Kamis, 31 Juli 2014

Keinginan Luhur Politisi

                                          Keinginan Luhur Politisi

Ichsanuddin Noorsy  ;   Pakar Ekonomi Kebijakan Publik
MEDIA INDONESIA, 17 Juli 2014
                                                


“INI Indonesia ya,“ kata saya merespons diskusi terbatas di grup BBM Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) tentang kampanye pilpres yang sudah `membelah' masyarakat Indonesia. Sebenarnya itu sikap trenyuh mendalam menyaksikan keterbelahan anak bangsa Indonesia menyusul kampanye calon presiden dan calon wakil presiden PS+HR (1) dan calon presiden dan calon wakil presiden JW+JK (2). Saya teringat di awal reformasi. Begitu derasnya desakan meliberalkan segala dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai wujud keinginan berubah dari era sentralistis dan otoriter. Saking kuatnya desakan itu, amendemen UUD 1945 yang dilakukan dengan empat kali perubahan pun tanpa melakukan kajian akademis mendalam.

Elite menghendaki perubahan dan rakyat luas tidak mengetahui dan memahami ke mana arah perubahan itu. Pada 2001 saya menuliskan di Media Indonesia bahwa hasil empat kali amendemen itu ialah rancunya batang tubuh dan lahirnya tujuh masalah inkonsistensi UUD 2001. Salah satu masalah itu ialah apa yang sedang dihadapi bangsa ini sekarang: perebutan kekuasaan di elite politik yang melahirkan potensi konflik horizontal di berbagai lapisan masyarakat.

Adakah hal seperti ini yang dikehendaki para pejuang kemerdekaan Indonesia dan para pendiri Republik? Tanpa harus menoleh sejarah terlalu jauh dan mendalam, kita mendapat jawaban, “Tidak.“ Para pendiri Republik dan UUD 1945 mengamanatkan bahwa kemerdekaan bangsa itu berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan didorong oleh keinginan luhur agar kehidupan berbangsa bebas tertindas (dengan segala bentuknya). Tentu termasuk tertindas dalam alam pemikiran. Begitu kurang lebih bunyi alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.

Sejak reformasi, saat parpol diamanatkan dalam amendemen keempat UUD 2001 sebagai satu-satunya kendaraan untuk partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai kalangan mendirikan parpol. Dalam beberapa aspek, hal itu positif karena mungkin saja agregasi aspirasi masyarakat tidak tertampung pada parpol yang ada. Dalam perkembangannya, disadari juga bahwa kebebasan mendirikan parpol melahirkan dampak negatif. Misalnya hanya dijadikan ajang mendulang uang dan membuka akses kekuasaan. Sementara itu, akses kekuasaan pun digunakan untuk meraih kekayaan bagi petinggi parpol.

Dampak negatif lainnya masyarakat digiring menurut kepentingan parpol, padahal kepentingan tertinggi masyarakat ialah tegaknya dan terlaksananya konstitusi. Untuk menggiring keputusan masyarakat, digunakan industri survei guna memengaruhi opini publik.

Karena prinsip no free lunch dalam rujukan nilai kebebasan individual, untuk Indonesia saya menyebutnya sebagai demokrasi korporasi sejak Pemilu 2004, yakni suatu demokrasi berdasarkan transaksi materi yang pembiayaannya bersumber dari korporasi. Inilah politik uang. Joe Klein, tangan kanan raja media di dunia Rupert Murdoch, justru mengajukan pertanyaan, tidakkah dengan kondisi yang demikian sebenarnya demokrasi merupakan basa-basi aspirasi karena aspirasi yang dilaksanakan sesungguhnya aspirasi korporasi? Secara tidak lang sung, gugatan Joe Klein dijawab Joseph E Stiglitz sebagai itulah harga sebuah ketimpangan yang merupakan wujud kegagalan sistem. Juga merupakan harga sebuah peradaban yang menempatkan masyarakat banyak hanya sebagai mesin produksi dan alas kekuasaan bagi bekerjanya mesin kepentingan kelompok elite penguasa.

Situasi seperti ini pernah dibahas demikian mendalam dalam sidang-sidang BPU-PKI 29 Mei-1 Juni 1945. Saat memutuskan Indonesia bukanlah kerajaan, melainkan republik, hampir semua peserta sidang menyetujui bahwa Indonesia tidak menganut demokrasi liberal, fasisme, komunisme, etatisme, dan sosialisme TimurBarat. Penolakan berbagai aliran pemikiran politik yang berkembang di dunia itulah yang melahirkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945: MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditam bah utusan-utusan dari daerahdaerah dan golongan-golongan. Penjelasannya agar majelis benar-benar merupakan penjelmaan masyarakat.

Saya memahami hal itu sebagai diakuinya sistem pemilu bersamaan dengan sistem elektorat (pemilihan wakil-wakil secara berjenjang pada daerah dan komunitas atau golongan). Hibrida sistem pemilihan itu kemudian dilaksanakan majelis untuk memilih pemimpin bangsa dan negara. Jika dulu diasumsikan masyarakat Indonesia sudah terbiasa memilih langsung kepala desanya, tidaklah berlebihan jika masyarakat pun memilih langsung presidennya.

Sekarang terbukti pemilihan langsung presiden itu membuka peluang pecah belahnya bangsa dan negara. Lalu, apakah ini keinginan luhur para politikus dan kaum yang menyebut diri reformis itu? Jelas dan pasti kita menolak sistem sentralistis dan otoriter, saya pun tidak ingin kembali ke era itu. Namun, adalah salah jika power games melalui pemilu telah mengubur atau paling tidak menyingkirkan keinginan luhur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adakah cara memperbaiki?

Beberapa saat sebelum kampanye pilpres, saya diundang diskusi di Lemhannas, Kepolisian RI, dan beberapa instansi atau lembaga lainnya. Dalam diskusi itu saya menyebutkan kekuasaan politik yang membuahkan regulasi berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara telah melahirkan struktur-struktur sosial politik ekonomi seperti yang kita hadapi sekarang sebagaimana terbukti pada angka-angka (ketimpangan, kemiskinan, pengangguran, kepemilikan sumber daya, dan produksi) dan kata-kata (saling jegal, saling menihilkan, transaksional material, sanjungan pada kemasan, renggangnya ikatan sosial, keringnya hubungan kebersamaan, dan saling menyalahkan serta saling membela diri dan golongan).

Struktur itu lebih lanjut membuahkan kultur masyarakat bersamaan dengan dinamika warga dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Lihatlah jalan raya, di sana cerminan kekuasaan politik, regulasi, struktur hukum-sosial-politik-ekonomi, kultur masyarakat dan dinamika kegiatan warga masyarakat berbasis yang kuat yang menang dan the winner takes all. Dalam sebuah talk show di Metro TV merespons visi-misi-program para capres, saya menyebutnya sebagai tegaknya sistem hukum-sosialpolitik-ekonomi yang liberal. Di stasiun TV swasta lainnya, saya mengatakan hal itu sebagai produk pembangunan karakter bangsa yang dijanjikan selama kampanye 2004 dan 2009.

Sebab sistem yang tegak sudah seperti yang ada, harapannya tinggal pada manusianya, yakni apakah mereka yang menjadi pemimpin akan melanjutkan sistem itu atau berupaya kembali ke jalan yang benar menurut konstitusi UUD 1945. Pertanyaan itu diajukan karena kedua capres sama-sama memiliki visi-misi-program yang ingin mengangkat keterpurukan bangsa disebabkan jebakan neoliberal yang diterapkan. Para capres menyadari pentingnya menegakkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi. JW+JK menggunakan istilah Trisakti sementara PS+HR menggunakan istilah perekonomian yang berdaulatan dan kerakyatan.

Justru dengan visi-misi-program itu, didukung dengan situasi kondisi yang berkembang, jalan bijaksana dan meneduhkan bagi semua kalangan ialah menunjukkan keinginan luhur kehidupan berbangsa, menunjukkan kenegarawanan sebagaimana saya sampaikan di Metro TV pada 10 Juli 2014 dan TV One pada 8 Juli 2014.

Ini bisa dilakukan kalau para capres, para timses, dan tim pemikir mereka bersama media massa mereka mau bersikap bahwa keutuhan bangsa yang lebih utama dan politik pecah belah harus disingkirkan. Jika tidak, lima tahun pemerintahan ke depan akan penuh dengan hambatan, tantangan, dan gangguan baik internal maupun eksternal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar