. Kematian anak-anak Palestina itu telah membuat muram peringatan Hari Anak Nasional, kemarin.

Namun tangis juga pecah di rumah Alika pada Kamis pekan lalu. Kontrakan kecil di ujung gang sempit di sebuah jalan di Pisangan, Jakarta Timur, itu menjadi saksi perjuangan Alika melawan virus HIV, yang akhirnya merenggut nyawanya. Alika baru saja melewati ulang tahunnya yang ketiga pada Maret lalu. Untuk Alika, tak satu pun stasiun televisi atau media cetak mengabarkan kepergiannya. Satu-satunya yang mendokumentasikan kematian Alika hanya selembar surat kematian dari rumah sakit dan empat bendera kuning sepanjang jalan menuju rumahnya. Seusai zuhur, satu unit Metro Mini dan Mikrolet yang mengangkut para kerabat mengantarkan Alika ke peristirahatannya yang terakhir, TPU Budi Dharma Cilincing, tepat di sebelah makam ayahnya. Tapi siapakah Alika; siapakah anak-anak Palestina itu-apakah kita mengenalnya?

Faktanya, banyak orang menjadi sangat responsif atas apa yang terjadi pada anak-anak nun jauh di negeri Timur Tengah, tapi tak satu pun yang mengikatkan pita hitam di lengannya atas kematian Alika. Abdul, seorang pemuda yang ikut melambai-lambaikan bendera Palestina di Bundaran Hotel Indonesia, tinggal tak jauh dari rumah Alika. Tapi ia tak mengenal Alika. Berita tentang anak yang meninggal karena HIV di dekat rumahnya hanya didengarnya secara tak sengaja, saat mampir di puskesmas mengambil obat batuk. Abdul cuma terdiam ketika menyadari bahwa Alika tinggal dekat dari rumahnya. Adapun untuk 32 anak yang tewas di Palestina, ia bersikap. "Anak-anak itu tidak berdosa! Serangan Israel itu harus dikutuk!" kata Abdul kepada penulis.

Alika bukan satu-satunya anak yang meninggal karena HIV tahun ini di Jakarta. Lentera Anak Pelangi yang bergiat dalam pendampingan anak-anak dengan HIV dan AIDS di Jakarta mencatat dua anak dampingannya meninggal pada tahun ini atau menjadi 15 anak sejak 2009. Jumlahnya memang hanya separuh dari anak-anak yang tewas dalam satu minggu di Palestina. Tapi, 15, 12, 7, bahkan 1 anak pun adalah anak-anak Indonesia. Bukankah setiap nyawa seharusnya berharga dan layak diperjuangkan? Lagi pula, masih ada ribuan anak dengan HIV di Indonesia. Yang sudah tercatat sejumlah 3.408. Mengikuti fenomena gunung es, diperkirakan jumlah anak pengidap virus perampas kekebalan ini lebih banyak lagi.

Peringatan Hari Anak Nasional hendaknya mengingatkan kita akan hak setiap anak Indonesia tanpa kecuali, termasuk anak pengidap HIV. Bukankah tujuan penetapan hari anak nasional salah satunya adalah untuk selalu mengingatkan kita akan hak-hak mereka? Dimulai dengan memberikan apa yang seharusnya mereka peroleh pada peringatan Hari Anak, mereka lalu mendapatkan semua hak dan kebutuhannya itu sepanjang tahun. Peringatan Hari Anak akhirnya hanya menjadi pengingat.

Tidak boleh ada diskriminasi terhadap anak-anak pengidap HIV dibanding anak-anak lainnya. Hak-hak mereka dan kebutuhannya harus dipenuhi. Anak-anak dengan HIV saat ini sudah memiliki akses terhadap obat antiretroviral (ARV) yang diperlukan untuk menekan laju perkembangan virus HIV. Dengan obat ini, angka harapan hidup mereka bisa meningkat. Tapi anak-anak ini tak sekadar membutuhkan ARV, tapi juga pelayanan kesehatan yang lebih baik di rumah sakit. Bukan itu saja, mereka masih harus berjuang untuk mendapatkan kasih sayang, penerimaan, dan dukungan dari keluarga dan masyarakat.

Mereka harus diterima di lingkungan sekolah tanpa ada diskriminasi. Mereka layak bermain bersama anak-anak lain di depan rumah. Bahkan mereka seharusnya layak dicegah untuk terinfeksi HIV dari orang tuanya. Program pencegahan penularan HIV dari orang tua kepada anak sudah masuk dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014. Tapi masih banyak anak yang terlahir dengan HIV, baik karena kurangnya sosialisasi dan pelayanan yang sulit dijangkau, ataupun karena kurangnya kesadaran masyarakat, terutama ibu hamil, dalam mengakses layanan ini.

Membiarkan anak-anak pengidap HIV kehilangan haknya sebagai anak adalah hal yang tidak bisa dikompromikan. Tanggung jawab untuk menjamin anak-anak itu memperoleh haknya bukan hanya ada pada negara, tapi juga pada semua lapisan masyarakat. Belajarlah dari hidup Alika. "Semasa hidupnya Alika tidak pernah merasakan enak. Selalu susah, selalu sakit, bahkan ibunya tak mau mengurusinya. Semoga Alika sudah tenang sekarang," ujar neneknya kepada penulis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar