Minggu, 31 Agustus 2014

Rabaan Sebait Pantun

Rabaan Sebait Pantun

Taufik Ikram Jamil  ;   Sastrawan
KORAN TEMPO, 29 Agustus 2014
                                      


Kalau roboh kota Melaka

papan di Jawa kami tegakkan

Kalau demikian bagaikan dikata

jiwa dan raga kami serahkan

Demikian sebait pantun lama yang kembali menyeruak dari benak saya ketika terkenang hari kemerdekaan ke-57 Malaysia, Minggu, 31 Agustus 2014. Pantun yang terpaut waktu berabad-abad kemudian meraba suhu hubungan Indonesia-Malaysia. Mungkin juga sebagai pantun yang dapat menjelaskan pengakuan Malaysia sebagai pewaris berbagai produk budaya akhir-akhir ini.

Entah sejak kapan pantun itu muncul. Ada yang menyebutkan, setidak- tidaknya, puisi itu terinspirasi oleh upaya Pati Unus ketika membantu Melaka mengusir Portugis, yang meruntuhkan kerajaan tersebut pada 1511. Hubungan ini senada dengan masa sebelumnya, yakni Majapahit, bahkan Sriwijaya. Rentangan semua masa ini terangkum dalam sebutan serumpun dan Nusantara dalam bingkai Melayu sebagai ras.

Pengalaman dalam rentangan masa itulah yang melatarbelakangi pemuka di sana, seperti Ibrahim Jaacob, meminta Sukarno memproklamasikan suatu negara-kalau tak bernama Melayu Raya, ya Indonesia Raya-dalam pertemuan pada 14 Agustus 1945. Meski kecewa karena Sukarno ternyata hanya memproklamasikan jajahan Hindia Belanda dengan nama Indonesia, karena berbagai sebab penting, pada 17 Agustus 1945, keinginan mereka tak terlerai, sebelum kemerdekaan Malaysia dikumandangkan di Melaka, 31 Agustus 1957.

"Selain konfrontasi Indonesia-Malaysia 1960-an, alur sejarah itu pula yang mengalir dalam pengakuan berbagai produk budaya di Indonesia oleh Malaysia," kata kawan saya Abdul Wahab dalam pesan pendek telepon seluler. Sebab, dia menambahkan, keberadaan produk budaya seperti reog, batik, rendang, dan banyak lagi, juga mewarnai masyarakat setempat, bahkan jauh sebelum nama Malaysia ataupun Indonesia menyentuh telinga awam. Hal ini sejalan dengan migrasi Jawa ke Malaysia sejak berabad-abad lalu.

Makin nyata, ketika diketahui banyak pembesar Malaysia berdarah Indonesia, bahkan sekaliber Perdana Menteri Malaysia Tun Nadjib Razak. Sebaliknya, bahasa pemersatu Indonesia adalah bahasa Melayu dari khazanah Johor-Riau, baik sebagai etnis maupun ras Melayu. Tokoh Hang Tuah yang juga membumi di Tanah Air, tak mungkin ditolak hanya karena ia berjasa di Melaka. Lagi pula, yang disebut pribumi atau Melayu di Malaysia terutama adalah seseorang yang beragama Islam-agama yang dianut migran Jawa. Di sisi lain, Jawa tidak dapat dikatakan identik dengan Indonesia karena juga mewarnai sejumlah negara, yang selain Malaysia adalah Singapura dan Suriname.

Jika ditarik ke belakang, ditemui kenyataan asal manusia Jawa, yakni Asia. Ini belum lagi memperkatakan keberadaan Indonesia-Malaysia yang dipengaruhi Traktat London 1824. Bukankah perjanjian yang membagi wilayah pengaruh Belanda dan Inggris alias penjajah ini yang mendasari penetapan wilayah kedua negara? Syahdan, pengakuan Malaysia terhadap produk budaya itu tak terlepas dari perkembangan kesejagatan (globalisasi) bersenjatakan ekonomi kreatif, melalui penguatan identitas yang dapat dijawab oleh tradisi.

"Terlepas dari hal itu, mempersoalkan produk budaya jangan dipandang dari geopolitik, tetapi dari geobudaya. Kalau kasus Sipadan dan Ligitan lainlah, sebab hal itu masuk dalam ranah geopolitik. Untuk yang terakhir ini, usahlah aku komentari ya," demikian Wahab mengakhiri pesan pendek. Alasannya, penat, oh....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar