Jumat, 29 Agustus 2014

Politik Ruang Fiskal dan Subsidi BBM

Politik Ruang Fiskal dan Subsidi BBM

Mohamad Ikhsan Modjo  ;   Ekonom Senior, Ketua DPP Partai Demokrat
KORAN SINDO, 29 Agustus 2014
                                      


Persoalan ruang fiskal dan beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) kembali menjadi perdebatan hangat di Tanah Air, sebagai akibat munculnya kelangkaan dan antrean BBM di beberapa daerah.

Bila dirunut dari perjalanannya, kelangkaan BBM bersubsidi di beberapa kota, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terjadi karena diambilnya langkah pengendalian konsumsi BBM bersubsidi oleh Pertamina berupa pengurangan jatah BBM bersubsidi di setiap SPBU sebesar 5%. Langkah pengendalian ini sendiri merupakan antisipasi dari realisasi konsumsi BBM bersubsidi yang mencapai 22,9 juta kiloliter selama semester I/2014. Dari realisasi semester satu ini diprediksikan angka konsumsi BBM bersubsidi hingga akhir tahun bisa mencapai 47,261 juta kiloliter.

Yang berarti, melebihi kuota Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 yang ditetapkan sebesar 46 juta kiloliter. Pada saat yang sama, kelangkaan akibat langkah pengendalian PT Pertamina ini juga diperparah oleh desakan dari Rumah Transisi Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) ke pemerintah SBY-Boediono untuk menaikkan harga BBM secepatnya. Desakan ini menimbulkan spekulasi di masyarakat bahwa harga BBM bersubsidi akan dinaikkan secepatnya, yang menimbulkan panic buying dan penimbunan BBM bersubsidi di masyarakat.

Maka tidak mengherankan di banyak tempat muncul antrean panjang, bahkan disinyalir hilangkan BBM bersubsidi dari SPBU. Seruan menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rumah Transisi, sebagaimana dijelaskan Presiden terpilih Joko Widodo, didasarkan kebutuhan atas satu ruang fiskal yang besar bagi pemerintah terpilih nanti untuk menjalankan program-programnya. Lebih lanjut, ruang fiskal ini dirasakan menyempit akibat adanya peningkatan jumlah subsidi BBM dalam RAPBN 2015 sebesar Rp 44,6 triliun, hingga mencapai Rp363,53 triliun.

Jadi sebenarnya seruan Rumah Transisi ini lebih menyorot RAPBN 2015, yang kini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, bukan terhadap APBN-P 2014. Namun merujuk pada hasil pertemuan kedua pemimpin di Bali (27/8), desakan untuk menaikkan harga BBM ini tidak digubris. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono bertekad untuk tidak menaikkan lagi harga BBM bersubsidi hingga akhir masa pemerintahannya pada 20 Oktober 2014 nanti. Beberapa alasan kuat yang dimiliki Presiden SBY adalah sebagai berikut: Pertama, harga BBM bersubsidi sudah dinaikkan oleh pemerintah pada Juni 2013.

Dampak dari kenaikan ini adalah lonjakan inflasi dan jumlah penduduk yang hidup di dalam kemiskinan (lonjakan 0,72% dari perkiraan). Maka bila dipaksakan adanya kenaikan lagi pada 2014, sudah hampir bisa dipastikan hal yang sama akan terulang: inflasi akan meningkat begitu juga angka kemiskinan, yang berujung pada tambahan penderitaan rakyat. Kedua, pemerintahan SBY juga sudah menaikkan harga tarif dasar listrik (TDL) dan berencana menaikkan harga LPG 12 kilo dalam waktu dekat pada tahun ini.

Kedua hal ini dipastikan akan memicu tingkat kenaikan harga-harga dan menambah beban kehidupan rakyat. Karena itu, pemerintah tidak sampai hati untuk menambahnya dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Ketiga, sejatinya dari kedua hal ini saja, kenaikan TDL, dan harga LPG 12 kilo, sudah terdapat ruang fiskal yang lebih dari cukup hingga akhir tahun. Sehingga tidak semestinya menggunakan alasan ini sebagai argumen menaikkan harga BBM bersubsidi pada APBN-P 2014.

Keempat, terkait dengan APBN-P 2014, keputusan mengurangi kuota BBM bersubsidi dari 48 juta ke 46 juta kiloliter merupakan keputusan yang diambil bersama oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, yang di dalamnya juga terdapat fraksifraksi pendukung Jokowi-JK. Maka sebelum mendesakkan kenaikan harga BBM pada pemerintah SBY, ada baiknya Jokowi menanyakan terlebih dahulu ke partai-partai pendukungnya, termasuk ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dahulu selalu menolak kenaikan harga BBM, apakah setuju dengan usulan kenaikan ini?

Kelima, dalam APBN-P 2014 juga sesungguhnya terdapat catatan resmi yang memungkinkan pemerintah memasok BBM bersubsidi ke masyarakat lebih dari kuota yang ditetapkan sebesar 46 juta kiloliter. Akibatnya, lonjakan kuota seharusnya permasalahan yang harus dibesar-besarkan. Sementara kekurangan anggaran yang disebabkan lonjakan kuota ini, yang diperkirakan di dalam kisaran Rp35-38 triliun bisa ditutupi dari sisa anggaran lebih (SAL) APBN yang setiap tahunnya di kisaran Rp40-50 triliun, atau mengurangi lebih lanjut anggaran-anggaran kementerian/lembaga yang ada. Keenam, dalam hal RAPBN 2015.

Pemerintahan SBY sudah mengalokasikan kuota BBM bersubsidi yang lebih dari cukup sebesar 48 juta kiloliter pada 2015. Di mana alokasi ini seharusnya cukup sampai dengan akhir 2015 tanpa perlu melakukan menaikkan harga. Dengan kata lain, pemerintah SBY tidak meninggalkan bom waktu kebutuhan menaikkan harga subsidi BBM dengan memberikan pilihan opsi yang luas pada pemerintahan mendatang. Tentu saja pilihan yang diambil nanti tergantung pada pertimbangan politik Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kelak.

Ketujuh, dengan momentum dan dukungan politik yang masih hangat dari rakyat, sungguh sangat disayangkan bila presiden dan wakil presiden terpilih mereduksi pilihan kebijakan yang akan diambil semata-mata menjadi menaikkan harga BBM atau tidak. Ada banyak pilihan dan alternatif kebijakan yang bisa diambil, baik dalam jangka pendek maupun menengah untuk mengatasi lonjakan subsidi tanpa menaikkan harga. Apalagi dalam visi dan misinya, saya tidak mengingat pasangan terpilih ada menyebutkan akan menaikkan harga BBM.

Yang saya ingat mereka akan melakukan konversi ke gas dan pembangunan infrastruktur, sebagai satu alternatif mengurangi subsidi BBM. Tentu saja menjadi hal yang patut dipertanyakan mengapa sekonyong-konyong terjadi perubahan pemikiran? Alhasil, bisa disimpulkan bahwa pemerintahan SBY-Boediono memiliki alasan yang sangat kuat untuk mempertahankan harga BBM bersubsidi hingga pengujung masa baktinya pada 20 Oktober 2014.

Desakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dari presiden terpilih hanya meningkatkan tensi suhu politik yang bukan pada tempatnya, dan malah bisa menjadi bumerang dalam perjalanan mereka selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar