Sabtu, 26 Juli 2014

Kemenangan Sejati

                                                   Kemenangan Sejati

Aan Rukmana  ;   Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina
SINAR HARAPAN, 25 Juli 2014
                                                


“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” terdengar di mana-mana. Anak-anak kecil mengenakan baju baru bermain riang di pekarangan rumah. Para orang tua sibuk mempersiapkan makanan sambil sesekali keluar rumah untuk bersalaman dengan tetangga yang baru datang.

Suasana haru tak dapat dibendung. Uraian air mata kebahagiaan seakan bercampur dengan air mata kesedihan. Tidak terasa Hari Raya Kemenangan kembali datang.

Persis seminggu sebelumnya, mereka yang sudah lama merantau meninggalkan tanah kelahiran tercintanya, berbondong-bondong mudik kembali menengok tempat asalnya. Berbagai jenis transportasi digunakan, meski sering cuek dari sisi keselamatan, asal ia bisa membawa keluarganya mudik Lebaran.

Ada yang naik motor, bajaj, bus, kereta, juga pesawat. Meski uang masih kurang, tidak menghalangi mereka untuk mudik ke kampung halaman. Mudik seakan menjadi ritual tahunan yang tidak mungkin dilewatkan.

Mudik bukanlah fenomena sosiologis belaka. Ia membawa pesan eksistensial mengenai asal muasal diri kita. Dengan mudik, kita kembali menatap diri kita yang masih murni, menengok akar kita sambil mengingat kembali tujuan hidup kita. Rumi menggambarkan peristiwa mudik sebagai peristiwa kembali diri yang kotor menuju diri yang suci.

Mudik ibarat kembalinya batang seruling yang sudah lama terpisah dari pohon bambu atau seperti anak-anak kecil yang kembali ke rumah orang tuanya setelah sekian lama bermain di pekarangan. Ketika ia kembali, suka citalah yang ada.

Kehidupan di tanah rantau ibarat medan perjuangan. Meski sudah bertahun-tahun kita tinggal di tanah rantau, tetap secara “psikologis” kita merasa sebagai pendatang. Kembali ke kampung seperti kembali ke tanah asli kita. Kita pun merasa semakin bahagia ketika sampai di tanah kelahiran. Rasa letih dalam perjalanan pulang terobati dengan sendirinya.

Sesampainya di kampung halaman, kita berkumpul dengan keluarga yang ada, sambil bercerita mengenai liku-liku perjuangan di tanah rantau. Syukur kemenangan di tanah rantau yang didapat, obrolan semakin mengasyikan. Namun, bila kegagalan yang diraih, saudaranya saling menguatkan agar kita tidak berpatah arang.

Makna Kemenangan

Perayaan Idul Fitri tahun ini terasa berbeda suasananya dengan tahun-tahun sebelumnya. Itu karena bertepatan dengan pemilihan presiden. Pemilihan presiden sebagai pesta rakyat sudah berakhir dan presiden terpilih pun sudah ditentukan.

Merayakan Hari Kemenangan tahun ini sekaligus merayakan kemenangan bangsa kita dalam melewati proses pemilu yang tidak mudah. Kita patut merayakan kemenangan bukan semata karena presiden terpilih sudah ada, melainkan karena kita sudah mampu menahan diri untuk tidak terpecah-belah karena haluan politik yang berbeda. Inilah makna kemenangan yang sesungguhnya.

Kemenangan sejati tidak mungkin menafikkan mereka yang kalah. Kemenangan sejati adalah kemenangan semuanya, baik kaya maupun miskin, orang kota maupun orang desa, pejabat maupun rakyat, yang merantau maupun yang menetap, partai berideologi agama maupun nasionalis sekular, semuanya dapat menghirup udara kemenangan. Inilah kemenangan kita sebagai manusia Indonesia, bahkan lebih dari itu kemenangan kita sebagai manusia semesta.

Ketika kemenangan sejati yang diraih, tidak ada lagi batasan-batasan keakuan. Semuanya melebur menjadi kemenangan kita, yang ada adalah kita sebagai manusia yang sama-sama menginginkan kebahagiaan, kedamaian, keadilan, serta kesejahteraan hidup.

Inilah pesan terdalam dari perayaan Idul Fitri yang setiap tahun dirayakan umat Islam. Orang yang berbahagia idealnya bukan saja umat Islam, melainkan seluruh umat manusia di alam jagad ini. Sama halnya ketika umat lain merayakan hari kemenangannya, yang berbahagia adalah seluruh umat manusia.

Manusia Otentik

Sebelum merayakan Hari Kemenangan, umat Islam menjalani ritual puasa selama sebulan penuh. Dalam ritual itu, umat Islam tidak makan, minum, maupun melakukan aktivitas yang dapat membatalkan puasanya.

Jika kita renungkan lebih dalam, sebetulnya yang sedang dilatih dalam puasa itu adalah kesadaran kita sebagai manusia yang multidimensi. Kita bukan semata fisik lahiriah yang duniawi. Lebih daripada itu, kita adalah jiwa rohaniah yang memiliki orientasi ketuhanan.

Kita diingatkan bahwa tujuan hidup bukan semata makan dan minum, melainkan juga membantu orang lain yang membutuhkan, mencukupkan mereka yang kurang, dan membahagiakan mereka yang menderita.

Kita dilatih untuk menjadi wakil dari mereka yang tertindas dan lemah dalam hidup ini. Puasa melatih diri untuk dapat merasakan penderitaan sesama kita sambil menumbuhkan dalam diri kita cinta kasih yang mendalam terhadap sesama kita.

Puasa mengajarkan kita untuk menyapa manusia lain yang tidak pernah kita sapa sebelumnya. Kita menyapa yang lain sebagai diri manusia, bukan semata sebagai teman seagama atau sesukunya.

Kita pun diajarkan menjadi manusia yang otentik. Manusia otentik adalah manusia yang senantiasa menyadari bahwa dirinya adalah kombinasi jiwa rohaniah dan fisik lahiriyah. Dengan fisik yang ada mereka berbeda namun dengan ruhani mereka saling menyatu.

Hari kemenangan tahun ini sudah tiba. Mari kita rayakan kemenangan ini bersama. Ini adalah kemenangan umat manusia. Kullu aamin wa antum bi-khayrin, minal aizin wal-faizin yang artinya, “Setiap tahun kita semua berada dalam kebaikan, dan kita semua menjadi orang-orang mudik dan membawa kemenangan.”

;lineF�gt�gH z -stops:163.05pt'>Prof Zainuddin Djafar menafsirkan doktrin luar negeri SBY itu dengan kondisi ketika negara adidaya muncul menjadi kekuatan unilateral dalam memecahkan masalah internasional, termasuk keamanan internasional yang dapat bertentangan dengan hukum dan perjanjian internasional. (Zainuddin Djafar, 2013).


Konsep zero enemy perlu ditransformasikan ke dalam pendekatan baru, yakni penekanan pada Israel sebagai pihak negara yang dikategorikan sebagai negara penjajah bangsa Palestina. Indonesia perlu terus menggalakkan diplomasi internasional melalui penguatan aliansi strategis dengan negara-negara di Asia, Afrika, dan Pasifik untuk memperkuat dukungan dan solidaritas terhadap Palestina.

Oleh karenanya, pendekatan diplomasi kemitraan komprehensif tentu perlu disesuaikan dengan kondisi riil yang terjadi. Fokus utama kepada penyelesaian kasus Palestina-Israel ke depan. Selain itu, Indonesia perlu mendorong dialog dan perundingan di tingkat PBB (summit) yang dapat melahirkan resolusi konflik Palestina-Israel.

Fokus diplomasi Indonesia kepada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan globa, dan perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan dan target kepentingan nasional dalam mengatasi konflik Palestina-Israel seperti itu, perlu memanfaatkan potensi-potensi diplomatik resmi yang kita miliki di seluruh dunia, dan diaspora Indonesia yang saat ini sedang membangun visi bersama untuk memperkokoh hubungan internasional Indonesia di mancanegara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar