Kamis, 24 Juli 2014

Kemenangan Revolusioner Rakyat

                            Kemenangan Revolusioner Rakyat

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Universitas Cendana, Kupang
KORAN JAKARTA, 22 Juli 2014
                                                


Hari ini, 22 Juli 2014, merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Setelah pemilihan legislatif 9 April dan pemilihan presiden 9 Juli, Indonesia akhirnya memiliki pemimpin baru, anugerah dan pemberian Tuhan yang harus disyukuri. Demokrasi semakin dewasa. Diharapkan transisi dari para presiden pilihan langsung ini berjalan lancar, tiada kekisruhan, apalagi kerusuhan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan merampungkan jabatan pada 20 Oktober 2014. Sejak kejatuhan Soeharto, Indonesia bermetamorfosis dari rezim sentralistik menjadi demokrasi. Politik uang dan kecurangan memang di sana-sini masih terjadi dalam pemilu, namun kondisinya relatif lebih baik dari sebelumnya sehingga pilpres kali ini dapat berlangsung lumayan baik. Ini tentu tak lepas dari dukungan media massa meski ada juga yang partisan.

Calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto- Hatta Rajassa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, adalah buah proses demokrasi yang lama dirintis. Ini harus dihargai dan disambut dengan trompet kehormatan. Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK sama-sama ingin membangun kedaulatan bangsa. Mereka berupaya membumikan konsep ekonomi rakyat kecil yang menunjukkan kesadaran marhaen untuk mencoba meruwat warga dan keindonesiaan agar semakin merdeka dari kemiskinan.

Lepas dari keterbatasannya, mereka adalah sekian dari figur yang ingin mendedikasikan hidup dan kemampuannya untuk membangun dan melindungi NKRI, tanah pusaka. Maka, rakyat patut menggelar karpet merah bagi pemimpin yang akhirnya diberi kepercayaan rakyat secara elegan dan terhormat.

Indikasi ketidakpuasan atau kelemahan yang mewarnai pidato politik dalam kampanye yang kerap menimbulkan keresahan perlu dikubur dalam-dalam untuk memulai kebersamaan baru. Tak boleh ada yang mereduksi nilai-nilai demokrasi yang dijunjung bersama. Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa mempersatukan karena Indonesia merupakan negara paling beragam di dunia, dengan 17 ribu pulau lebih, ratusan etnis dan bahasa.

Jadi, konsekuensinya memiliki budaya yang bervariasi. Perbedaan merupakan kekayaan yang harus diterima, tak bisa dan tak boleh dihindari. Di dalam upaya membangun demokrasi, tentu senantiasa terdapat kerikil-kerikil gangguan. Ini harus terus diperbaiki dan disiangi sehingga Indonesia benar-benar mampu menjalankan demokrasi yang dewasa.

Dengan segala pemahaman politik yang masih terbatas, intuisi demokrasi yang baru bergerak sepanjang 16 tahun reformasi, rakyat mampu menunjukkan keautentikan dan kearifan sikap. Beruntung Indonesia tidak harus seperti negara lain yang militernya harus menyabotase demokrasi, melarang warga berkumpul, menahan politisi karena gejolak politik yang tak pernah berhenti berbulan-bulan seperti Thailand.

Pengakuan

Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Corinne Breuze, pada peringatan Hari Nasional Prancis, 14 Juli, di Hotel Borobudur, Jakarta, menilai pemilihan legislatif dan presiden berlangsung demokratis dan damai. Ia sangat terkesan dengan demokrasi Indonesia. Ia pun berharap setelah perayaan pesta demokrasi, Indonesia bisa lebih proaktif membuka diri dan memainkan peran aktif di dunia internasional serta dapat membawa kemakmuran rakyat.

Apresiasi ini merupakan bentuk pengakuan bahwa negara dan rakyat layak disejajarkan dengan komunitas para penjaga peradaban demokrasi modern yang kini terus diperjuangkan dunia internasional. Modernisasi yang diperlihatkan sikap demokratis adalah sportivitas untuk merawat etika kebersamaan dalam menjunjung agenda-agenda kedaulatan dalam kesetaraan dan kehormatan kebangsaan di setiap kompetisi memperebutkan suara rakyat.

Dalam buku Critique of Modernity (1995), Alain Touraine, seorang sosiolog Prancis, menggambarkan bahwa perkembangan modernitas yang menjadi dasar pemikiran kontemporer akan mengarah pada pencerahan dan demokrasi. Hal ini setidaknya mampu ditunjukkan elite-elite politik maupun rakyat Indonesia dalam semarak pesta demokrasi kemarin.

Awalnya, bangsa menganggap determinisme dalam ajaran apokaliptik di akhir abad 2 SM, yang menganggap kedatangan zaman baru bergantung seutuhnya pada tangan Tuhan dan tak dapat dipercepat atau diperlambat manusia, hanya interpretasi sekularistik. Namun kini, hal tersebut menjadi sesuatu yang riil terjadi hari ini di negeri Indonesia.

Selama pemilu, Indonesia menjadi perhatian dunia internasional. Maklum, ini sebuah negara besar dengan pemilih mencapai sekitar 190 juta jiwa, dengan 67 juta pemilih pemula. Dengan penduduk besar dan produktif, Indonesia berada di dalam jajaran penting kekuatan ekonomi dunia yang mencoba merangkak keluar dari badai krisis finansial tahun 1998. Kini, Indonesia siap menggeliat menjadi kekuatan ekonomi Asia.

Kewibawaan Indonesia pun makin baik dengan menjadi bagian dari anggota G20 dengan capaian ekonomi mondial meyakinkan bersama Maroko, Nigeria, dan Turki. Selain itu, negara ini mampu menunjukkan kematangan konsep demokrasi di tengah maraknya kelompok ekstremis. Indonesia tetap bisa konsisten memelihara ruang demokrasi, tidak saja untuk pemilu, tetapi juga di dalam eksekusi kebijakan publik.

Semua pikiran inklusif keagamaan diupayakan didorong ke ruang demokrasi untuk memperoleh legitimasi lewat uji rasionalitas publik. Kenyataannya hal itu bisa berjalan dengan relatif aman, damai, tanpa konflik serius. Inilah yang disebut sebagai kemenangan revolusioner rakyat.

Kini, bangsa siap menjemput Indonesia Baru dengan presiden dan wakil presiden terpilih. Bergandengan tangan, melepas kasut perbedaan selama ini dengan satu mimpi bersama merajut keindonesiaan yang tangguh adalah keniscayaan yang harus terpateri di hati dan pikiran rakyat saat ini. Di depan mata sudah terhampar soal-soal yang kian “menguning”, seperti korupsi dan mentalitas kekuasaan di jajaran politik-birokrasi, daya saing bangsa, dan kesenjangan ekonomi yang belum sembuh benar.

Perlu ada manajemen revolusioner dari kepemimpinan nasional untuk bersama rakyat mengelola persoalan tersebut dengan hati yang mau berkorban dan tidak hanya mengingat diri lagi. Inilah tantangan bersama bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar