Minggu, 31 Agustus 2014

Kompleksitas Masalah Kartu Indonesia Pintar

Kompleksitas Masalah Kartu Indonesia Pintar

Darmaningtyas  ;   Pengamat Pendidikan
KORAN TEMPO, 29 Agustus 2014
                                      


Salah satu program unggulan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP). Program ini mengadopsi Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang sudah diterapkan di Jakarta sejak 2013. KJP dimaksudkan untuk memberi bantuan personal kepada anak-anak dari golongan miskin agar tetap bersekolah tanpa mengalami hambatan mengenai pakaian seragam, sepatu, tas, atau bahkan transportasi.

KJP ini melengkapi bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah untuk SD-SMP ataupun bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk sekolah-sekolah negeri. BOS dan BOP merupakan bantuan pendanaan untuk institusi (sekolah), sedangkan KJP merupakan bantuan yang bersifat personal.

Prinsip program KIP tidak berbeda dengan KJP. Yang berbeda adalah cakupannya saja, yaitu bantuan personal untuk anak-anak orang miskin agar dapat membeli peralatan sekolah yang bersifat personal, seperti pakaian seragam, sepatu, transportasi, dan uang saku.

Karena KIP mencakup seluruh wilayah Indonesia, program ini memiliki kompleksitas yang lebih tinggi. Jika KJP hanya mencakup sekitar 332.465 murid miskin, KIP mungkin bisa mencapai 5 juta jiwa. Dengan cakupan yang lebih luas dan jumlah yang lebih besar itu, ada dua konsekuensi logis yang akan terjadi: 1) diperlukan kecermatan dalam identifikasi calon penerima KIP agar tepat sasaran; 2) dana yang diperlukan jauh lebih tinggi, bisa sepuluh kali lipat dari dana KJP 2013 sebesar hampir Rp 1 triliun.

Besaran KJP antar-tingkat satuan pendidikan berbeda-beda, disesuaikan dengan unit cost/tahun/satuan pendidikan. Sebagai contoh, SD/SDLB/MI unit cost per tahun sebesar Rp 2.160.000 sehingga besaran KJP per bulan Rp 180.000. Perhitungan unit cost itu sebatas pada komponen transportasi ke dan dari sekolah, pembelian buku, alat tulis, tas sekolah, baju, sepatu sekolah, serta tambahan makan dan minum.

Implementasi KIP tidak jauh berbeda dengan KJP, yang merupakan bantuan personal. Dengan demikian, keberadaan KIP tidak perlu dipertentangkan dengan BOS yang diberikan oleh pemerintah dan BOP yang diberikan oleh pemda dan selama ini mampu menggratiskan biaya pendidikan dasar ataupun menengah (di beberapa daerah). BOS dan BOP tetap berjalan dan tidak terganggu oleh keberadaan KIP karena penerima manfaat BOS dan BOP adalah institusi (sekolah), sedangkan penerima KIP adalah pribadi.

Problem terbesar dari KIP ini adalah masalah penyediaan dana yang cukup besar, bergantung pada banyaknya anak dari keluarga miskin. Namun masalah sumber dana tidak perlu dipersoalkan asalkan pemerintah memiliki komitmen/kebijakan yang jelas terhadap BBM. Jauh lebih positif dan jelas hasilnya bila pemerintah memotong subsidi BBM dan kemudian mengalihkannya untuk biaya pendidikan gratis 12 tahun dan implementasi KIP. Hanya, yang perlu diingat, besaran KIP tidak boleh sama di seluruh wilayah Indonesia, mengingat harga-harga, termasuk biaya transportasi daerah-daerah di kepulauan, jauh lebih mahal dibanding di Jawa dan Bali.

Karena itu, perlu ada pemetaan harga-harga barang di setiap wilayah kepulauan. Kecuali itu, masyarakat perlu diedukasi agar tidak menyalahgunakan uang KIP untuk kepentingan konsumsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar