Rabu, 27 Agustus 2014

Politik Angkatan 45

Politik Angkatan 45

Muhidin M Dahlan  ;   Kerani, @warungarsip
KORAN TEMPO, 27 Agustus 2014
                                                


Secara jujur, Ketua Lembaga Sastra Indonesia (Lestra/Lekra) Bakri Siregar (1980: 39) mengakui bahwa penemu label "Angkatan 45" adalah Rosihan Anwar. Label yang ditemukan jurnalis Pedoman pada Januari 1948 itu merujuk pada seniman-sastrawan yang terhimpun dalam "Gelanggang", yang didirikan pada 19 November 1946 atas usaha penyair Chairil Anwar. Sebagai manifesto, ditunjuklah "Surat Kepercayaan Gelanggang".

Angkatan 45, yang bermula dari angkatan sastra, kita tahu kemudian menjadi sebutan untuk figur-figur yang meletakkan dasar bagi semangat Revolusi 1945. Yang dimaksudkan pejuang kemerdekaan dalam pengertian kamus adalah serdadu non-laskar rakyat yang dalam banyak hal diorganisasi oleh kalangan komunis.

Alih-alih label Angkatan 45 berusaha menyatukan seluruh kekuatan revolusioner yang ada di kalangan seniman/sastrawan dan serdadu rakyat, justru label ini dijadikan politik untuk membersihkan Revolusi Agustus dari seluruh unsur yang terkait dengan komunisme.

Hans Bague Jassin, misalnya. Mula-mula ia memberikan lampu hijau bagi beberapa sastrawan Lekra masuk dalam barisan Angkatan 45 lewat penerbitan prosa dan puisi Gema Tanah Air. Namun pada cetakan Gema Tanah Air 1976, di era ketika militer-non-laskar rakyat berkuasa penuh, nama-nama golongan Lekra-PKI itu dimumikan.

Politik Angkatan 45 bukan hanya membersihkan sastra/seniman dari komunisme, tapi juga mengubur vitalitas laskar rakyat dalam meneguhkan fondasi Revolusi Agustus. Nama pemimpin dan jejak darah anggota-anggota laskar rakyat dihapus dari Pertempuran Besar 10 November dan seluruh rute perang gerilya hingga era Clash II.

Puncak penistaan laskar rakyat adalah "Pemberontakan Madiun" pada 1948. Ini bukan hanya peristiwa yang menjadi dalih bagi penguburan komunisme dalam kronik Revolusi 45, tapi juga penumpasan seluruh memori negara-bangsa bahwa ada unsur komunisme dalam vitalitet Revolusi Agustus kita.

Memang, ada usaha sastrawan Lekra ataupun PKI untuk merebut memori yang (di)hilang(kan) dengan cara merevisi label "Angkatan 45" bukan sebagai golongan, melainkan sebuah semangat kepeloporan terhadap nilai revolusioner. Dan secara politik label "Angkatan 45" bergeser menjadi "Revolusi Agustus".

Usaha ini membawa hasil yang gemilang. Komunisme masuk kembali dalam trek sejarah. Periode 1950-1965 menjadi babak fantastis bagi golongan revolusioner untuk menunjukkan bahwa semangat "Revolusi Agustus" belum selesai.

Membaca arah dan gelagat angin seperti ini, sastrawan macam H.B. Jassin dan serdadu anti-komunis seperti Abdul Haris Nasution mengendurkan sedikit suaranya lantaran Sukarno memberi kembali tempat terhormat pada komunisme.

Subuh 1 Oktober 1965, prahara datang dan memporak-porandakan komunisme. Bukan hanya komunisme, Sukarno pun tak menduga sama sekali bahwa angin barat ini turut menjungkalkan sosoknya dan warisan pemikirannya.

Setelah prahara mereda, musim baru pun dimulai. Revolusi Agustus 1945 yang diberi label "Angkatan 45" kemudian kita tahu suci dari komunisme dan marhaenisme, baik dalam pikiran maupun tindakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar