Rabu, 27 Agustus 2014

Pejabat Publik dan Sistem Politik

Pejabat Publik dan Sistem Politik

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 27 Agustus 2014
                                                


Tiga hari lalu Jenderal Prayuth Chan-ocha menjadi orang nomor dua terkuat di Thailand setelah Raja King Bhumibol Adulyadej. Dia adalah perdana menteri ke-29 dan akan memimpin Thailand menuju pemilihan umum di bulan Oktober 2015. Dia saat ini masih menjabat sebagai kepala staf Angkatan Darat Thailand, tetapi akan memasuki masa pensiun pada bulan September tahun ini.

Meski begitu masyarakat Thailand masih ragu apakah sang jenderal akan legawa meletakkan jabatannya mengingat sejarah sepak terjang militer sebagai kekuatan politik yang mampu memotong seluruh jalur prosedur demokrasi yang dibangun di Thailand. Kalaupun Jenderal Prayuth memiliki niat baik untuk meletakkan jabatan militernya, sang pengganti haruslah seseorang yang ia kenal baik dan loyal. Hal ini mengandung makna bahwa kepangkatan tidak menjamin loyalitas bila tidak disertai hubungan antarpribadi yang dekat.

Selain itu, konsultasi dengan pihak kerajaan juga tidak dapat diabaikan karena Raja Thailand masih menjadi figur kuat dalam menentukan arah politik (termasuk upaya menuju demokrasi) di Thailand walaupun secara fisik beliau semakin hari lemah karena usia. Ujian terdekat Jenderal Prayuth adalah penyusunan kabinet. Apakah ia akan mengakomodasi kelompok Kaus Merah dan Kuning? Siapakah yang mendapatkan posisi penting dalam kabinet? Beberapa analis politik mengatakan politik tidak beda dengan sistem ekonomi pasar.

Para aktor saling bertransaksi untuk mendapatkan legitimasi dari aktor lain. Istilah umumnya, tidak ada makan siang gratis. Di Amerika misalnya dikenal dengan istilah pork-barrel, yaitu tukar-menukar dukungan dengan mengucurkan proyek pembangunan di sebuah wilayah. Namun perumpamaan ini juga tidak sepenuhnya benar. Pertama karena dalam ekonomi pun tidak ada yang namanya persaingan bebas. Pertukaran dalam ekonomi pasar juga memiliki biaya yang membuat hukum permintaan-penawaran tidak selalu berjalan sempurna. Para ekonom menyebutnya anomali, tetapi ahli sosiologi dan politik menyebutnya sebagai aspek sosial ekonomi.

Maksudnya bahwa ekonomi hidup dalam sebuah ruang yang sesak dengan berbagai macam sistem, aturan, nilai, moral, etika, sistem rasional, dan sebagainya. Pada saat permintaan BBM tinggi dan persediaan rendah, harga minyak di SPBU semestinya mengikuti hukum tersebut. Namun dalam kenyataannya tidak terjadi karena sistem politik menahan harga tersebut walaupun akibatnya pembangunan di sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan atau kesehatan menjadi tersendatsendat pelaksanaannya. Demokrasi Thailand adalah salah satu contoh terdekat yang dapat kita diskusikan.

Demokrasi di sana selalu dibayang-bayangi dengan ketakutan akan selalu terjadinya kudeta militer apabila masyarakat sipil tidak dapat menyelesaikan persoalan mereka secara sipil. Penjelasan yang umum yang melatarbelakangi kekhawatiran itu antara lain karena sistem demokrasi Thailand masih mencampuradukkan antara kekuasaan monarki dan kekuasaan politik modern. Secara formal kekuasaan Raja Thailand telah berkurang dibandingkan 80 tahun lalu. Ketika itu raja menyetujui desakan kaum reformis untuk memberikan hak konstitusi kepada warga di mana raja melepaskan kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Meski demikian, raja Thailand saat ini masih merupakan pimpinan tertinggi dari angkatan bersenjata dan memiliki kekuasaan untuk memberikan pengampunan. Kebebasan berpendapat dijamin selama tidak menyinggung simbol-simbol kerajaan. Siapapun yang melanggar akan masuk ke penjara. Pertanyaannya kemudian apakah demokrasi dengan percampuran antara kekuasaan raja dan sistem politik yang modern adalah sebuah bentuk demokrasi yang ideal untuk masyarakat Thailand? Jawabannya sangat relatif.

Bagi kaum rational choice, demokrasi di Thailand bukan demokrasi yang ideal karena sistem politiknya tidak menyediakan atau mendukung tumbuhnya tindakan-tindakan rasional untuk mencapai tujuannya. Sistem politik harus menciptakan lingkungan di mana para aktor dan tindakannya didorong berpolitik dengan menggunakan etika, moral, dan pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima akal manusia khususnya etika dan moral. Apabila sistem politik tidak mendukung hal tersebut, yang terjadi adalah tindakan para aktor politik yang tidak bermoral dan tidak beretika.

Pandangan demikian banyak berbenturan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Contoh adalah China dengan sistem satu partainya. Apakah kita dapat menyatakan bahwa China lebih baik dari Thailand atau sebaliknya Thailand lebih baik dari China? Kaum realis-pragmatis berpandangan baik atau tidaknya demokrasi harus dikembalikan kepada rakyat itu sendiri. Apabila sistem itu tidak cocok, rakyat pasti akan menolak dan melakukan perubahan. Namun, apabila cocok, masyarakatnya akan baik-baik saja. Negara-negara sosialis sebelum Tembok Berlin runtuh menolak sistem demokrasi Barat.

Mereka menganggap demokrasi itu adalah demokrasi borjuis. Hanya Kuba dan China yang secara resmi menyatakan menganut ideologi sosialis yang masih bertahan. Negara-negara Timur Tengah yang masih memiliki kekuasaan monarki juga menolak demokrasi tersebut karena terlalu sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran agama mayoritas. Apabila kita menyerahkan definisi yang ideal dan tidak dari sejauh mana masyarakat bereaksi, apakah kita tidak terjebak dalam relativisme atau pendapat yang menyatakan tidak ada satu kebenaran yang sah karena kebenaran itu bersifat terbatas baik oleh waktu maupun ruang?

Saya tidak berniat menjawab pertanyaan itu karena selain ruang yang terbatas, pertanyaan tersebut lebih baik dijawab oleh pejabat publik yang akan menggantikan atau memperpanjang kekuasaan mereka seusai hirukpikuk pemilihan legislatif dan presiden bulan lalu. Pertanyaan- pertanyaan seperti ini semestinya menjadi pertanyaan yang harus hidup dalam benak seluruh pejabat politik di Indonesia, terutama mereka yang duduk di kursi presiden, parlemen, kabinet, badan-badan negara dan lembaga publik lain. Para pejabat harus hati-hati dalam memutuskan dan bertindak karena apa yang mereka lakukan akan memiliki dampak yang besar kepada masyarakat.

Para pejabat publik tidak boleh berhenti mencari jawaban ideal tentang mengapa mereka ingin maju dan duduk di kursi kekuasaan. Apakah karena berjuang untuk mengurangi kemiskinan? Berjuang memperbesar biaya pendidikan atau kesehatan? Melakukan perubahan untuk kehidupan toleransi atau hanya iseng demi memperbaiki status sosial ekonomi? Apabila para anggota parlemen tidak lagi peduli untuk mencari tahu apa yang membuat mereka terdorong masuk di parlemen, sejak saat itulah mereka tidak lagi berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar