Jumat, 29 Agustus 2014

Krisis BBM di Masa Kritis

Krisis BBM di Masa Kritis

Anif Punto Utomo  ;   Direktur Indostrategic Economic Intelligence
REPUBLIKA, 28 Agustus 2014
                                                


Kini, antrean untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai merata di seluruh provinsi. Barangkali hanya provinsi DKI Jakarta saja yang masih disuplai maksimum. Maklum sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah wajah Indonesia. Pemerintah tak mau tercoreng mukanya jika terjadi antrean panjang yang memalukan karena BBM. Apalagi antrean bisa menambah kemacetan yang sudah begitu parah.

Antre BBM merupakan konsekuensi dari nyaris jebolnya kuota BBM bersubsidi. Seperti tercantum dalam APBN-P, kuota BBM bersubsidi 46 juta kiloliter, lebih rendah dari yang ditetapkan sebelumnya 48 juta kiloliter. Sejak awal mestinya pemerintah paham bahwa kuota tersebut pasti jebol jika tidak ada kebijakan radikal. Bayangkan sampai Juli silam saja mobil yang terjual sudah 733.736 dan sepeda motor 4,62 juta, berapa ribu kiloliter tambahan BBM yang dibutuhkan? 

Beberapa kebijakan sudah dilakukan pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi. Pertama, mewajibkan mobil dinas pemerintah dan BUMN mengunakan BBM nonsubsidi. Kebijakan ini pernah jalan tetapi tak efektif dan berakhir begitu saja tanpa kejelasan. Kedua, pemasangan radio frequency identification (RFID), rencananya dipasang di 100 juta kendaraan dan selesai pertengahan 2014, langkah ini kandas. Ketiga, melarang penjualan di akhir pekan, tapi tidak terealisasi.

Di tengah ketidakmampuan pemerintah melakukan pembatasan, Pertamina tampil memimpin. Awalnya sebagaimana disosialisasikan di berbagai media beberapa SPBU di Jakarta Pusat dan di jalan tol, tidak dipasok BBM bersubsidi. Tak lama kemudian diam-diam, tanpa sosialisasi yang memadai, perusahaan yang masuk dalam Fortune 500 ini langsung mengurangi pasokan BBM subsidi ke SPBU di daerah. Akibatnya, seperti terlihat sekarang, antrean kendaraan terjadi di seluruh Indonesia.

Bagi Pertamina memang tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Karena jika kuota jebol, maka Pertamina ikut menanggung  risiko subsidi. Sekarang saja Pertamina sudah gerah dengan beban potensi subsidi untuk LPG sebesar Rp 6 triliun karena tidak boleh menaikkan harga  LPG ukuran 12 kg yang diperuntukkan bagi golongan menengah atas.

Tapi, rupanya efek dari pembatasan BBM bersubsidi ini tidak sederhana, mengingat BBM tidak semata untuk transportasi mobil dan motor. Di beberapa tempat, masyarakat menengah bawah di pedesaan banyak menggantungkan hidup dari BBM. Ketika mereka harus mengantre dan terkadang tidak memperoleh jatah, maka sebagian ladang kehidupan mereka terampas. 

Efek dari ketergantungan masyarakat terhadap BBM itu, di antaranya, petani di Indramayu dan Cirebon tidak mampu mengairi sawahnya karena pompa air tidak bisa beroperasi. Mesin penggilingan padi harus beristirahat. Jasa penggergajian berhenti. Ratusan kapal nelayan tidak beroperasi sehingga ribuan nelayan menganggur. Angkutan kota hanya beroperasi sebagian sehingga anak-anak terpaksa membolos karena tidak mendapatkan angkot. (Republlika 26/8/14).

Kunci dari penyelesaian ini sebetulnya ada pada pemimpin.  Mengatasi problem BBM perlu langkah radikal dan langkah radikal itu tidak lain adalah menaikkan harga BBM. Untuk menaikkan harga BBM inilah diperlukan nyali pemimpin yang kuat. Maklum, akan banyak kritikan dan hujatan  dari partai 'oposisi' dan protes dari masyarakat, termasuk demo yang terkadang masif. Diperlukan mental baja untuk menghadapi tantangan seperti itu.

Menaikkan harga BBM memang keputusan sulit mengingat spiralling effect yang ditimbulkan besar.  Intinya akan terjadi kenaikan harga secara menyeluruh. Inflasi menjadi tinggi. Kesejahteraan masyarakat menurun. Jumlah orang miskin yang 28,4 juta akan menggelembung. Bunga bank akan tetap tinggi, bahkan mungkin bisa naik untuk mengimbangi inflasi. Tetapi, jika tidak dinaikkan, situasinya akan tambah parah.

Saat ini adalah masa kritis di mana merupakan masa transisi peralihan kekuasaan dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke presiden terpilih Jokowi. Pelantikan presiden baru akan dilakukan 20 Oktober nanti atau tinggal sekitar 50 hari lagi. Siapakah yang akan mengambil risiko untuk menaikkan harga BBM, apakah SBY atau Jokowi.

Apakah SBY mau mengambil risiko? SBY bukan tipe risk taker yang siap menghadapi hujatan dan cercaan karena menaikkan harga BBM, meskipun dia berpengalaman tiga kali menaikkan harga BBM. Apalagi periode pemerintahannya hampir usai, dia tidak mau dikenang sebagai presiden yang 'menyengsarakan' rakyat di akhir jabatannya. SBY akan cari aman.

Tetapi, jika tidak segera dinaikkan, situasinya akan makin mengkhawatirkan. Antrean makin panjang  sehingga memaksa sebagian orang menginap di SPBU, situasi ini akan menjadikan masyarakat frustrasi. Kita ngeri membayangkan masyarakat yang marah secara kolektif karena sudah antre panjang BBM tapi tidak memperoleh jatah. Mobil Pertamina berisi BBM pun sudah diincar untuk dibajak. Di sinilah sensitivitas SBY diuji.

Jika SBY tetap teguh tidak menaikkan harga BBM, berati begitu Jokowi-JK dilantik harus bersiap mengambil risiko itu. Tidak ada jalan lain. Apalagi menaikkan BBM merupakan langkah yang rasional pada saat situasi keuangan negara masih membutuhkan alokasi untuk infrastuktur, kesehatan, dan pendidikan. Subsidi BBM sudah di luar batas nalar, menyedot seperenam dari APBN yang sudah tembus Rp 2.000 triliun.

Yakinlah bahwa resistensi masyarakat terhadap kenaikan BBM tidak sekeras masa lalu. Apalagi melihat situasi sekarang yang begitu sulitnya memperoleh BBM. Bagi masyarakat lebih baik BBM naik sedikit tapi mudah diperoleh, daripada BBM murah tetapi sulit mendapatkannya. Masyarakat juga sudah mulai tersadarkan bahwa subsidi BBM ratusan triliun banyak dinikmati kelas menengah atas.

Secara politis memang menjadi dilema bagi pendukung Jokowi.  Pada saat SBY menaikkan harga BBM Juni tahun lalu, PDIP bilang: pemerintah tidak prorakyat. Kini ketika terjadi krisis BBM dan pemerintah yang notabene masih dipegang SBY belum menaikkan harga BBM, PDIP bilang: pemerintah meninggalkan bom waktu.

Namun, melihat kepanikan masyarakat yang semakin tinggi, tampaknya tidak ada jalan lain, BBM harus segera dinaikkan. Nanti, SBY dan Jokowi bersama-sama mengumumkan kenaikan harga BBM. Kalau perlu biar terlihat adil, diumumkan bahwa BBM akan dinaikkan dua kali, pertama pada masa pemerintahan SBY dan berikutnya menyusul pada pemerintahan Jokowi.

Tampilnya kedua pemimpin secara bersama akan memberi makna bahwa persoalan BBM merupakan tanggung jawab bersama untuk menyelamatkan nasib bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar