Rabu, 27 Agustus 2014

Pintu Revolusi Mental

Pintu Revolusi Mental

Agus Kristiyanto  ;   Guru Besar FKIP UNS Surakarta,
Tim Pengembang Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Pusat
SUARA MERDEKA, 27 Agustus 2014
                                                


TAHUN 1980-an Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew membuat pernyataan cukup heboh. Menurutnya, bangsa Asia sebenarnya kurang membutuhkan demokrasi tapi lebih memerlukan disiplin. Menuai pro dan kontra tentu saja. Kebanyakan yang kontra menganggap Lee memberi nilai rendah pada demokrasi. Benarkah demikian? Seiring dengan perkembangan masa, seikat dengan keberhasilan Singapura menjadi bangsa yang diperhitungkan dunia, kini banyak pemimpin nasional, terutama di banyak negara sedang berkembang, mulai kembali meramu pentingnya formula pembangunan aspek mentalitas berbangsa. Demokratisasi sangat penting tapi harus dipersyarati dasar-dasar mentalitas yang kuat, terutama disiplin.

Disiplin adalah pilar besar dari wujud mentalitas berbangsa dan menjadi akar dari ketertiban sosial yang mengondisikan keberhasilan proses pembangunan. Termasuk kedewasaan dan keterbukaan dalam kehidupan berdemokrasi. Membangun mentalitas selalu menjadi prioritas namun tiap bangsa di dunia akan menghadapi berupa pilihan sulit ìpintu-pintu masukî. Pintu itu bukan sekadar lubang di mana kita boleh leluasa memasuki atau sekadar melewatinya. Pintu itu berupa kondisi riil bangsa berkait persoalan mentalitas kolektif. Bangsa Indonesia memiliki sisi pesimistik terkait mentalitas kolektifnya. Setidak-tidaknya ini dapat dipahami berdasarkan hasil riset dan pengamatan mendalam Koentjaraningrat (2000) bahwa dari sisi mentalitas manusia Indonesia masih banyak memiliki sifat kurang menguntungkan untuk kepentingan pembangunan. Sifat kelemahan modal pembangunan tersebut bersumber pada kehidupan penuh keragu-raguan dan kehidupan tanpa pedoman serta tanpa orientasi tegas.

Itu meliputi sifat mentalitas yang: meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin, dan mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. Untuk menghilangkan ciri-ciri mentalitas kolektif yang kurang menguntungkan, setidak-tidaknya bangsa kita perlu melakukan proses pembelajaran sistematis untuk mengondisikan terbentuknya mentalitas manusia Indonesia dalam 7 dimensi mentalitas. Pertama; harus ada pintu keluar untuk membuang mental meremehkan mutu kemudian membuka pintu masuk bagi perilaku kolektif apresiasi terhadap pentingnya mutu dan kualitas. Kedua; mentalitas inferior bangsa yang disadari langsung atau tidak sebenarnya merupakan letupan dari rasa kurang percaya diri yang tertimbun dalam proses panjang bermasyarakat dan berbangsa.

Sikap generasi muda yang tergila-gila pada produk asing harus dikikis dengan gerakan cinta produk dalam negeri. Informasi cerita sukses yang telah ditorehkan anak bangsa lebih dipopulerkan lagi untuk membangun rasa percaya diri yang kuat pada generasi muda. Ketiga; pengkajian tentang disiplin bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena terkait persoalan individu, sosial, bahkan nation. Kendatipun demikian, kesulitan dalam berdisiplin sebenarnya bukan pada memformulasikan batasannya melainkan pada penegakan dan implementasi dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan berbangsa.

Keempat; mental berani terbuka dan demokratis menjadi sesuatu yang masih mahal, kendati kita sebagai bangsa sudah berani menerapkan pola pemilihan presiden secara langsung. Pilpres menjadi pelajaran besar bagi kita betapa keterbukaan dan demokratis masih jauh panggang dari api. Kelima; mentalitas mandiri dan berdaya saing tinggi menyandarkan pada perilaku kerja keras.

Keenam; upaya memperbesar kontribusi iptek dalam membangun bangsa tetap harus ditegakkan secara bertahap. Pada sisi lain ada tugas besar, yakni mengikis cara pandang yang masih banyak cenderung memercayai tahayul. Ketujuh; mentalitas menikmati hasil secara instan tanpa perencanaan menjadi musuh besar. Mentalitas demikian akan menadirkan fungsi perencanaan, mengabaikan waktu, serta melazimkan kamuflase.

Kunci Pembuka

Persoalan apa pun tentang mentalitas, sebenarnya merupakan wilayah karakter. Sebagian besar ahli meyakini karakter itu sesuatu yang tidak gampang, bahkan tidak bisa diajarkan kepada orang lain secara individu, apalagi kolektif. Tapi karakter itu dapat dilakukan dengan cara mengembangkan dengan memanfaatkan  ìkunci pembukanyaî, yakni intervensi, habituasi, dan keteladanan.

Dari ketiga alternatif dan kombinasi kunci pembuka mentalitas tersebut, kunci mana yang lebih memungkinkan untuk direvolusikan? Kunci intervensi tampaknya hanya dapat kita lakukan untuk membuka pintu generasi baru mendatang yang sekarang masih balita (pesimistis pada generasi sekarang yang sudah terbalut jati diri yang sudah permanen dan suka bermanuver demi kepentingan politik).

Kunci habituasi memerlukan proses panjang pembudayaan kolektif sehingga tak bisa revolusioner. Keteladanan sangat memungkinkan asal keteladanan yang benar-benar sistemik dan mendasar mengikat secara signifikan. Artinya, kunci pembuka pintu revolusi mental itu sebenarnya keteladanan. Kita sebagai warga negara seperti tidak sabar menunggu. Maunya akan cepat terjadi revolusi keteladanan itu.

Kita menunggu dengan tidak sabar lagi, bagaimana presiden dan anggota kabinet kelak melakukan hal yang tidak mencederai kepercayaan rakyat. Para aparat penegak hukum pun jangan sampai melakukan ìpembusukanî dalam menjalankan tugas. Semua pihak harus siap dan berani menjadi teladan bagi siapa pun karena kunci pembuka revolusi mental itu ternyata keteladanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar