Jumat, 25 Juli 2014

Kartel Oligarki

                                                        Kartel Oligarki

Ferdy Hasiman  ;   Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta
KOMPAS, 23 Juli 2014
                                                


BUMI Nusantara memiliki sumber daya alam berlimpah. Namun, rakyat masih miskin dan sektor pertambangan menjadi ajang korupsi. Secara ekonomi, kita masih dijajah korporasi asing. Maka, kedaulatan ekonomi harus direbut.
Tak dapat dibantah, korporasi asing sudah mengeruk untung dari SDA kita. Freeport Indonesia yang beroperasi di Grasbeg-Papua adalah contohnya. Grasberg termasuk tambang paling profitable di dunia.

Cadangan tembaga 32,7 miliar pound dan emas 33,7 juta ons. Tahun 2010, Freeport memproduksi 230.000 ton ore milled per hari dan membukukan pendapatan sebesar 6,72 miliar dollar AS (Freeport McMoRan, 2010).
Kekayaan melimpah itu kontras dengan kehidupan rakyat Papua. Angka kemiskinan mencapai 36,08 persen. Freeport juga menorehkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.

Aparat militer dikerahkan untuk mengamankan operasi tambang dan rakyat menjadi korban. Freeport menjadi perkasa justru karena negara sudah menjadi centeng.

Freeport bersedia mendivestasikan 30 persen saham ke pihak nasional. Ini perlu perhatian serius seluruh rakyat karena banyak pengusaha lokal yang menginginkan saham Freeport. Pengusaha lokal berjabat erat dengan pejabat publik pusat-daerah dan politisi untuk merampas aset pertambangan.

Pertarungan merebut saham Newmont adalah contohnya. Pada divestasi pertama, 24 persen saham Newmont dimenangi PT Multi Daerah Bersaing (konsorsium Grup Bakrie dan pemerintah daerah).

Jika saja divestasi 7 persen saham (tahap kedua) Newmont diserahkan ke pemda, bukan tak mungkin jatuh ke pengusaha lokal. Upaya Kementerian Keuangan mengambil alih 7 persen saham Newmont akan mendapat tantangan DPR.

Di tangan pengusaha lokal, pertambangan gagal mengangkat kesejahteraan rakyat. Tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat hanya mendapat dividen Rp 100 miliar dari perusahaan patungan PT Multi Daerah Bersaing (MDB).
Sementara induk usaha MBD, PT Bumi Resources Tbk, mendapat dividen Rp 820 miliar meskipun porsi saham hampir seimbang.

Kebangkitan lokal

Reformasi 1998 dan otonomi daerah adalah tahap penting kebangkitan pengusaha lokal. Gerakan reformasi diikuti kebijakan yang didesain melindungi usaha berskala kecil-menengah.

Di sektor pertambangan ada izin usaha pertambangan (IUP) dengan maksimal luas lahan 25.000 hektar. Kebijakan ini memberi kesempatan kepada usaha pertambangan skala kecil-menengah vis-a vis kontrak karya dan PKP2B. Namun, 14 tahun pasca reformasi, tata kelola pertambangan amburadul.

Royalti IUP lebih kecil dibandingkan dengan royalti PKP2B. Royalti IUP hanya dipatok 3,5-7 persen, sedangkan PKP2B 13,5 persen. Padahal, tahun 2012 total produksi IUP mencapai 150 juta ton. Jika royalti diharmoniskan, potensi royalti IUP mencapai 1,5 miliar dollar AS.

Produsen-produsen batubara, baik IUP maupun PKP2B, wajib memasok batubara ke PLN agar memenuhi permintaan listrik domestik. Sayangnya, mereka lebih suka ekspor agar mendapat untung besar. Kementerian ESDM pun tak tegas karena tersandera kepentingan elite koalisi dalam pemerintahan.

Maka, menjelang pilpres pengusaha lokal aktif melobi partai koalisi. Inilah yang disebut kartel-oligarki. Artinya, segerombolan pengusaha lokal dan elite-elite politik yang berkerumun membajak proses politik dan membonceng pilpres untuk merampas SDA.

Pemerintah pun cenderung melunak kepada Freeport dan Newmont yang enggan membangun smelter.

Bahkan, untuk meminimalkan biaya pengeluaran dan menjaga kemampuan perusahaan, sekitar 80 persen dari 4.000 karyawan Newmont akan ditempatkan dalam status stand-by dengan pemotongan gaji. Jika pemerintah tak tegas, perampasan SDA (resources grabbing) tak terbendung.

Industri pertambangan menjadi ajang pemburuan rente (rent seeking) pebisnis, pemerintah, dan politisi. Hanya, mereka kerap berdalih atas nama pembangunan. Padahal, yang nyata terjadi bukanlah pembangunan, melainkan penjarahan SDA.
Hasrat akumulasi memicu perusahaan korupsi. Akibatnya, penerimaan negara menurun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, menemukan negara rugi Rp 12 triliun dari sektor pertambangan batubara dan mineral sepanjang 2010-2012.

Investasi pertambangan kemudian hanya melanggengkan formasi kelas, yaitu kelas borjuasi (pebisnis yang dilayani pejabat negara) dan rakyat yang dimiskinkan dan terekslusi karena lahan pertanian dicaplok untuk pertambangan. Borjuasi menguasai sumber daya kolektif, memonopoli investasi.

Kedaulatan ekonomi

Tugas pemimpin baru adalah merenegosiasi kontrak perusahaan tambang asing-lokal yang telah merugikan negara. Renegosiasi harus terkait isu substansial, seperti penciutan luas lahan menjadi 25.000 hektar (Baca: UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan). Itu penting agar mengembalikan hak ulayat masyarakat adat.

Perintahkan perusahaan batubara memenuhi domestic market obligation ke PLN agar program peningkatan kapasitas listrik tercapai. Pemimpin baru juga harus konsisten mewajibkan perusahaan tambang asing-lokal membangun smelter agar terjadi multiplier effect dalam pembangunan.

Tugas berikutnya adalah menaikkan royalti dan menagih pajak seluruh perusahaan tambang. Reformasi birokrasi dan reformasi hukum adalah syarat mutlak agar perusahaan tertib membayar pajak untuk membiayai pembangunan dan mengurangi beban utang.

Tertibkan kepala daerah yang serampangan mengeluarkan izin konsesi dan batasi kepemilikan perusahaan tambang.

Tambang asing yang mendivestasikan saham perlu dikelola perusahaan milik BUMN dan mendapat pendanaan dari bank BUMN. Indonesia harus bebas dari penjajahan ekonomi, baik asing maupun lokal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar