Kamis, 24 Juli 2014

Pentingnya Rekonsiliasi

                                            Pentingnya Rekonsiliasi

Irfani Nurmaliah  ;   Peneliti Muda
di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta
HALUAN, 23 Juli 2014
                                                


Presiden Susilo Ba­m­­­bang Yudhoyono telah mem­peringat­kan akan adanya potensi konflik pasca pemilihan presiden. Tentunya pernyataan dari seorang kepala negara tidak dapat dianggap sebagai suatu isapan jempol belaka. Ia tentunya telah menerima masukan dari para pem­bantunya di kementerian dan lembaga negara lainnya, terutama lembaga intelijen dan kepolisian.

Suhu politik pasca hari pen­co­blosan pun belum menurun, bahkan dapat dikatakan kian memanas. Kedua kubu kan­didat presiden saling mengklaim sebagai pemenang pemilu. Tim sukses pun turut memanasi suasana dengan menyebarkan informasi yang belum tentu valid. Kampanye hitam antar kelompok masih saja berlanjut. Tindakan anarkis pun ak­hirnya tidak terhindarkan yang dapat menyulut konflik horizon­tal secara nasional.

Untuk menjaga kedamaian dan kesuksesan berdemokrasi, maka semua pihak harus mewaspadai potensial konflik pasca pilpres. Seluruh langkah antisipatif harus dilakukan. Belajar dari pengalaman di sesama negara ASEAN, semua pihak  tentunya tidak mau perpecahan di Thailand yang diakibatkan kisruh pemilihan presiden, akan terjadi pula di Indonesia.

Merupakan sebuah an­caman yang sangat besar bila dalam dunia politik dan demokrasi yang semakin terbuka, masih saja terdapat praktik untuk menjatuhkan lawan dengan kampanye hitam yang mem­bahayakan kemajemukan bangsa. Pasca hari pencoblosan, kampanye hitam masih terus saja terjadi. Kedua belah pihak menyatakan bahwa lembaga survey yang memenangkan masing-masing pihak tidaklah kredibel, dan mendapatkan bayaran. Rekapitulasi atau tabulasi suara yang tidak valid dikeluarkan oleh masing-masing tim sukses demi mendapatkan legtimiasi sebagai pemenang.

Isu yang melibatkan Suku, Agama, Ras, dan Antar Go­longan (SARA) masih  terus saja didengungkan. Padahal hal ini sangatlah sensitif bagi kesatuan bangsa. Sepertinya himbauan serta peringatan akan larangan dan bahaya atas kampanye hitam tidak berlaku bagi mereka yang ingin meraih kekuasaan dengan meng­halalkan semua cara. Dalam situasi demikian, masyarakatlah yang harus dewasa dan mampu menyaring setiap informasi yang diterima.

Klaim saling menang bagai­kan sebuah bom waktu sambil menunggu keputusan resmi KPU pada 22 Juli 2014.  Beberapa jam setelah per­hitungan dimulai, Ketua U­mum PDI-P, Megawati Soe­karnoputri, sudah mende­klarasikan kemenangan bagi kubu Jokowi-JK. Hal ini didasari hasil hitung cepat 7 lembaga survey. Beberapa jam kemudian, kubu Prabowo juga melakukan sujud syukur dan berterima kasih kepada rakyat Indonesia yang sudah memil­ihnya sebagai presiden Indonesia selanjutnya.Dan hingga kini, kedua pasangan kandidat tetap berkeyakinan sebagai pemenang pemilu. Kondisi ini diperparah oleh pernyataan provokatif dari dua pakar terkenal yang berkecimpung dalam bidang survei dan sering menjadi narasumber berbagai seminar dan diskusi. Pakar  tersebut pada intinya menga­takan “jika Prabowo-Hatta yang meme­nangkan Pilpres 2014, maka KPU telah melakukan kesa­lahan”.

Seharusnya kedua belah pihak dapat  menahan diri hingga ada pe­ngu­muman res­mi da­ri KPU sebagai lembaga yang ber­­wenang me­nya­­takan pe­me­nang pemilu. Me­nunggu wak­tu rekapitulasi suara se­lama dua ming­gu pas­ca pencoblosan tentunya lebih baik, dari pada deklarasi yang hanya ber­da­sar­kan per­hi­tungan cepat. Hal yang paling ris­kan a­dalah ap­abila ku­bu yang kalah tidak dapat me­re­dam atau me­ngen­­­­­d­alikan e­mosi dari para pen­du­kungnya.

Dengan se­ma­kin mem­a­nasnya suhu po­litik, ma­ka aksi anarkis tidak terhindarkan. Salah satu aksi yang me­nun­tut keprihatinan adalah penye­ra­ngan dan penye­gelan terha­dap TV One. Terle­pas dari pemberitaan TV One yang cenderung memprovokasi pihak tertentu, aksi tersebut jelas mencederai demokrasi dan kebebasan pers. Seharusnya para pihak yang berkeberatan dan merasa dirugikan mene­mpuh jalur hukum.

Berkaca pada kejadian tersebut maka bukan tidak mungkin aksi-aksi serupa kembali terjadi. Bisa jadi timbul aksi yang lebih dahsyat dalam skala yang lebih luas. Oleh karena itu, para elit politik seharusnya berinisiatif men­dinginkan suasana dan bukan sebaliknya dengan melon­tarkan isu-isu yang semakin mema­naskan suasana.

Tidak hanya itu saja, rencana untuk mengepung dan menduduki kantor KPU, Mahkamah Konstitusi dan kantor beberapa lembaga survei akan dilakukan oleh sejumlah massa pendukung jika salah satu pasangan capres-cawapres yang diidolakannya kalah.

Sebuah Solusi, Yakni Rekonsiliasi Nasional

Salah satu agenda nasional terpenting pasca pilpres adalah dicapainya sebuah rekonsiliasi. Maksud rekonsiliasi disini adalah memulihkan hubungan menjadi kembali normal antara kedua pasang kandidat, tim sukses, simpatisan dan masya­rakat luas setelah proses politik yang membelah masyarakat beberapa bulan terakhir.Semua perseteruan, konflik, pertikaian harus diselesaikan dalam sebuah rekonsiliasi nasional.

Rekonsiliasi harus dilakukan dengan menimbang masa kampanye yang telah dilalui telah dipenuhi oleh polemik dan perseteruan antara dua pendu­kung kandidat. Bahkan dalam debat kandidat presiden yang dilaksanakan oleh KPU, suasa­na panas sangat begitu terasa. Pada tataran akar rumput, di sebagian tempat kampanye diwarnai dengan kekerasan. Fitnah dan umpatan yang sangat keras juga dengan mudah juga ditemui di media massa dan media sosial.

Jiwa besar dari kedua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden merupakan kunci utama tercapainya rekonsiliasi nasional. Pihak yang kalah harus dengan berbesar hati menerima keka­lahan mereka. Sementara itu, pihak yang menang tidak boleh menyom­bongkan diri, dan berusaha untuk mengajak kubu lawan untuk bersama-sama memba­ngun Indonesia ke depan. Momentum rekonsiliasi inilah yang  sangat dinanti seluruh masyarakat terhadap pasangan  Prabowo – Hatta dan Jokowi-Kalla. Mereka akan diingat sebagai negarawan yang mele­takkan ambisi pribadi demi keutuhan bangsa dan negara Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar