Kamis, 24 Juli 2014

Presiden Baru dan Mudahnya Melindungi Nelayan

    Presiden Baru dan Mudahnya Melindungi Nelayan

M Riza Damanik  ;   Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Anggota Delegasi RI untuk Perundingan FAO VGSSF
SINAR HARAPAN, 21 Juli 2014
                                                


Tepat sebulan sebelum berlangsungnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, kabar gembira datang dari ruang sidang ke-31 Komite Perikanan Dunia di Roma Italia, 10 Juni. Kali ini, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengadopsi instrumen perlindungan nelayan kecil pertama di dunia yang disebut Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-scale Fisheries (VGSSF).

Berbekal 13 pasal, instrumen ini di antaranya mengatur pembaruan agraria kelautan, kelayakan lingkungan kerja bagi nelayan, rantai dagang berkeadilan, peran strategis perempuan nelayan pada hulu-hilir perikanan, meminimalkan dampak buruk perubahan iklim, serta dukungan implementasi dan pemantauan VGSSF untuk masing-masing negara.

Beranikah presiden terpilih kelak menggunakan panduan ini, sebagai jalan (mempercepat) kesejahteraan sedikitnya 13,8 juta rakyat Indonesia, yang menggantungkan penghidupannya pada sektor perikanan?

Tantangan Nelayan

Pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK sejak awal telah memasukkan agenda kesejahteraan nelayan sebagai prioritas visi-misinya; Di antaranya, melalui pemberantasan pencurian ikan dan penyediaan bank khusus nelayan. Namun, tawaran solusi ini belum menyentuh akar soal kemiskinan dan tantangan nelayan ke depannya.

Pertama, ketimpangan pemanfaatan sumber daya ikan. Di Indonesia, 90 persen dari total 2,8 juta nelayan kecil hanya membawa pulang rata-rata 2 kg ikan per hari. Jika seluruh hasil tangkapan ikan tersebut langsung dijual ke pasar, penghasilan rata-rata nelayan Indonesia hanya sekitar Rp 20.000, kurang dari US$ 2 per harinya.

Minimnya tangkapan ikan nelayan kecil lebih disebabkan karena tidak efektifnya instrumen negara bekerja di laut; Membiarkan kapal-kapal berbobot besar bebas menangkap ikan di perairan kepulauan atau beroperasi kurang dari 12 mil laut dari garis pantai.

Faktanya, 99,5 persen armada ikan Indonesia, termasuk kapal berbobot 30-100GT, beroperasi di perairan kepulauan. Hanya 0,5 persen dari sisanya berani berhadapan dengan kapal-kapal ikan asing di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (12-200 mil laut). Faktor berpengaruh lainnya adalah kualitas lingkungan laut yang terus menurun, serta cuaca yang semakin ekstrem.

Kedua, tidak terpenuhinya hak-hak dasar keluarga nelayan. Di Marunda Jakarta Utara misalnya, meski jaraknya kurang dari 20 km dari Istana Presiden, kealpaan pemerintah melindungi keluarga nelayan terlihat jelas. Mulai dari ketidaklayakan fasilitas kesehatan dan pendidikan, sulitnya mendapatkan air bersih, hingga kondisi permukiman dan lingkungan perairan yang buruk. Terakhir, semakin kuatnya arus liberalisasi.

Pada akhir 2015, Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Komoditas perikanan telah menjadi 1 dari 12 sektor prioritas pasar tunggal ASEAN. Dengan kenyataan buruknya perlindungan hak-hak nelayan kecil, lebarnya ketimpangan pembangunan infrastruktur perikanan antara barat dan timur Indonesia, minimnya pendidikan dan pelatihan pengolahan ikan, hingga rendahnya dukungan teknologi, mustahil nelayan Indonesia memperoleh manfaat dari MEA.

Jika terlambat berbenah, tidak mustahil laut Indonesia segera dibanjiri tenaga kerja (baca: nelayan) asing, kapal-kapal bukan berbendera merah-putih, maupun produk perikanan impor dari Thailand, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Membantu Indonesia

Perubahan paling mendasar dari VGSSF adalah meletakkan nelayan kecil sebagai solusi mengatasi kelaparan dan kemiskinan di dunia. Jika dijalankan, VGSSF akan memudahkan kerja Presiden Indonesia setelah 20 Oktober 2014.

Pada skala global, VGSSF memberi kepastian di tingkat internasional kepada pemerintah Indonesia untuk mempertahankan dan meningkatkan pemberian subsidi kepada nelayan kecil. Ini menjadi relevan di tengah maraknya tuntutan negara-negara industri mempersoalkan pemberian subsidi ke sektor perikanan. Sama halnya “gugatan” yang diterima pemerintah Indonesia pada 2012.

Saat itu, Amerika Serikat (AS) mempersoalkan kebijakan “Minapolitan”. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI memberi berbagai bentuk insentif kepada para nelayan dan pembudi daya udang di sejumlah kawasan perikanan terpadu. Argumentasi klasik di balik gugatan AS tersebut adalah pemberian subsidi kepada para nelayan dan petambak kecil Indonesia, diduga telah menyebabkan terganggunya harga komoditas udang di pasar dunia.

Padahal, sesuai amanat konstitusi UUD 1945, UU Perikanan, maupun realitas lapangan, mustahil nelayan kecil Indonesia dapat berproduksi dan memiliki daya saing tinggi tanpa dukungan dan fasilitas dari pemerintah. Selain hal tersebut, VGSSF juga telah membuka akses pembiayaan internasional untuk implementasi dan pemantauan instrumen perlindungan nelayan kecil di Indonesia (Pasal 5, 6, 7, dan 13).

Pada skala nasional, VGSSF dapat membantu pemerintahan ke depan melalui dua cara. Pertama, mengukur efektivitas kebijakan nasional dalam melindungi nelayan kecil. Kedua, mempercepat lahirnya kebijakan perlindungan nelayan yang lebih komprehensif, termasuk untuk memastikan kapal-kapal ikan berbobot lebih dari 30GT tidak beroperasi di perairan kepulauan. Di tingkat kampung, instrumen VGSSF dapat memperkuat pengakuan peran strategis nelayan kecil Indonesia, termasuk kearifan tradisionalnya dalam mengelola sumber daya pesisir dan laut.

Lalu, menjamin tersedianya akses pendidikan dan pelatihan guna meningkatkan daya saing nelayan Indonesia di pasar lokal, nasional, internasional, termasuk untuk memperbesar daya lenting nelayan kecil menghadapi perubahan iklim (Pasal 11 dan 12). Diadopsinya VGSSF membuat presiden dan wakil presiden terpilih 2014 tak lagi memiliki hambatan ideologis, politis, maupun birokratis untuk segera menyejahterakan nelayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar