Sabtu, 30 Agustus 2014

Motivasi Buruk Revisi UU MD3

Motivasi Buruk Revisi UU MD3

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 30 Agustus 2014

                                                                                                                       


BEGITU cerdiknya Koalisi Merah Putih yang mengusung revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang tanpa masukan dan pengawasan rakyat langsung saja mengetukkan palu di saat perhatian rakyat tersita untuk mengikuti pemilihan presiden. Proses pembahasan luput dari sorotan publik dan media seperti pembahasan RUU yang lain. Akibatnya, perdebatan dan pembahasannya tidak diwarnai proses diskursus di ruang publik sebagai syarat uji sahih suatu perubahan undang-undang.

Bagi publik, tidak sulit meraba adanya motivasi buruk sebagian besar anggota DPR di balik pengesahan beleid tersebut. Setidaknya bisa diduga bahwa motif untuk melindungi diri dari pemeriksaan aparat hukum lantaran banyaknya anggota DPR periode 1999-2014 yang terjerat kasus korupsi. Mengakhiri periode yang sebagian masih berlanjut ke periode berikutnya diduga menjadi motif untuk berlindung dari kemungkinan lebih banyak lagi yang berpotensi diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Indikasi ke arah itu sudah terbaca karena sejumlah nama sudah di tangan KPK yang diduga terlibat kasus korupsi proyekproyek yang didanai APBN.

Wajar jika publik mendukung uji materi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang baru disahkan itu, termasuk pengujian secara formil sebab proses pembahasannya secara konstitusional bertentangan dengan konstitusi. Uji materi diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang meminta agar Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 terkait pimpinan DPR yang tidak lagi berasal dari partai pemenang pemilu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. PDIP juga meminta agar MK mempercepat proses persidangan sebelum pelantikan anggota DPR 1 Oktober 2014, serta mengeluarkan putusan sela untuk menunda pemberlakuan UU MD3 agar tidak ada upaya membuat produk turunan.

Diskriminasi

Perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) yang ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berlaku secara universal di negara hukum dan demokrasi lagi-lagi diingkari anggota DPR. DPR mengubah ketentuan keterwakilan rakyat di posisi pimpinan DPR yang tidak lagi berdasarkan pengumpul suara terbanyak pemilu legislatif, tetapi harus dipilih dalam sidang paripurna. Perubahan prinsip keterwakilan rakyat itu menodai prinsip keterwakilan proporsional secara adil sebagai konfigurasi peringkat pilihan rakyat.

Sikap diskriminasi anggota DPR melalui kewenangan legislatifnya dilakukan dengan menempatkan dirinya sebagai institusi yang lebih tinggi ketimbang penyelenggara negara yang lain, apalagi jika dibandingkan dengan rakyat kebanyakan. Itulah yang juga digugat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar pasal-pasal yang mendiskriminasikan lembaga DPD dihapus karena mencederai kesejajaran kedudukan lembaga perwakilan rakyat. Seharusnya dalam merevisi UU MD3, anggota DPR tidak mengabaikan substansi amar putusan MK Nomor 92 Tahun 2012 yang mengatur kesetaraan DPR dan DPD dalam setiap proses legislasi.

Begitu pula pasal yang mengatur prinsip keterwakilan perempuan pada pimpinan alat kelengkapan DPR dihapus. Hal itu dapat menyebabkan suara kaum perempuan tera baikan, bahkan akan memengaruhi proses pengambilan keputusan. Motivasi buruk itu harus dikoreksi karena memproteksi diri secara berlebihan, bahkan memprakarsai satu mata rantai birokrasi yang elitis dan berbeda dengan institusi negara yang lain.

Hak-hak istimewa yang diberikan kepada anggota DPR terlalu jauh mengangkangi hak-hak konstitusional rakyat.Itu akan semakin meruntuhkan ketidakpercayaan publik terhadap wakil mereka di parlemen.Hak anggota DPR yang `terlalu istimewa' dapat menimbulkan kecemburuan penyelenggara negara lain yang keberadaannya sama-sama diatur dalam UUD 1945. Apalagi tidak ada klausul dalam UUD 1945 yang mengatur perlindungan dari proses hukum.

Lemahkan antikorupsi

Meski ketentuan proteksi diri yang diskriminasi itu tidak menutup pintu penyelidikan sama sekali, nuansanya sangat berlebihan. Maka itu, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana mengajukan pula uji materi terhadap Pasal 245 UU MD3 yang mengatur bahwa anggota DPR yang dipanggil untuk pemeriksaan penyidikan harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pasal itu dianggap sebagai bentuk diskriminasi dan impunitas anggota DPR di depan hukum. MKD merupakan alat kelengkapan baru sebagai pengganti Badan Kehormatan DPR. Memang ditegaskan jika dalam tempo 30 hari MKD tidak memberi jawaban, aparat penegak hukum bisa langsung memanggil anggota parlemen untuk dimintai keterangan dalam rangka penyelidikan.

Namun, pasal tersebut akan membuat penyidik tidak leluasa untuk memanggil anggota DPR yang nyata-nyata mengingkari asas persamaan di hadapan hukum. Anggota DPR menempatkan dirinya sebagai warga elite yang sangat sulit dijangkau proses hukum. Bagi KPK, ketentuan itu memang tidak berlaku karena UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK berlaku khusus (lex specialis), tetapi akan menjadi masalah bagi penyidik kepolisian dan kejaksaan.

Syarat meminta izin dikecualikan jika anggota DPR tertangkap tangan atau terli bat kasus pidana berat seperti terorisme dan korupsi. Itu merupakan konsekuensi dari kondisi tertangkap tangan, sebab tidak mungkin anggota DPR berkelit karena sudah ditemukan barang bukti sebagai bukti permulaan yang cukup selain pelakunya yang tertangkap tangan. Akan tetapi, terkait ketentuan terlibat pelanggaran pidana berat, bisa saja menimbulkan perbedaan tafsir antara penyidik, publik, dan MKD sebagai penafsir untuk dikeluarkannya izin pemeriksaan.

Berdasarkan pengalaman selama ini, begitu banyak kasus yang menimpa anggota DPR dilaporkan ke Badan Kehormatan DPR, tetapi tidak jelas tindak lanjutnya, malah hilang begitu saja. Begitu pula siapa yang mengawasi MKD mengingat anggotanya dipilih di antara anggota DPR. Masih kuat di tubuh parlemen adanya semangat membela kawan sendiri yang diduga terlibat kasus hukum. Pasal tersebut begitu kental aroma pelemahan upaya pemberantasan korupsi, sehingga membuka celah bagi wakil rakyat untuk menyalahgunakan wewenangnya.

UU MD3 disusun agar zona nyaman anggota dewan tidak terusik oleh proses hukum.Itulah produk hukum yang tiba-tiba disahkan dengan menutup mata dan menyumbat telinga yang menyebabkan pembahasannya tidak diwarnai proses diskursus publik. Negara harus memastikan tidak ada satu institusi yang bisa seenaknya mengatur dirinya sendiri dengan mengabaikan daulat rakyat.Masih segar dalam ingatan rakyat tentang janji anggota legislatif saat kampanye yang akan mendukung penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, tetapi begitu gampang dilupakan. Maka itu, uji materi pasal-pasal UU MD3 yang bermasalah itu merupakan keniscayaan untuk menyetop motivasi buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar