Rabu, 23 Juli 2014

Indonesia Tak Akan Rusuh

                                       Indonesia Tak Akan Rusuh

Eep Saefulloh Fatah  ;   Pendiri dan Pimpinan PolMark Indonesia,
Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing
KOMPAS,  22 Juli 2014
                                                


SEBULAN terakhir masa kampanye, saya kerap bersua kecemasan bahwa penghitungan suara Pemilu Presiden 2014 akan berbuah rusuh.

Inilah respons spontan saya waktu itu: jangan mudah terprovokasi. Bukan orang lain yang akan menentukan Indonesia rusuh atau damai, melainkan kita.

Jangan jadikan kecemasan itu sebagai sumber ketakutan yang membuat kita batal datang ke tempat pemungutan suara atau urung memilih salah satu pasangan kandidat. Justru buktikan bahwa kita bukan bangsa yang suka rusuh.

Hari pencoblosan sudah lewat. Jawaban itu tak lagi memadai. Diperlukan jawaban yang lebih kontekstual dan terperinci. Namun, pokok argumen saya tak berubah: Indonesia tidak akan rusuh. Untuk itu, izinkan saya menjelaskan pokok argumen ini, yang bisa dijelaskan lebih lanjut dengan dua ”teori dasar”. Pertama, teori kepentingan yang menyempit. Kedua, sebagai konsekuensinya, teori kemarahan yang menyempit.

Kepentingan menyempit

Bagi publik luas, yaitu kita para pemilih, hari pencoblosan adalah pemuncak alias klimaks. Pada hari-H ini, 9 Juli 2014, energi emosi kita mengumpul setelah menjalani bulan-bulan persiapan dan masa kampanye yang menguras energi dan melelahkan.

Syukurlah bahwa dalam konteks demokrasi Indonesia yang berskala besar, kita punya perlengkapan ilmu statistik canggih bernama ”hitung cepat” (quick qount). Menjelang petang, hasil hitung cepat itu sudah tersaji.

Sebagaimana terbukti dalam Pilpres 2004 dan Pilpres 2009, hitung cepat sukses memproyeksikan dengan baik hasil pemilu, jauh mendahului penghitungan manual berjenjang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maka, berkat hitung cepat, hari-H pun jadi semakin sakral: kita mencoblos sambil menanti hasilnya nyaris seketika.

Pada hari yang sakral itulah terjadi ”ledakan emosi” yang bukan hanya ”menyatukan” kita dalam identitas pemilih-penentu, melainkan juga ”memecah” kita menjadi beragam pemangku kepentingan. ”Kita” terpecah menjadi kandidat, tokoh utama partai pengusung, pendonor utama, tim inti pemenangan di pusat, pendukung kandidat paling fanatik, pendukung partai paling fanatik, jaringan berjenjang tim pemenangan di daerah, serta pemilih emosional dan pemilih rasional.

Daftar para pemangku kepentingan itu adalah sebuah gradasi, dari segmen terkecil hingga terbesar. Maka, dua kelompok terakhir, yaitu para pemilih emosional dan rasional, adalah segmen paling besar, meliputi puluhan juta pemilih setiap kandidat.

Pada hari pencoblosan, semua pemangku kepentingan, tanpa kecuali, dipersatukan sebagai warga yang menanti hasil dari proses panjang dan melelahkan yang melibatkan mereka. Namun, segera sesudah hasil hitung cepat tersaji, kepentingan mereka memencar.

Kandidat adalah pihak yang paling berkepentingan dengan hasil Pilpres 2014 dan keseluruhan proses formal yang berjalan selepas hari-H. Intensi mereka untuk memperjuangkan kemenangan tak akan surut sampai titik keringat terakhir dari ikhtiar terakhir yang dimungkinkan oleh sistem demokrasi dan hukum kita. Mereka adalah pemangku kepentingan paling pokok dan berdaya tahan paling panjang.

Sesudah mereka, berderet para tokoh utama partai pengusung, para pendonor utama, dan tim pemenangan di pusat. Ketiganya punya kepentingan sangat langsung berkaitan dengan pemenangan pilpres karena akan menentukan masa depan mereka. Namun, intensi mereka untuk memperjuangkan kemenangan tidak akan sekuat dan sesinambung kandidat.

Sesudah mereka adalah para pendukung fanatik kandidat dan partai pengusung. Mereka berkepentingan untuk menang karena punya ikatan emosional kuat dengan kandidat atau partai. Namun, intensi mereka untuk menjaga kemenangan akan surut sejalan dengan waktu, apalagi ketika daya tahan kandidat dan partai sudah melemah.

Segmen paling raksasa adalah para pemilih, baik yang emosional maupun yang rasional. Pemilih emosional adalah yang melibatkan faktor primordial (ikatan darah, asal daerah, suku bangsa, atau ras dan agama) dalam pilihan mereka. Sementara pemilih rasional cenderung meletakkan primordialisme itu di bawah pertimbangan integritas dan kompetensi figur dan atau rencana kerja kandidat.

Kepentingan pemilih emosional akan kemenangan kandidat pilihannya akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan pemilih rasional. Namun, pada akhirnya mereka segera dipersatukan oleh kepentingan yang sama: hidup mereka, keluarga mereka, dan lingkungan mereka harus lebih baik di bawah kepemimpinan baru kelak: siapa pun sang pemimpin itu!

Kedua kelompok pemilih ini sama-sama membutuhkan Indonesia yang damai, baik untuk memperbaiki hidup maupun untuk memenangi perkelahian melawan segala keterbatasan mereka.

Para pemilih sebagai segmen terbesar akan memilih berdamai dengan kenyataan dan menerima hasil pilpres. Kepentingan mereka akan kemenangan semakin menyempit dan akhirnya kalah karena terdesak kepentingan lebih besar, yaitu memenangi masa depan di bawah kepemimpinan baru yang membawa perbaikan kebijakan dan layanan-layanan publik. Penolakan atas hasil pilpres pun semakin hari semakin elitis.

Itulah teori ”kepentingan yang menyempit”. Jumlah massa yang teragitasi oleh ajakan rusuh semakin hari semakin mengecil dan akhirnya menjadi super minoritas belaka. Ia akan dikalahkan oleh super mayoritas warga negara yang lebih bijak. Walhasil, saya percaya, Indonesia tak akan rusuh.

Kemarahan menyempit

Energi kekecewaan dan kemarahan publik yang ditabung sepanjang proses pemilu memang memuncak di hari pencoblosan. Namun, hari-hari sesudahnya adalah cerita tentang luapan kemarahan yang menyempit.

Kemarahan kandidat dan para tokoh utama partai pengusung atas kekalahan mereka mungkin saja berusia panjang. Bagaimanapun, mereka mempertaruhkan nama, harga diri, pengeluaran besar sumber daya (termasuk dan terutama sumber daya finansial), masa depan politik mereka, dan bahkan nasib mereka di depan hukum atau peradilan pemberantasan korupsi.

Namun, umumnya anasir lain tak punya kemarahan berusia panjang seperti mereka. Pada hari pencoblosan, kekecewaan dan kemarahan bisa jadi dimiliki banyak pihak. Namun, semakin lama, jumlah mereka yang kecewa dan marah semakin mengecil. Pemilik kemarahan semakin sedikit dan pada akhirnya menjadi kelompok yang kesepian.

Kita, para pemilih, baik yang emosional maupun rasional, tak punya cadangan kemarahan berdaya tahan panjang. Umumnya kita tak sudi berlama-lama berkubang dalam penjara kemarahan atas kekalahan.

Bagi kita, kekecewaan dan kemarahan adalah reaksi sejenak yang lalu mengantar kita pada kelapangan, kebijakan, dan kedewasaan. Kita percaya bahwa kemarahan tak akan mengantarkan kita ke masa depan yang gemilang. Alih-alih marah berkepanjangan, kita lebih memilih jalan kebaikan dan kemuliaan: siap kalah dan siap menang sambil menata hidup lebih baik.

Setelah 16 tahun menjalani reformasi, kita tidak lagi diharu biru psikologi politik marah dan membongkar segala sesuatu. Psikologi politik kita sudah bergerak maju menjadi bangsa yang sedang ”memasang kembali” segenap hal yang keliru.

Karena itu, saya percaya, Indonesia tak akan rusuh. Sebab, di atas segalanya, kita mencintai Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar