Minggu, 31 Agustus 2014

Aborsi Korban Pemerkosaan

Aborsi Korban Pemerkosaan

Ainna Amalia FN  ;   Dosen Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya,
Pengurus Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU Wilayah Jawa Timur
SINAR HARAPAN, 29 Agustus 2014
                                      


Di tengah hiruk-pikuk penentuan komposisi kabinet Jokowi, ada kasus lain yang juga hangat diperbincangkan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang mengatur soal aborsi. Legalitas aborsi bagi perempuan yang sedang hamil menuai pro kontra banyak kalangan.

Menurut PP ini, tindakan aborsi boleh dilakukan dengan alasan. Pertama, adanya indikasi kedaruratan medis. Situasi darurat medis itu apabila kehamilan yang terjadi dapat membahayakan jiwa ibu maupun janin yang dikandung jika dia lahir kelak.

Kedua, kehamilan akibat pemerkosaan. Korban pemerkosaan yang hamil berada dalam situasi darurat mentalnya. Mereka mengalami trauma psikologis yang luar biasa akibat paksaan dalam hubungan senggama.

Sebagaimana bunyi Pasal 31 Ayat (2) PP No 61/2014, tindakan aborsi akibat pemerkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Dua alasan ini saya kira cukup logis untuk melegalkan aborsi bagi perempuan yang hamil agar mereka mendapatkan proses aborsi yang bermutu, aman, dan bertanggung jawab. Walaupun harus dengan pengawasan yang ketat, agar tidak disalahgunakan pihak-pihak yang gemar melakukan seks bebas.

Selanjutnya muncul pertanyaannya, apakah PP ini juga memayungi kehamilan karena pemerkosaan yang terjadi dalam pernikahan? Korban pemerkosaan, baik itu oleh suami atau oleh orang lain, secara psikologis mengalami trauma yang sama.

Pertanyaan saya ini cukup relevan. Sebab berdasarkan penelitian, satu dari tiga istri pernah mengalami kekerasan seksual berupa pemerkosaan oleh suaminya (Farha Ciciek, 1999:28). Suami memerkosa istri (marital rape) itu berarti melakukan ancaman dan paksaan untuk berhubungan seksual tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan istri.

Padahal, setiap istri berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa ada paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah. Bebas dari kekerasan fisik dan mental, bebas mengatur kehamilannya, sehingga suami tidak punya hak monopoli seksual.

Hubungan seksual suami istri harus didasarkan pada kesetaraan gender, tidak ada yang superior dan inferior. Semua sama-sama berkewajiban untuk melayani dan memberikan pelayanan yang terbaik. Suami dan istri, keduanya adalah pelayan bagi pasangannya masing-masing.

Dengan demikian, seorang suami harus memegang prinsip mu'asyarah bil maruf, anjuran berbuat baik kepada istri, yakni tidak melukai hatinya, tidak menyakiti fisiknya, tidak memaksakan kehendak termasuk dalam berhubungan seksual, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw.

Itu karena istri yang menjadi korban pemaksaan seksual oleh suami dan terjadi berulang-ulang, akan mengalami trauma psikologis yang hebat. Hal ini seperti kekecewaan yang berkepanjangan, merasa trauma berhubungan seks, menjadi tak percaya diri.

Pada tingkat yang parah, istri akan mengalami ketakutan yang luar biasa (paranoia). Mereka merasa terus terancam oleh lingkungannya dan dihantui rasa ketidakberdayaan.

Korban juga terkadang merasa bahwa kemerdekaan atas tubuhnya telah berakhir seiring kejadian pemerkosaan. Dalam kondisi seperti ini, perasaan korban menjadi sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut.

Selanjutnya, berdasarkan kajian psikologis, dampak psikis ini bisa jangka pendek (sort term effect) maupun jangka panjang (long term effect). Dampak psikis jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Korban biasanya marah, jengkel, terhina, dan merasa malu.

Dampak jangka panjangnya ialah timbul sikap atau persepsi negatif terhadap laki-laki (suami) dan trauma akan hubungan seks. Lebih-lebih jika korban tidak mendapat dukungan setelah terjadi pemerkosaan dan berlanjut terus hingga lebih dari 30 hari.

Korban akan mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), yaitu gangguan secara emosi berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, depresi, ketakutan, dan stres hingga memicu tindakan bunuh diri.

Perilakunya cenderung murung, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Pada kasus-kasus tertentu, gangguan psikologis yang dialami korban akan semakin kompleks. Hal itu karena mereka sering kali mengalami pemerkosaan oleh suami lebih dari satu kali.

Bisa dibayangkan betapa berat kehamilan korban pemerkosaan yang dilakukan suaminya. Mereka tidak berdaya untuk menghindar dan harus menjalani hari-hari kehamilannya dalam suasana traumatik.

Kalau sudah seperti ini, ada kemungkinan bayinya akan lahir kurang sehat atau kurang sempurna fisik maupun psikisnya. Jika menurut penelitian satu dari tiga istri pernah mengalami pemerkosaan dalam perkawinannya, sebagian dari korban mengalami traumatik yang berkepanjangan. Ini tentunya akan berdampak serius bagi pembentukan generasi bangsa yang berkualitas.

Bagaimana jadinya bangsa ini 20 atau 30 tahun ke depan, jika sebagian generasinya dilahirkan dan dibesarkan oleh ibu yang kondisi psikologisnya labil akibat pemerkosaan dalam perkawinannya.

Oleh karena itu, pemerkosaan dalam rumah tangga bukan perkara remeh. Tidak cukup, misalnya hanya melegalkan aborsi kehamilannya, sebab bukan itu akar masalahnya.

Namun, bagaimana kasus-kasus pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dicegah dan diminimalkan bahkan dihapuskan agar para ibu dapat melahirkan generasi yang berkualitas. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar