Sabtu, 30 Agustus 2014

Presiden Pro Petani

Presiden Pro Petani

Khudori  ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KOMPAS, 30 Agustus 2014
                                      


SETIAP menjelang pemilu; petani, nelayan, dan keluarganya jadi komoditas seksi. Pelaku politik mana pun tahu pertanian masih jadi rebutan 41 persen tenaga kerja Indonesia, dan ditekuni 26,13 juta rumah tangga petani (sekitar 104 juta jiwa). Orang kota penting, tetapi orang desa yang jumlahnya banyak jauh lebih penting. Siapa berhasil memikat petani dipastikan meraih banyak suara. Petani dan pertanian lumbung suara yang bisa menyediakan tiket bagi siapa pun untuk menduduki kursi presiden/wakil presiden.

Itu sebabnya tiap kampanye calon presiden/calon wakil presiden selalu mengangkat tema kebutuhan pokok, nasib petani, dan pangan sebagai isu utama. Namun, setelah pemilu, petani, nelayan, dan keluarganya biasanya ditinggalkan. Posisi mereka amat penting saat di bilik suara, tetapi begitu presiden/wapres terpilih daya tawar mereka turun drastis. Ini karena mekanisme one man one vote tak berlanjut dalam pengambilan kebijakan saat mereka berkuasa. Inilah pentingnya memilih presiden pro petani.

Kasus global

Sejarah mencatat ada sejumlah presiden pro petani. Pertama, Abraham Lincoln. Presiden ke-16 Amerika Serikat itu menjadi pemersatu Amerika. Ia membebaskan perbudakan di AS pada 1863. Bekas petani ini menilai pertanian menempati posisi khusus. Di hadapan Wisconsin State Agricultural Society, 30 September 1859, ia mengatakan: ”Agricultural fairs are becoming an institutions of the country. They are useful in more ways than more. They bring us together, and thereby make us better acquainted and better friends than we otherwise would be”.

Tak seperti sektor lain, bagi Lincoln, tak ada proses produksi yang secanggih sektor pertanian: padat ilmu dan teknologi, mulai dari awal sampai akhir. Lincoln memberi pelajaran pentingnya pertanian diurus di atas landasan hukum yang kuat. Pada 20 Mei 1862, ia menciptakan Homestead Act 1862, yang memberikan lahan 160 acre atau 65 hektar per kapling untuk petani. Homestead Act dipandang sebagai simbol demokrasi AS karena merombak struktur sosial warga. Per acre lahan dibayar 1,25 dollar AS.

Dana itu untuk membangun jalan kereta api yang menghubungkan Atlantik dan Pasifik. Di tahun sama, Lincoln melahirkan Morrill Land Grant College Act 1862. UU ini melandasi berdirinya universitas-universitas yang awalnya berbasis pertanian. Keberadaan perguruan tinggi di tiap negara bagian adalah hasil Morril Act. Dengan dua UU itu, Lincoln memberi modal tanah dan otak buat petani/pertanian (Pakpahan, 2012).

Kedua, Presiden AS Franklin D Roosevelt (FDR). Ia mewarisi depresi ekonomi (great depression) di awal 1930-an akibat Wall Street rontok. Pengangguran membengkak, puluhan ribu perusahaan dan bank tutup, puluhan ribu orang bunuh diri, serta petani sengsara. Kesengsaraan dan keputusasaan melanda seluruh negeri. Ia menawarkan agenda New Deal. Untuk melindungi petani, ia menciptakan Agriculture Adjustment Act (AAA) 1933. Tujuan utama, menyembuhkan pertanian dari guncangan depresi ekonomi, terutama harga komoditas pertanian yang sangat rendah. AAA jadi dasar perbaikan harga. Caranya, antara lain, petani dibayar untuk membatasi areal pertaniannya dan pemerintah membeli hasil peternakan.

Kemudian ia menciptakan Commodity Credit Corporation (CCC) pada 1933. Harga-harga komoditas pertanian kembali merayap naik. Antara 1933 dan 1937, harga komoditas pertanian meningkat dua kali lipat. Pada 1936, Mahkamah Agung AS menyatakan AAA ilegal. Namun, FDR tak surut langkah. Ia teguh dengan pendirian dan usahanya mengangkat harkat dan derajat the forgotten men, istilah untuk petani, buruh, dan orang kecil lain, serta menyelesaikan masalah makro secara keseluruhan.

Kini, luas lahan per petani di AS sekitar 200 hektar atau tiga kali luas lahan saat Homestead Act. Meski belum sembuh dari krisis keuangan, AS tetap negara adidaya, terutama di bidang pertanian (Pakpahan, 2004). Bahkan AS merupakan negara terkuat di bidang pertanian meski jumlah petaninya hanya 2 persen.

Ketiga, Presiden Taiwan era 1980-an, Lee Teng Hui. Ia doktor ekonomi pertanian tangguh lulusan Cornell University, AS. Bagi dunia pertanian, Lee dikenang karena memadukan pembangunan infrastruktur fisik dan regulasi di hampir semua kebijakan ekonomi yang diambilnya. Infrastruktur irigasi, listrik, air bersih, jalan, jembatan, dan telekomunikasi jadi penghubung ekonomi aktivitas ekonomi yang efisien.

Secara khusus, ia meletakkan sektor pertanian sebagai basis ekonomi. Ia yakin pertanian mampu jadi pengganda tenaga kerja karena menciptakan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang amat tinggi dengan sektor lain dan jadi pengganda pendapatan lewat penciptaan nilai tambah yang tinggi (pengolahan lewat agroindustri) sekaligus memacu produktivitas SDM.

Selain menyederhanakan prosedur pajak, Lee memberi akses yang seimbang kepada pelaku usaha kecil menengah (UKM) terhadap sumber pendanaan (perbankan dan nonbank) dan memangkas pungli. Usaha besar, terutama di bidang pertanian, terkait erat pada UKM, baik dalam pasokan bakan baku maupun dalam kelancaran arus distribusi barang dan jasa. Teknologi yang dibangun tidak asal high tech, tetapi didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif Taiwan. Lee berhasil metransformasi ekonomi Taiwan secara
mulus: dari berbasis pertanian ke industri yang tangguh. Kini, Taiwan bersama Hongkong, Korea Selatan, dan Singapura jadi Asian Four Tigers. Lee menjadi contoh baik transformasi ekonomi.

BPS  mencatat, pertanian masih jadi gantungan hidup 40,83 persen warga. Sekitar 57 persen dari 63 persen warga miskin di pedesaan adalah petani. Di luar itu pengangguran pada 2014 masih 7,15 juta jiwa (5,7 persen), angka pengangguran terbuka 36,97 juta jiwa, sektor informal dominan dari struktur tenaga kerja (65 persen), dan angka kemiskinan 28,28 juta orang (11,25 persen). Jumlah penduduk defisit energi 30 juta jiwa dan prevalensi anak kerdil sekitar 40 persen, lingkungan hidup makin rusak, kesenjangan ekonomi makin menganga, daya saing ekonomi melemah, dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal. Berapa tahun lagi ketertinggalan itu bisa diselesaikan? Pilpres memberi harapan perubahan. Namun, itu tergantung dari langkah presiden terpilih nantinya.

Tiga syarat                     

Belajar dari tiga presiden pro petani di atas, untuk kasus Indonesia, seorang presiden (terpilih) bisa disebut pro petani apabila mau dan mampu melakukan tiga hal berikut. Pertama, merombak struktur sosial warisan kolonialisme. Distribusi dan penguasaan sumber daya agraria (lahan) makin timpang. Ini berujung pada konflik agraria yang akut, kemiskinan pedesaan, dan terbatasnya lapangan pekerjaan pedesaan. Tidak cukup reforma agraria, presiden terpilih juga harus mengidentifikasi, menginventarisasi, dan merevisi peraturan perundang-undangan yang masih mengakar/bersumber/berjiwa kolonialisme dan feodalisme.

Kedua, membuat UU Perlindungan Petani (setara AAA). UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang ada jauh dari memadai. Usaha pertanian berisiko besar. Ketika terjadi bencana alam, hama dan penyakit negara harus menjamin petani tidak menderita.

Lewat UU ini negara perlu menjamin bahwa struktur pasar yang jadi fondasi pertanian, baik dalam negeri maupun internasional, merupakan struktur pasar yang adil. Selain itu, semua hal yang menambah biaya eksternal bagi petani, menurunkan harga riil produk pertanian, dan struktur yang menghambat kemajuan pertanian, perlu landasan hukum yang kuat agar perlindungan petani dapat dilaksanakan sebagai kewajiban dari negara.

Ketiga, UU Restrukturisasi Industri. Pertanian harus dijadikan basis ekonomi dan batu pijak pengembangan industri. Sejarah industrialisasi di Indonesia adalah industri yang memeras petani. Industrialisasi justru menyebabkan pemiskinan sektor pertanian. Pembangunan ekonomi lebih menguntungkan sektor industri/perkotaan. Implikasinya, industrialisasi menyebabkan ketimpangan yang lebar antara sektor pertanian dan industri atau juga meningkatnya ketimpangan wilayah pedesaan dengan wilayah perkotaan. Melalui UU ini, presiden terpilih harus mendorong berkembangnya industri berbasiskan pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar